Site icon Inspirasi Muslimah

Ular-ular Temanten

ular

Wildan Assegaf

Pada suatu kesempatan penulis tanpa sengaja mendengarkan sebuah ular-ular temanten atau sebuah nasehat perkawinan pada sebuah pesta pernikahan.

Awalnya penulis tidak terlalu tertarik untuk sekadar menonton dan mendengarkan. Ah, mungkin karena umur penulis yang terhitung belum genap 19 tahun (batas minimum menikah menurut UU perlindungan anak), atau mungkin juga karena pikiran penulis masih berkutat dengan pelajaran yang masih saya pelajari.

Akan tetapi yang membuat saya tertarik adalah yang memberikan wejangan ular-ular temanten dari salah seorang tokoh yang penulis kagumi. Ia adalah Emha Ainun Nadjib atau yang biasa melalang Buana berdakwah dengan Nama Cak Nun atau Mbah Nun.

Setelah mengetahui hal itu, saya dengan gegap gempita mencoba mendengarkan di sebuah pelataran masjid di mana tempat itu menjadi tempat yang cukup nyaman untuk mendengarkan.

*

Beliau mengawali wejangannya dengan mendoakan kebaikan kepada kedua mempelai dan segenap keluarga beserta tamu undangan yang hadir. Kali ini beliau datang sendiri tidak berasama kyai kanjeng (grup musik pengiring Cak Nun).

Kedatangannya kali ini adalah sebuah undangan khusus karena pimpinan pondok sendiri yang meminta; karena yang sedang menggelar acara pesta pernikahan kala itu adalah anak pimpinan pondok.

Kemudian beliau menambahi tafsiran yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam surat Ar-Rum dari ayat 20-25 terdapat 6 kalimat yang di mulai dengan wamin ayatihi (Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya). Dimulai dari turab (debu) dan sebagainya-sebagainya.

Beliau memberikan keterangan bahwa Allah menciptakan alam semesta, di mana beliau menggunakan kalimat “ngakunnya” untuk Allah Swt, yang mengindikasikan bahwa ada ayat di dalam Al-Quran yang menjelaskan alam semesta di ciptakan dalam enam fase.

Hak ini bukan berarti Allah Swt tidak dapat menciptakan alam semesta sebagai mana Allah Swt ngendikan kunfayakun (jadi maka jadilah); melainkan mengajarkan manusia untuk selalu accounting atas dirinya sendiri supaya mawas diri.

*

Setelah penciptaan, pasti ada kehidupan. Di kehidupan inilah, pernikahan pasti membutuhkan yang namanya pasangan (azwaj). “Wamin ayatihi an khalaqa lakum min anfusikum azwajan litaskunoo ilayha wajaAAala baynakum mawaddatan warahmatan inna fee thalika laayatin liqawmin yatafakkaroona” (Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir).

Bahwa setiap makhluk di muka bumi memiliki pasangannya. Dan Mbah Nun menekankan pada kalimat “litaskunoo” di mana dalam Al-Qur’an ada beberapa ayat yang memiliki kalimat sama yaitu “litaskunoo” akan tetapi di akhiri dengan “fihii”.

Berbeda dengan ayat pada kalimat “litaskunoo” dengan akhir kalimat “ilayha”; Mbah Nun menjelaskan bahwa kalimat “litaskunoo fihii” adalah untuk benda statis, dan “litaskunoo ilayha” merupakan kalimat yang khusus untuk khalifah di muka bumi.

Hal ini memberikan petunjuk bahwa perkawinan itu tidak akan selamanya, Sakinah (harmonis). Pasti pada kasus tertentu akan ada halangan, rintangan, dan cobaan. Maka Sakinah itu harus di perjuangkan terus menerus sehingga dia dinamis, dan di situlah letak kenikmatan.

Letak kenikmatan dalam rumah tangga adalah memperjuangkan sakinah tersebut. Dengan senyum, beliau berkata maka perlu juga dalam sebuah perkawinan sebuah pertengkaran. Karena dengan adanya pertengkaran maka ada hal yang di perjuangkan, dan kedinamisan itu yang menandakan keharmonisan (sakinah).

*

Kemudian beliau kembali memberikan sebuah ayat dari Q.S. An-Nass ayat 5, beliau menyebutkan “Allażī yuwaswisu fī ṣudụrin-nās” (Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia).

Bahwa sesungguhnya manusia itu potensial sekali untuk menjadi yang namanya setan, minimum untuk berfungsi sebagai setan. Kapan tetapnya manusia menjadi setan/ sayatiininaas? Yaitu ketika manusia mengalami dismanajemen. Ketika hati kita tidak seimbang, memiliki rasa iri, dengki dan lain sebagainya.

Kaitanya dengan Q.S. An-Nass, Mbah Nun menjelaskan adanya sistematika yang rapi, dengan awalan, rabbin-nās (pemelihara manusia), Malikin-nās (penguasa manusia), dan Ilāhin-nās (sesembahan manusia).

Sistematika ini dapat diterapkan untuk pengantin baru, bahwa dalam menjalani kehidupan dengan pasangan tentu hal utama yang perlu dikokohkan adalah pengayoman alias (rab). Perlu di garis bawahi bahwa penggunaan kekuasaan hanya di lakukan dalam kasus tertentu.

Kalimat terakhir yang Mbah Nun sampaikan bahwa antum a’lamu bi umuri dunya kum (kalian lebih tahu urusan keduniaanmu). Bahwa sesungguhnya kamu yang lebih paham atas kehidupan duniamu. Segala jenis nasehat dan petuah dari orang lain terhadapmu tidak akan ada gunanya, apabila dirimu tidak mengetahui keperluan dirimu sendiri. Tips-tips yang di berikan guidance (panduan) ini pasti sifatnya general, maka jabarkanlah carilah yang cocok sesuai dengan kasus kehidupanmu. Somoga dalam pencarianmu, Allah Swt memberikan pengetahuanNya dan kasih sayangNya, sehingga kamu selalu menemukan ihwal kebaikan dalam setiap tindakannya

Bagikan
Exit mobile version