f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
toleransi

Toleransi dan Kita

“Peran agama sesungguhnya membuat orang sadar akan fakta bahwa dirinya merupakan bagian dari anggota umat manusia, dan bagian dari alam semesta.”K.H. Abdurrahman Wahid

Sikap menghargai orang lain yang berbeda tidak tumbuh begitu saja dalam diri setiap orang. Setidaknya mesti ada pendorong agar sikap seperti itu menjadi sebuah kebiasan yang mewujud dalam keseharian.

Jangan dulu jauh-jauh terhadap yang berbeda secara agama, berbeda dalam praktik ibadah meskipun sama-sama bersyahadat saja ributnya minta ampun. Dan karena ini sudah lazim dipertontonkan sejak saya kecil, agak sulit memang untuk mengubah pandangan atasnya. Perlu ada situasi tertentu yang pelan-pelan merobohkan benteng besar yang menjadi penghalang di antara kami.

Pengalaman Belajar Toleransi Secara Langsung

Beruntung semasa SMA, di kelas saya ada beberapa siswa non muslim. Saya jadi terlatih untuk hidup berdampingan dengan yang berbeda keyakinan. Seingat saya, tidak ada pelajaran khusus mengenai toleransi. Tapi, kultur yang berkembang di sekolah kami lah yang membuat para siswa secara otomatis dekat dengan sikap menghargai keyakinan orang lain. Mereka sama-sama anak bangsa, dan kami tak perlu saling menatap dengan tatapan curiga.

Saya bisa menyaksikan dari dekat bahkan berinteraksi dengan mereka. Tidak pernah ada tuh konflik di antara kami. Sebagai teman sekelas, kami rukun-rukun saja. Meskipun saat kelas 10, saya enggak dekat-dekat amat dengan mereka. Ada 2 orang non muslim di kelas saya waktu itu.

Berlanjut saat kelas 11 sampai 12. Di kelas saya ada 3 orang non muslim. Masing-masing 1 laki-laki dan 2 orang perempuan. Untuk yang perempuan, saya kurang dekat, namun sesekali dengan salah satunya saya berinteraksi. Beda halnya dengan yang laki-laki. Saya bahkan berbisnis kecil-kecilan dengan dia.

Baca Juga  Perempuan, Aktor Toleransi Utama dalam Keluarga

Saya waktu itu belajar berjualan pulsa. Dan ke dia lah saya membeli saldonya. Saya mendapat banyak pelajaran penting soal bisnis darinya. Lalu. saat saya ceritakan tentang pimpinan pondok pesantren saya, dia pun tahu. Saya tidak tahu dari mana teman saya itu bisa kenal dengan Bapak (pimpinan pondok pesantren).

Dia teman ngobrol yang asik pokoknya. Saking cairnya interaksi di antara kami, bahkan dia pernah ikut buka puasa bersama satu kelas. Tentu sebelumnya dia enggak ikut berpuasa. Hanya momen bareng-barengnya lah yang mungkin bikin dia tertarik untuk ikut bukber. Saya memendam geram saat beberapa teman sekelas satu-dua kesempatan menjadikannya bahan guyon.

***

Kemudian keberuntungan itu berlanjut. Saya berkuliah di program studi Ilmu Pendidikan Agama Islam di UPI Bandung. Di sana, kami diajarkan oleh para dosen untuk bersikap inklusif meskipun dalam beberapa hal tetap ada saja rasa kagok. Tapi, nilai-nilai yang ditanamkan oleh para dosen menjadi bekal tersendiri bagi kami, para mahasiswanya.

Kami jangan sampai cepat tersulut oleh emosi terhadap orang-orang yang memang tidak sama dengan kami dalam banyak hal. Sebab realitas berupa perbedaan memang selalu dan akan tetap ada. Bukan untuk tampil untuk mengeksekusi keyakinan orang lain, melainkan kami dituntut untuk lebih kalem menghadapi yang beda. Yang beda masih tetap manusia. “Kita begitu beda dalam semua kecuali dalam cinta.” Begitu kata Soe Hoek Gie dalam puisinya yang berjudul Sebuah Tanya.

Ada satu mata kuliah menarik yang kian membuka mata saya perihal toleransi. Studi Masyarakat Indonesia nama mata kuliahnya. Pada mata kuliah ini kami diminta untuk mengobservasi dan mewawancara tiap-tiap tokoh agama dan aliran kepercayaan yang ada.

Baca Juga  Dilema Menstruasi dan Toleransi Suami

Kami dibagi ke dalam beberapa kelompok dan bertugas menggali informasi mengenai agama yang bersangkutan dari sumbernya langsung untuk selanjutnya menuliskan hasil penelitian itu ke dalam bentuk laporan. Baru setelah itu kami mempresentasikannya di depan kelas.

***

Menarik menyimak pemaparan setiap kelompok yang berhasil mengumpulkan data dan membandingkannya dengan teori-teori yang ada. Tanpa harus meneliti seluruh agama, kami mendapatkan informasi-informasi penting dari penjelasan teman-teman. Namun, tentu deskripsi tersebut masih amat sedikit. Meski demikian, itu sudah cukup bagi kami untuk menjadi bekal memahami agama yang lain. Sekali lagi, bukan untuk mencela dan menegasikan. Justru dengan begitu akan lahir sikap saling simpati. 

Dosen kami yang memang tidak hanya manis dalam kata-kata perihal toleransi ini, makin membuat mata kuliah ini asyik saat menjalaninya. Beliau menunjukkan kerja-kerja toleransi itu dalam hidupnya secara konkret.

Teladan darinya lah yang menjadikan benih-benih sikap toleran itu tumbuh. Ternyata indah bisa hidup berdampingan meskipun nyatanya ada perbedaan di antara kami. Semboyan “Bhineka Tunggal Ika” serasa betul-betul sedang kami ikhtiarkan. Bukan sebatas teks di cengkraman burung garuda yang terpampang manis di dinding kantor dan kelas-kelas di sekolah. Kita harus meng-copy-paste teks itu ke dalam laku hidup sehari-hari.

Kita Bisa Melakukan Apa untuk Toleransi?

 Lalu, kita bisa melakukan apa untuk terwujudnya budaya toleransi yang baik? Upaya seremeh apa pun yang dapat disumbangkan agar kerja-kerja toleransi kian diperhatikan orang, maka berikanlah. Adalah keinginan naif menghendaki bahwa semua orang selalu sepakat dengan apa yang kita mau. Misalnya harus turut serta mengikuti inisiasi tertentu yang kita gagas. Padahal setiap dari mereka punya kecenderungan minat yang mempengaruhi tindakan apa yang dilakukan dan tidak.

Baca Juga  Dikejar Deadline itu Mengasyikan!

Kalau kita keukeuh menganggap solusi kitalah yang paling benar dan menafikan gagasan orang lain, jangan-jangan bukan kerukunan umat beragama yang kita tuju. Kita hanya mengejar sorot kamera dan pujian yang semu.

Hal yang terpenting barangkali justru tujuan yang beririsan. Yakni, berupa tercapainya kerukunan antar umat beragama dan toleransi yang kian mengokoh di segala lini. Setiap ada yang memberikan perhatiannya terhadap perbaikan relasi antar umat beragama, berusaha memperbaiki tenun kebersamaan yang koyak, di sanalah kita mesti ada untuk siap sedia memberi dukungan.  

Pertanyaannya reflektif berikutnya adalah, apa yang sudah, sedang dan akan kita lakukan untuk perdamaian dan keharmonisan bangsa? Pertanyaan ini tak akan pernah menemukan jawaban finalnya. Hingga kelak kita tiada, upaya memupuk benih-benih toleransi harus terus digelorakan.[]

Bagikan
Post a Comment