Site icon Inspirasi Muslimah

Tinjauan Hukum Legalitas LGBT di Indonesia

LGBT

Nur-Lina-Afifah-Litti

Beberapa waktu terakhir ramai diperbincangkan fenomena perilaku menyimpang seperti lesbian, gay, biseksual, dan transgender atau yang biasa disingkat LGBT. Kehadiran kaum bendera pelangi ini sebenarnya telah lama ada di Indonesia, sejak tahun 1980-an. Fenomena LGBT di Indonesia sendiri menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Bagi para pendukungnya, mereka berharap keberadaan LGBT dapat diapreasiasi atas dasar kemanusiaan, tidak lagi dianggap perilaku kelainan mental, dan memiliki akses politik dan ekonomi di semua bidang lainnya yang sama; seperti halnya kalangan heteroseksual. Bagi mereka yang menentang, mereka menganggap perilaku ini sesat, berdosa, merugikan masyarakat hingga kepunahan umat manusia.

Menurut data yang dirilis Kementrian Kesehatan tahun 2012, kaum LGBT di Indonesia mencapai 1.095.970 orang; sedangkan PBB memperkirakan akan mencapai 3 juta orang. Dengan pertumbuhan jumlah ini, semakin banyak organisasi yang terlibat dalam komunitas ini.

Gerakan yang mempromosikan penerimaan keberadaan mereka juga semakin dimobilisasi di seluruh dunia. Saat ini beberapa orang LGBT tidak malu untuk mengungkapkan hubungan dengan sesama jenisnya di depan umum. Beberapa perkumpulan LGBT telah berdiri dan berkembang, khususnya di Indonesia. Legalisasi kaum homoseksual di negara-negara Barat menjadi tolak ukur bagi mereka untuk terus aktif menjalankan keinginannya melegalkan LGBT di Indonesia. Pertanyaannya sekarang adalah, “Bagaimana hukum di Indonesia memandang LGBT?”

Sebagai negara hukum, Indonesia menjamin kebebasan berekspresi, sebagaimana tertuang dalam Amendemen II UUD 1945, yaitu Pasal 28E, ayat (2): “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”

Di bawah payung HAM, jika kita melihat UUD 1945, khususnya Pasal 28; kaum bendera pelangi menyerukan kepada masyarakat dan negara untuk menerima kehadiran mereka. Jika kita melihat dari Konstitusi yakni dalam Pasal 28 UUD 1945 menyatakan sebagai berikut :

  1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
  2. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Begitu juga ditegaskan dalam UU No. 39 Tahun 1999 mengenai HAM Pasal 70 yang menyatakan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Memang benar setiap manusia memiliki kebebasannya masing-masing; namun jika ditelisik lebih dalam, kebebasan yang ia miliki harus sebanding dengan batasannya sendiri. Bahkan, dengan banyaknya pembahasan tentang status umat berbendera pelangi sampai pada kesimpulan, masyarakat Indonesia merasa bahwa keamanan dan ketertiban mereka dipertaruhkan.

Menurut Pasal 30 UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang HAM, “Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.”

Kemudian dalam Pasal 35, “Setiap orang berhak hidup di dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman, dan tenteram yang menghormati, melindungi, dan melaksakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.”

Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan dengan hukumnya sendiri mengatur jelas perkawinan dalam Pasal 1 UU No 1 Tahun 1974 bahwa, “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Salah satu tujuan pernikahan adalah melestarikan umat manusia. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan kaum LGBT, penyuka sesama jenis. Mulai dari angka kelahiran yang menurun, karena memang sesama jenis tidak bisa menghasilkan keturunan.

Berbagai peraturan daerah di Indoensia telah melarang LGBT dan menjadikannya sebagai tindak pidana karena dianggap sebagai perbuatan asusila.

Perda Provinsi Sumatera Selatan Nomor 13 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Maksiat, pada Pasal 1 Perda tersebut memasukkan kelompok LGBT sebagai bagian dari perbuatan pelacuran; kemudian Perda Kota Palembang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pemberantasan Pelacuran juga menyebutkan dalam Pasal 1 dan 2 juga ditegaskan bahwa homoseksualitas termasuk perbuatan prostitusi; serta Perda Kota Padang Panjang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penindakan Penyakit Sosial.

Ada dua hal yang menahan kaum LGBT: standar dan keadilan. Bagi kaum LGBT norma dan keadilan tidak dapat serta merta berjalan beriringan; keberadaannya yang dipandang berbeda oleh masyarakat lain dianggap tidak sesuai dengan norma agama dan budaya. Bagi kebayakan orang, individu atau kelompok orang yang adat dan budayanya tidak sesuai dengan norma; tidak ada hak atas keadilan dalam semua aspek kehidupan mereka. Pada akhirnya hal ini mengarah pada sikap diskriminatif dan kekerasan, yang seringkali ditujukan kepada kaum LGBT; tidak hanya oleh masyarakat tetapi juga dari penegak hukum.

Untuk mengatasi bertambahnya jumlah penganut bendera pelangi, masyarakat perlu mengembangkan kesadaran sosial. Demikian pula, negara tidak bisa lepas dari segala kendali dan bersembunyi di balik penghormatan terhadap hak asasi warga negaranya. Di mana masyarakat Indonesia dengan budaya Timur yang menjunjung tinggi agama; dan melarang segala bentuk praktik LGBT atas dasar peraturan hukum, undang-undang, nilai-nilai agama, etika, ketertiban diri, kepentingan umum dan keutuhan bangsa.

Berbagai tayangan yang tidak pantas dan melegalkan perilaku LGBT yang perlu dievaluasi kembali. Oleh karena itu, negara memiliki kewajiban untuk mempertahankan nilai dan norma etika yang dianut oleh mayoritas masyarakat.

Bagikan
Exit mobile version