Site icon Inspirasi Muslimah

Surat dari Nia

teman

Bukk…! Suara bak sampah jatuh. Bak sampah itu tidak jatuh sendiri, melainkan sengaja didorong oleh Ganjar. Ia bukan ketua kelas, tapi belaga sok berkuasa. Nia yang berada di depannya terkejut lantaran bak sampah itu tiba-tiba jatuh di depannya. 

“Oe, anak tukang bersih-bersih. Itu tugas kamu kan?” kata Ganjar.

“Aku kan nggak piket hari ini. Lagi pula salah kamu kenapa nendang-nendang bak sampah!” jawab Nia.

“Haah! Malah melunjak nih anak!” ketus Ganjar sambil menarik jilbab Nia. 

Nia melirih kesakitan. Dia mencoba membalas menyerang Ganjar tapi kekuatannya tidak sebanding. Teman yang lain hanya menonton, tidak ada yang berani menolong. Jika ada, maka ia jadi korban selanjutnya.  Muka Nia memerah. Ia tak kuasa menahan malu, auratnya tersingkap. Teman lain  melihat itu sebagai pertunjukan yang menarik. Tak ada yang terketuk untuk menolong apalagi membela Nia karena mereka tau konsekuensinya. Jadi lebih baik diam dan menonton saja. 

Nia terlahir dari keluarga yang tidak berada, ayahnya seorang tukang bersih jalanan, sedangkan ibunya seorang pedagang sayur keliling. Meski begitu, mereka termasuk orang tua yang berhasil mendidik anaknya. Nia tumbuh menjadi anak yang pintar dan baik. Hanya saja potensi yang ia miliki tidak didukung dengan lingkungan yang baik. Ia kerap kali mendapat bullyan semenjak satu sekolah dengan Ganjar. Perlakuan buruk Ganjar perlahan mengikis rasa percaya diri Nia.  

Ia pernah melaporkan sikap Ganjar kepada Guru BP. Ganjar diomeli habis-habisan. Dipukul pake rotan. Namun esoknya, dia menaruh dendam kepada Nia dan memukulnya. Nia kembali melapor ke Guru BP.  Ganjar diomeli dan dipukul lagi. Besoknya, Nia mendapat perlakuan yang lebih dari hari kemarin. Akhirnya Nia menyerah. Melapor ke guru tidak menyelesaikan masalah. Malah membuat Ganjar semakin membencinya.             

Nia merasa tertekan. Tiap malam ia menangis di dalam kamarnya. Ia tak berani menceritakan ke orang tuanya. Sempat sesekali Nia ingin sekali bercerita, namun saat menatap wajah orang tuanya yang kelelahan, ia mengurungkan niatnya.

“Biarkan aku pendam sendiri rasa sakit ini. Aku hanya perlu bersabar sampai tiba waktunya aku bisa lepas dari mereka,” ujar Nia dalam hati.  

     ***

Sebentar lagi Nia akan menamatkan masa SMA. Ia berharap bisa terlepas dari circle pertemanan toxic ini. Karena itu ia berusaha  agar bisa lulus di kampus impiannya di luar daerah. Nia sengaja mencari tempat yang jauh, agar peluang sekampus dengan teman lamanya semakin kecil. Setelah satu bulan digantung, akhirnya pengumuman keluar. Nia lulus dan mendapat beasiswa. Uang yang ia tabung lebih dari cukup untuk membiayai keberangkatannya.

Di hari pertama perkuliahan, Nia pergi ke kampus sendiri. Pergi tanpa teman dan pulang pun tanpa teman. Baginya, hal tersebut biasa belaka. Bahkan kebiasaan itu terbawa sampai ke kampus. Ia masih malu-malu berkenalan dengan orang baru. Padahal jika mau, dia akan mudah mendapatkan teman. Namun Nia tidak peduli hal tersebut, yang ada di pikirannya saat ini hanya ruang kelas, sebab ia bingung mencari ruang kelasnya.

Nia menyusuri lorong-lorong yang ada di lantai satu, dari sebelah timur hingga barat. Tak ketemu. Kemudian ia naik lagi ke lantai dua, menyusuri timur dan barat lantai itu, namun tidak ketemu juga.  Ia mulai ragu, apa ia salah gedung? Tapi masih ada satu lantai lagi, ia bergegas ke lantai tiga. Tersisa 10 menit lagi sebelum perkuliahan dimulai. Ia kemudian berlari menaiki tangga, sesampainya di sana Nia ngos-ngosan, jantungnya berdeguk kencang. Ia istirahat sebentar, sepersekian detik kemudian tiba-tiba tampak tangan seseorang mencengkram lengan Nia. Tubuhnya terbanting ke tembok dan terdengar suara reruntuhan. Ternyata suara itu berasal dari reruntuhan plafon, tepat di atas Nia berdiri tadi.

 “Mbak tidak apa-apa?” tanya Aminah. Gadis yang sudah menolong Nia. Nia hanya mengangguk-angguk. Matanya mulai berkaca-kaca.

“Apa Mbak kesakitan? Ah, maaf, saya refleks tadi menarik lengan Mbak. Takut Mbak tertimpa plafon,” ucap Aminah.

Sekali lagi Nia tidak bisa berkata-kata. Air matanya mulai menetes, tak dapat menahan rasa haru karena ia telah ditolong. Aminah kemudian memeluk Nia, mencoba menenangkannya. Setelah suasana membaik, Aminah menanyakan ruang kelas Nia agar ia bisa mengantarkannya ke sana. Ternyata mereka sekelas.  

Karena tak sempat ngobrol banyak di kelas, Aminah pun mengajak Nia ke kantin kampus sekalian kenalan dengan teman barunya itu. Sebagai mahasiswa lokal, Aminah menyarankan makanan khas daerahnya kepada Nia, sementara Nia, belum pernah mencoba sama sekali apa yang disarankan oleh temannya itu.

“Rawon ini yo wenak pol. Sampean mesti coba! Ini makanan kebanggaan warga Jawa Timur. Kuahnya warna hitam terus ada rasa rempah-rempah, paling enak dimakan pake nasi hangat,” ucap Aminah dengan logat Jawanya.

“Mirip soto di tempatku, tapi rawon warnanya lebih pekat,” balas Nia.

“Rasanya pasti beda, coba deh!”

“Wah, beneran enak,”

Aminah tersenyum bangga bak pemain bola yang berhasil mencetak gol.

Pada hari selanjutnya, Aminah mengajak Nia untuk berangkat ke kampus bareng. Peristiwa pada hari pertama pertemuan mereka berdua, menjadikan Nia selalu tersenyum-senyum sendiri jika mengingatnya.

 “Sekarang kamu bisa bertanya ke aku. Kalau butuh bantuan jangan sungkan-sungkan. Anak rantauan kayak kamu rawan ditipu orang. Jadi kalau ada apa-apa tanya aja ke aku,” kata Aminah.

“Oke, jadi sekarang aku punya pengawal baru? Hihi” ucap Nia.

“Ehemm, aku harus jagain anak manis ini,” kata Aminah sambil mencubit pipi Nia.

Aminah benar-benar memegang ucapnya. Ia melindungi Nia yang hampir ditipu orang. Waktu itu mereka pergi ke pasar. Saat berada di pasar, Nia bertugas membeli sayuran sedangkan Aminah membeli bumbu-bumbu di tempat sebelahnya. Nia tercengang ketika mengetahui harga yang tidak sesuai prediksinya. Sebab sepengetahuan Nia, harga kangkung tidak semahal itu.

 “Apa karena ini kota, sehingga harganya mahal?” Nia bertanya-tanya dalam hati.

“Kamu sudah selesai?” tanya Aminah.

“Belum, masih pilih-pilih,” kata Nia.

 “Kangkungnya 6 ribu seikat,” lanjut Nia

“Haah!!” Aminah kaget. Padahal harga kangkung cuma dua ribuan seikat. Dia tau sebab sering ke pasar bersama ibunya. Aminah pun menggerutu kemudian menyuruh Nia untuk mencari penjual lain.

“Di sini memang ada pedagang nakal. Mereka sengaja menaikkan harga untuk anak-anak rantau. Karena anak seusia kita biasanya nggak tau harga, apalagi ini di luar daerahnya. Kalau nanya pakai Bahasa Indonesia, mereka jadi tahu kalau kamu itu pendatang,” jelas Aminah.

“Wah, aku baru tahu. Makasih, ya, Mina. Semoga di lain hari aku bisa gantian membantumu,” kata Nia tersenyum.

“Ah, santai saja, Nia,” kata Aminah sambil tersenyum.

***

Seusai berbelanja, mereka pun pulang ke kos. Di tengah perjalanan Nia merasa roknya tertarik, dia menilik ke ban motor ternyata roknya terlilit. Nia menepuk-nepuk bahu Aminah, menyuruhnya berhenti. Di saat bersamaan sebuah truk melaju kencang ke arah mereka. Aminah belum menyadarinya, dia masih berusaha melepas lilitan rok Nia di motor. Nia menarik baju Aminah dan mendorong badannya ke trotoar. Aminah kesakitan. Tangannya lecet gara-gara terkena trotoar.

“Niiaaaa…” teriak Aminah.

Nia tak sempat menyelamatkan diri, geraknya terbatas karena lilitan rok. Sedangkan truk yang melaju kencang tadi terus mengarah ke arahnya dan dalam hitungan detik menghantam tubuh Nia. Terdengar suara dentuman keras bersamaan dengan teriakan Nia, orang-orang yang ada di dekat tempat perkara menoleh. Mereka menatap ngeri pemandangan di depan sana. Tubuh Nia tertindih motor, darah segar mengalir, membasahi baju putihnya. Aminah berlari ke arah Nia.

“Tolong…tolong…tolong! Teman saya,” teriak Aminah. Ia berlari sambil menangis, suaranya serak meminta tolong.

Dengan sigap orang-orang berlarian ke arah Nia, sebagian membantu melepas motor yang menindih tubuhnya, terlihat bapak-bapak menelepon ambulans dan polisi untuk segera ke TKP.

Aminah memangku tubuh Nia, ia membisikkan sesuatu di telinganya.

“Aku mohon bertahanlah, kau anak yang kuat,” kata Aminah.

Nia tersenyum, lantas menatap sahabatnya. Ia memberi isyarat agar Aminah sedikit membungkuk, Nia membisikkan sesuatu.

Talkin!” Ucap Nia.

Aminah menatap Nia dengan mata berkaca-kaca, ia menggeleng-geleng. Nia menggenggam tangan Aminah, memohon agar dipenuhi keinginannya. Aminah menundukkan kepala, ia benar-benar tidak sanggup, bukan karena tak ingin memenuhi keinginan Nia, namun maksud dari permintaannya.

Sebelum melakukannya, Aminah mengambil nafas dalam-dalam, kemudian membisikkan kalimat syahadat di telinga Nia. Dengan sisa tenaganya, Nia berusaha menyelesaikan kalimat yang diucapkan Aminah, ia tersenyum menatap sahabatnya.      

***

Nia dimakamkan di pemakaman dekat rumah Aminah karena keadaan yang tidak memungkinkan untuk dimakamkan di kampung halamannya. Orang tua memakluminya. Keluarga Nia hanya memiliki satu permintaan untuk Aminah, mereka berharap agar Aminah dapat menyimpan barang-barang peninggalan anaknya. Aminah memenuhinya dan berjanji akan mengirim barang-barang Nia. Ia membereskan barang-barang di kos. Saat membuka laci meja, Aminah menemukan buku yang ingin ia beli bulan lalu saat di toko buku bersama Nia. Ia membukanya, di halaman pertama terselip sebuah surat yang bertuliskan;           

Untuk Aminah.

Tidak terasa sudah satu tahun kita saling mengenal. Sungguh waktu yang luar biasa. Aku sangat bersyukur dipertemukan denganmu. Seseorang yang sangat baik. Dulu aku tak pernah punya teman dekat. Mereka menjauh dariku dan hanya mendekat ketika ada maunya. Namun kamu, bahkan di hari pertama pertemuan kita, kamu sudah menolongku. Dan hari-hari selanjutnya kamu selalu di sampingku dan membantuku. Terimakasih, Aminah. Kini aku merasa lebih baik.

Aminah menangis sesegukan. Ia sungguh tak menyangka bahwa surat ini akan menjadi surat perpisahan selamanya bersama Nia.

Bagikan
Exit mobile version