Site icon Inspirasi Muslimah

Seperti Cinta, Ketakutan Kadang Tak Berdasar dan Buta

ketakutan

Hanie Maria

Sebagai anak desa, pelajaran olahraga yang saya dapat waktu SD dulu adalah senam jasmani, kasti dan gobak sodor. Maka, ketika suatu hari Pak Guru bilang kalau kami akan piknik ke kolam renang di Purwokerto, 28 km jaraknya dari sekolah, saya girang sekali. Terbayang asyiknya melakukan perjalanan jauh dan mencoba olahraga yang belum pasti terjadi sebulan sekali.

Apa yang saya bayangkan jadi kenyataan. Berkendara jauh dengan teman-teman memberikan saya pengalaman yang mengasyikkan. Tapi saya juga dapat kejutan. Ketika sedang bersantai di atas ban pelampung, berenang-renang di kolam yang tenang, saya dikejutkan oleh teriakan seorang teman. Teriakan yang ternyata hanyalah awal dari tindakan berikutnya yang jauh lebih mengejutkan.

Dengan semangat, teman saya ini menekan ban pelampung di satu sisi, sehingga pelampung hilang keseimbangan. Saya segera jatuh dari pelampung. Belum selesai, ia menekan kepala saya masuk ke dalam air. Tentu dengan tertawa-tawa, wong menurutnya ini adalah caranya mengajak bermain. Saya yang tak bisa berenang, jelas ketakutan dan menggapai-gapai permukaan kolam dengan panik. 

Saya tidak tenggelam, karena kami bermain di kolam dangkal. Tapi sejak itu saya jadi takut air. Saya jadi menduga-duga, mungkin itulah penyebab kenapa saya belum juga berani belajar berenang hingga di usia kepala tiga sekarang ini. Ketika akhirnya harus menemani si sulung belajar berenang, saya menyadari bahwa ketakutan ini bisa menular dan menyulitkan proses belajarnya. 

*

Naluri saya sebagai orang tua bilang, sekaranglah waktunya menyudahi ketakutan ini. Bukankah tugas oran gtua adalah menyiapkan anak agar kelak, ketika kita tiada, ia bisa hidup dengan mandiri dan layak? Dalam prosesnya, anak perlu atmosfer yang penuh dukungan, bukannya penuh ketakutan. 

Maka di tahun 2018 saya menambahkan ‘ikut kelas berenang’ di daftar resolusi tahunan. Di awal tahun 2021, tiga tahun berselang setelah resolusi tersebut saya canangkan, saya akhirnya berhasil melintasi satu sisi kolam ke sisi lainnya dengan berenang, bukan berjalan seperti biasanya. Pada dasarnya saya cukup yakin, jika berusaha saya mampu mengatasi ketakutan ini. Yang tidak saya sangka, bukan kelas berenang atau pelatih yang membantu saya menguraikan rasa takut ini, melainkan anak saya sendiri. 

Anak perempuan saya itu usianya 7 tahun. Seperti anak-anak lainnya, ia mencoba banyak hal baru untuk pertama kali. Berjalan, naik sepeda, berenang, mengaji. Banyak gagalnya, tapi akhirnya dia berhasil. Caranya menghadapi ketakutan dan kegagalan menjadi role model bagi saya. Saya, yang lahir 26 tahun lebih dulu darinya kini mendapuk diri sebagai murid. Sedikit banyak saya jadi memahami, dan tak lagi menganggap lebay pada orang-orang tua yang bilang bahwa sang anak telah menyelamatkan hidupnya. 

Berkatnya, untuk pertama dalam hidup, saya berani berenang di kolam renang dengan air setinggi dada, dengan kepala sedikit terendam di air. Dalam sejarah hubungan saya dan air, ini adalah pencapaian, meski masih pakai papan pelampung. Sebelumnya, dengan memakai pelampung pun, saya ketakutan dan papan pelampung itu hanya berada dalam kempitan ketiak.

Sebelum akhirnya belajar berenang secara resmi dengan pelatih, anak saya senang bermain kecipak air dan perosotan di kolam. Di kelas berenang, dari yang hanya digendong di dalam air oleh pelatih, ia akhirnya bisa meluncur dengan papan pelampung, mengambil koin di dasar kolam, dan mencoba gaya punggung dengan memegang papan. Dalam jarak pendek, ia sudah berani berenang dengan bebas tanpa papan.

*

Pandemi menyerang, kelas berenang pun terhenti. Belum lama ini, lebih dari setahun sejak pandemi barulah kami berani mengajaknya berenang. Lama tidak berenang rupanya membuat ia kagok. Tubuhnya butuh waktu untuk mengingat gerakan-gerakan yang sebelumnya sudah ia kuasai. Tepat di titik inilah saya tertampar oleh kerja keras yang anak saya, 7 tahun usianya, lakukan.

Ia begitu girang saat kami mengajaknya menginap di penginapan yang memiliki fasilitas kolam renang. Dalam tiga hari berturut-turut, setiap pagi dan sore anak saya selalu mengajak berenang. Papanya jadi pelatih ala-ala. Kemampuan, jam terbang dan cara mengajar suami saya jelas tidak sebaik pelatih renang di kelas berenang. Tapi ternyata tekad yang kuat sanggup membuat hal-hal teknis itu terasa sepele. Di hari ketiga, anak saya sudah bisa berenang di kolam dewasa tanpa bantuan papan pelampung. 

Di hari ketiga pula, melihat tekad anak sendiri, saya jadi malu dengan diri sendiri. Malam hari ketika menemaninya berenang, saya mulai meniru gerakan-gerakannya, di kolam anak-anak. Dua hari menemaninya berenang, saya lumayan hafal gerakan-gerakan yang ia lakukan. Dimulai dengan meluncur sambil memegang papan, kaki bertolak dari dinding kolam, saya meluncur. Satu-satunya gerakan berenang yang mampu saya pelajari saat SMA, ketika saya tak bisa lagi menjadikan haid sebagai alasan tidak turun ke kolam. 

Esoknya saya beranikan diri masuk di kolam dewasa. Saya coba gerakan yang sudah bolak-balik saya lakukan di kolam kecil. Wah, saya tidak tenggelam. Seharusnya ini bukan fakta yang mengejutkan mengingat kedua tangan saya berpegangan erat pada papan, dan kaki saya bisa dengan mudah turun ke dasar kolam. Tapi seperti itulah ketakutan, kadang-kadang tidak berdasar dan buta seperti cinta. 

*

Menyadari ketakutan saya perlahan memudar, ada perasaan lega sekaligus kasihan dengan diri sendiri. Betapa ada banyak ketakutan-ketakutan lain yang masih saya pelihara hanya karena saya tak pernah berusaha mencari pintu keluarnya. Mengamati anak saya, membuat saya percaya pintu keluar itu ada. 

Kadang-kadang, saya menatap anak saya seperti saya menatap cermin. Sebagai orangtuanya, saya yakin sebagian dari diri saya terpantul di sana. Ngeyelnya, ngambeknya, sensitifnya sama. Maka ketika menyadari ia memiliki karakter lugas, spontan dan berani diam-diam saya meyakini juga bahwa karakter yang sama ada pula dalam diri saya. Begitulah, darinya saya pelan-pelan membangun kepercayaan diri.

Bagi saya, hubungan anak dan orang tua adalah hubungan dengan panah bolak-balik. Kami adalah atmosfer bagi satu sama lain. Kami saling mempengaruhi dan dipengaruhi, sebab ia dan saya sama-sama manusia yang utuh. Menyadari anak adalah pribadi yang utuh sejak dia lahir, menurut saya adalah kesiapan utama yang dibutuhkan bagi siapapun yang ingin menjadi orang tua. 

Bagikan
Exit mobile version