Site icon Inspirasi Muslimah

Retak yang Utuh (2): Bersisian di Persimpangan

persimpangan

Lina Prabawanti

‘Ketika kita berselisih jalan, selalu ada persimpangan yang membuat kita bertemu lagi’

Ozza tersenyum simpul membaca pesan singkat yang masuk ke hapenya; di tengah-tengah meeting virtual dengan kantor cabang dari seluruh Indonesia yang padat materi siang itu.

Pesan itu dikirim Romi sebagai jawaban whatsapp Ozza sebelumnya. Ozza hanya berkabar bahwa mereka tak bisa makan siang bersama hari itu seperti janji mereka sebelumnya. Ozza memperkirakan meeting virtualnya belum akan selesai pada saat jam makan siang tiba.

Tak seperti penampilannya yang serius, Romi sebenarnya pria yang jenaka. Ozza sendiri awalnya juga tak menyangka kalau Romi yang tampan dan bermata sayu itu suka bercanda. Ia memang belum lama mengenal Romi. Baru dua bulan ini saja mereka menjadi dekat, sejak bertemu untuk pertama kalinya di tangga darurat pada waktu lembur di malam hari. Saat Ozza hampir tergelincir karena hak sepatunya patah.

***

Sebelum bekerja sebagai manajer pemasaran, Romi adalah orang yang serius. Ia selalu bekerja dengan target dan jadwal yang ketat, hampir tak ada waktu bersantai hingga lupa menikmati hidup. Namun semuanya berubah sejak sahabat karibnya mati muda karena sakit jantung. Kini ia memilih menyelaraskan ritme kerja dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih kondusif. Romi tak ambil pusing meskipun target kerja yang harus dicapainya tak main-main.

Pengusaha sukses yang rata-rata menjadi klien Romi umumnya adalah tipikal orang yang susah didekati, sehingga Romi memodifikasi model pendekatannya menjadi lebih santai dan personal demi membuat kliennya merasa nyaman dan bersedia diajak bekerja sama.

Sebagai pekerja kantoran yang meniti karir dari bawah, Ozza ibarat cerminan Romi semasa masih berkutat dengan jadwal ketat dan target yang terlalu berat. Melihat cara Ozza bekerja, Romi seperti melihat dirinya sendiri sebelum berpaling jalan pada persimpangan waktu di masa lalu. Hal itu pula yang membuatnya tertarik pada Ozza. Romi ingin berjalan bersisian dengannya supaya bisa segera menarik Ozza ketika berada di persimpangan yang sama.

Ozza melirik sekilas jarum panjang jam tangannya yang sudah jauh beranjak dari angka dua belas. Tinggal beberapa menit lagi jam makan siang berakhir, namun meeting virtual yang diikutinya belum ada tanda-tanda selesai. Perdebatan panjang antara kantor cabang Medan dan Makasar sepertinya masih alot dan tak ada niat dari kedua pimpinan caabang itu untuk segera mengakhiri debat kusir yang melelahkan.

Sambil mendengarkan diskusi yang tengah berlangsung, diam-diam Ozza menonaktifkan fitur kameranya dan mengambil snack bar dari laci mejanya. Perutnya yang disiplin itu mulai memberontak. Ia membutuhkan sedikit asupan untuk menenangkan lambungnya.

***

Ozza jarang menunda waktu makan. Berkebalikan dengan Romi yang justru jarang bisa makan tepat waktu. Terutama bila sedang dinas di luar kantor. Tak heran meskipun kantor mereka berada di gedung yang sama, momen makan siang bersama tetap menjadi peristiwa langka. Dalam dua bulan terakhir ini saja acara makan siang bersama itu masih bisa dihitung dengan hanya sebelah jari tangan.

Setelah cukup dekat mengenal Romi, Ozza baru tahu bahwa mereka sangat berbeda. Ozza adalah morning person yang terbiasa bangun pagi dan beraktivitas sebelum matahari terbit. Sedangkan Romi adalah manusia malam yang baru bisa tidur dini hari menjelang ayam jantan berkokok.

Ozza penyuka sayuran dan buah-buahan, sedangkan Romi paling lahap bila mengkonsumsi daging, ikan dan aneka hidangan berbahan dasar protein lainnya.

Bila waktu luang Ozza dihabiskan di sofa sambi selonjoran menonton drama korea, Romi justru terbiasa berlari-lari di atas treatmill di kala senggang.

Ozza menggemari buku-buku bertema petualangan dan novel misteri yang tebalnya bisa mencapai ratusan halaman, sedangkan Romi paling banter membaca berita di gadgetnya, itu pun hanya sekilas untuk artikel olah raga.

Untunglah mereka masih memiliki kesamaan hobby, berburu barang antik! Ozza menggemari pernak-pernik rumah tangga vintage seperti teko teh, guci cantik dan jam dinding tua. Romi lebih menyukai koleksi sepeda ontel jaman kolonial, perabotan kuno berbahan kuningan dan kaset tahun 60-an.

“Besok ke Flipper yuk” ajak Ozza ketika Romi menjemputnya pulang kerja hari itu. Tubuhnya yang penat usai meeting marathon yang baru selesai menjelang jam pulang kantor ditambah pikirannya yang suntuk membuat Ozza ingin refreshing sejenak dari rutinitas. Untung hari itu adalah hari Jumat sehingga ia bisa langsung merencanakan liburan akhir pekannya esok hari.

***

Flipper adalah outlet barang antik dengan koleksi terlengkap di kota Bogor, tak jauh dari kampus Universitas Pakuan. Karena lokasinya di luar kota Jakarta, Ozza memang berniat memburu barang antik di sana sambil jalan-jalan.

“Jangan ke Bogor dulu deh” Romi menatap Ozza dengan ragu, khawatir membuat mood Ozza berubah. Kekhawatiran yang sebenarnya tak perlu, karena tatapan sayu dari sepasang matanya yang sipit itu tak pernah gagal meluluhkan hati Ozza.

“Kenapa?” tanya Ozza pendek. Ia sudah bersiap mengubah rencananya begitu melihat keengganan Romi.

“Lagi nggak pengen aja”

“Oh. Kita ke jalan Surabaya aja kalau begitu. Tapi sekarang, ya?” Romi cepat mengiyakan sebelum Ozza kembali berubah pikiran. Ia pun berputar arah dari Sudirman menuju Menteng, ke pusat barang antik di Jalan Surabaya.

Jalan Surabaya ibarat surga kecil bagi mereka berdua, penggemar barang antik. Lapak-lapak di sepanjang jalannya pun terlihat eksotik disinari sisa sinar matahari sebelum senja. Berbagai koleksi barang vintage yang cantik segera menarik minat Ozza.

Ozza selalu betah berlama-lama di sana. Awalnya sekedar mengagumi barang-barang tua yang menarik minatnya. Namun seiring waktu, transaksi demi transaksi terjadi, khususnya bila si penjual tidak memasang harga terlalu tinggi. Maklum, harga barang di sana terkenal mahal karena memang berkualitas dan langka. Dalam setiap kunjungan, minimal mata Ozza terpuaskan dengan berbagai pernak-pernik cantik yang berasal dari masa lalu itu.

“Romi…” sapaan tertahan bernada ragu itu terdengar lembut di telinga Ozza. Spontan dia menoleh ke arah Romi yang tengah melihat koleksi lukisan kuno. Sang empunya suara lembut itu ternyata seorang gadis berambut panjang yang baru keluar dari lapak sebelah yang memajang wayang dan berbagai guci antik dari era dinasti Ming.

***

“Lama nggak ke Flipper, lokasi perburuanmu pindah kemari?” gadis itu tertawa renyah ketika menepuk pundak Romi. Tanpa risih seolah sangat terbiasa melakukannya, ia kemudian bergelayut manja di lengan Romi.

Ozza pura-pura tak melihat, namun dari sudut matanya ia mengamati reaksi Romi yang kentara sekali berubah menjadi salah tingkah. Gadis itu mengikuti arah pandangan Romi. Matanya kini bersitatap dengan Ozza yang segera membuang muka.

‘Oh…iya…belum sempat kesana lagi. Jauh.” Romi berusaha melepaskan tangan yang membelit lengannya.

“Apa kabarmu, Rom? Masih sama Lila?” gadis berambut panjang itu melirik Ozza.

“Enggak kok. Kenalkan, ini Ozza.” Romi memperkenalkan mereka berdua. Gadis itu menatap Ozza tak berkedip dengan matanya yang indah, “Ozza?”

“Teman kantor…” sahut Romi pendek, membuat bola mata Ozza membesar.

“Kenalin, aku mantannya Romi, sebelum Romi selingkuh sama Lila.” Gadis itu tertawa renyah tanpa mempedulikan reaksi terkejut yang datang tak hanya dari Ozza, tapi juga Romi.

“Ngawur..” sanggah Romi menyembunyikan kegugupannya. Ozza pun sibuk menenangkan jantungnya yang mendadak kebat-kebit dengan menyibukkan diri melihat-lihat jam antik.

“Tapi bener kan? Memang kamu ninggalin aku buat Lila, kok”  gumam gadis itu. Ozza tak mendengar jawaban Romi yang hanya bergumam lirih.

“Jangan lupa mampir ke Flipper. Aku tunggu” bisik gadis itu sebelum berlalu. Ia melambaikan tangan pada Romi sebelum masuk ke Alphard putih yang  baru saja berhenti di depan lapak, menjemputnya.

Sepeninggal gadis itu, Ozza baru sadar bahwa dia tak mendengar gadis itu menyebutkan namanya ketika berkenalan tadi.  Ia enggan menanyakannya pada Romi yang masih nampak asyik memilih lukisan. Ozza tahu dari gelagatnya kalau pikiran Romi tidak disana. Ada kernyitan tak biasa yang menghiasi dahi Romi yang biasanya selalu klimis.

***

Tiba-tiba Ozza tak lagi berselera melihat-lihat barang antik. Pikirannya dipenuhi tanda tanya besar. Meskipun peristiwa barusan sekaligus menjelaskan keengganan Romi menemani Ozza berburu barang antik ke Bogor, namun ia masih bertanya-tanya siapa sebenarnya gadis berambut panjang itu.

Hubungan mereka memang baru seumur jagung. Masih banyak yang belum diketahuinya tentang Romi. Namun Ozza tahu, pria tampan seumur Romi tak mungkin bila tidak memiliki mantan. Sudah pasti banyak yang naksir.  Tapi Ozza juga tak ingin membuat Romi tak nyaman dengan mengajukan terlalu banyak pertanyaan.

“Pulang yuk” ia pun beranjak setelah mengibaskan kedua tangannya yang terkena debu dari barang-barang antik yang dipegangnya.

Romi mengikutinya tanpa bertanya. Ia lega karena Ozza tidak menanyakan apapun tentang gadis berambut panjang tadi. Tidak seperti mantan pacarnya yang lain, yang selalu cemburu melihat keakrabannya dengan Malida. Ternyata Romi tak salah memilih, Ozza memang bukan perempuan biasa.

Romi tak tahu bagaimana berkecamuknya perasaan Ozza. Romi adalah kekasih pertamanya. Ia tak punya pengalaman bagaimana harus bersikap di saat seperti itu. Ia ingin marah, namun tak ingin Romi mengiranya sebagai perempuan pencemburu. Ia memang cemburu, namun ia tahu bahwa cemburu itu ibarat peluru yang akan mematikan bila ditembakkan dengan membabi buta.

Ozza seperti berada di persimpangan. Karena ingin tetap bersisian dengan pria tampan di sebelahnya, ia memilih diam.

Bagikan
Exit mobile version