f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
gontor putri

Refleksi 11 Tahun Lulus Gontor Putri: Melampaui Kemustahilan

Pagi itu aku duduk termenung di depan toilet asrama kursus. Bersama sekeranjang peralatan mandi dan handuk di pundak. Kulirik jam dinding menunjukkan pukul 3 pagi. Sepagi itu aku harus antre. Bukan. Bukan karena semua teman pada mandi. Hanya saja kudapati seseorang yang sedari tadi sakit perut. Sehingga puluhan menit betah di dalam. Parahnya, toilet asrama hanya satu. Dua puluh menit berlalu tak kunjung ada tanda pintu terbuka. Dua puluh lima menit. Tiga puluh menit masih tak ada pergerakan. Tak sabar rasanya ingin kugedor pintunya. Ingin kuteriaki dan bertanya mandi apa tidur. Tapi takut kualat. Seperti tak tahu saja rasanya perut mulas.

Oiya, lupa kuberi tahu. Kala itu aku memperjuangkan beasiswa. Hingga memaksaku tinggal di asrama kursus bahasa. Bulan depan harus tes kebahasaan dengan skor 2 kali lebih tinggi dari sebelumnya. Rasanya mustahil. Tapi tekadku sudah bulat. Aku harus mengambil kursus. Demi skor mustahil itu. Demi beasiswa.

Kembali ke masa penantian panjangku di muka toilet. Tiba-tiba pikiranku jauh menembus cakrawala. Hingga sampai pada suatu tempat. Tinggalnya para santri penuntut ilmu. Terletak di ujung barat Jawa Timur. Widodaren Ngawi, Pondok Modern Gontor Putri 3. Bagi santri, menanti giliran masuk toilet adalah hal lumrah. Saking lumrahnya, bisa sambil membaca, ngobrol, ngupil, nyuci, sampai tertidur. Nomor antrean tak cukup satu. Bisa sampai belasan. Iya kalau di bank tak bisa diserobot. Di sana, hal itu sangat memungkinkan. Apalagi kalau kakak kelas yang nyerobot. Mana mungkin berani menggedor.

Ah, terima kasih ingatan. Sudah mengajakku bernostalgia pada kejadian satu dekade silam. Saat aku memilih tak mandi dari pada harus antre setelah kakak kelas yang kutakuti. Cukup cuci muka, ganti baju di belakang pintu kamar, dan tak lupa memercikkan minyak wangi. Sekejap aku siap pergi sekolah. Hihihi. Mengingat itu, diam-diam aku tersenyum geli. Maka penantianku 30 menit lebih tak lagi membosankan. “Ah, puas-puasin sampai perutmu tak mulas lagi. Penantianku di pondok nyatanya 10 kali lipat lebih lama dari ini,” batinku menenangkan diri.

Setelah giliranku mandi, buru-buru aku masuk dan tak ada 10 menit sudah keluar. Sampai teman setelahku terkaget-kaget. “Mandi apa secepat kilat?” gerutunya padaku. “Memangnya mau apa lama-lama di kamar mandi?” tanyaku balik dalam hati.

Setengah berlari aku mencapai kamar. Kusahut mukena dan sajadah. Tak lupa melipat alas salat itu menjadi 4 secara vertikal. Lalu kuletakkan di pundak yang telah terbalut mukena. Aku siap pergi ke masjid sembari menanti waktu Subuh. Sendirian. Teman-teman lain masih loading memulihkan kesadaran. Ada yang belum bangun, bahkan. Padahal jika aku pergi ke masjid di jam itu saat di pondok dulu, pasti harus merelakan betisku. Untuk dielus cinta dengan pilinan sajadah milik kakak-kakak bagian keamanan.

Baca Juga  Opsi di Ruang Tunggu

Usai salat Subuh, kusempatkan membuka kitab suci dan mengkajinya. Lalu kubuka lembaran lain. Sembari menghafal kosakata bahasa asing yang akan kusetorkan pada tutor sebelum waktu sarapan. Mampir asrama sebentar. Berganti kerudung dan menuju halaman untuk menggerakkan badan. Tak lupa sambil komat-kamit dan sesekali dengan mata terpejam. Yup, memindai kosakata yang kulihat di lembaran tadi ke memoriku yang agaknya makin buram. Tak lama setelah itu, tutor datang dan kusetorkan hafalan. Lagi-lagi terbesit ritual muhadatsah pagi. Jadi rindu lagi dengan Gontor Putri.

Usai hafalan dan sarapan. Kursus dilaksanakan dari pagi sampai menjelang malam. Beberapa kali istirahat hanya untuk  salat dan makan. Banyak teman yang menggerutu karena tak sempat ini itu. Lagi-lagi aku tersenyum simpul sambil membatin, “Belajar di pondok malah kudu sampai tengah malam. Kalau perlu tak tidur di kamar biar dikata sahiral layal.”

Nyatanya, keteraturan membuat banyak orang muak dan mual. Baru masuk hari ketujuh, ada saja teman yang jatuh sakit. Beberapa izin pulang tak kembali. Ada juga yang tetap tinggal tapi tak sepenuh hati. “Aku tak boleh menyerah. Pondok menggemblengku lebih dari ini dan aku melaluinya,” gumamku sambil menarik nafas panjang. Aku tak boleh menyerah. Demi skor yang mustahil itu.

Tes dan scoring digelar 2 hari sekali. Hasilnya pun diumumkan di akhir sesi. Menunggu nama dan nilai disebut sungguh segeram menunggu giliran kenaikan kelas 6 KMI. Satu dua tiga kali scoring membuat hati pilu. Sepertinya nilaiku jauh dari yang kutargetkan. Tapi aku bangkit lagi. Belajar lagi. Yang terngiang-ngiang kali itu justru ucapan almarhum Ustadz Hudaya. “Tholabul ilmi harusnya biljiddi wal itqaan wal ikhlas,” tutur beliau dalam tiap kesempatan. “Ah iya. Mungkin aku kurang sungguh-sungguh. Dan belum ikhlas karena Allah,” gumamku.

Maka di pekan kedua kembali kutata niat. Bangun dan mandi lebih pagi dari biasanya. Berangkat ke masjid sebelum seorangpun membuka mata. Kugelar sajadah di sepertiga malam sambil menangis. Mengiba dan meminta pertolongan Allah. Mata dan otakku kuajak memindai kosakata lebih jeli dari sebelumnya. Telingaku kupaksa lebih teliti mendengarkan. Tanganku berusaha menulis lebih cepat dari yang sudah-sudah. Terakhir hanya pasrah yang kupunya. Kuserahkan hasilnya pada Yang Maha Penentu.

Baca Juga  Juru Dakwah Kampung
**

Pekan kedua pun hampir usai. Tapi skorku hanya merangkak tak jauh dari start. Seperti kura-kura yang dipaksa lomba lari. Hanya ilusi. Hanya mimpi memeluk gunung. Mataku nanar. Hatiku mulai rapuh. Mulai terbesit rasa malas dan putus asa. Aku tetap menjalankan rutinitas. Tapi tanpa ruh. Hilang nafsuku.

Tiba-tiba ponsel pintarku berdering. Panggilan masuk dari ibu. Kuangkat dengan tangan layu. Suara yang tak penuh. Dan jawaban singkat-singkat seperlunya. Ibu pun merasakan getaran itu. “Ada apa? Gagal lagi, Nduk?” tanyanya. Aku tak menjawab dengan kata-kata. Aku hanya sesenggukan sambil berusaha menahan letupan dalam dada. Setelah mereda, ibu memulai wejangannya. “Tak apa gagal. Kamu masih punya kesempatan. Jangan lari dari Allah. Dekati, minta lebih serius lagi. Kamu hanya belum sampai. Kalau menyerah hari ini, eh tahunya besok kamu berhasil, kan sayang,” kalimat pendek itu tiba-tiba menyetrum ghirahku yang hampir padam.

“Ya, mungkin aku belum sampai,” aku menghibur diri. Berharap masih ada harapan. De javu lah aku pada masa lalu saat menjadi santri. Berkali-kali ingin menyerah. Ingin pulang ke kampung halaman. Nggak kerasan. Sepertinya tak bisa. Tak sanggup menuntaskan KMI. Tapi ustadzah-ustadzahku selalu bilang, “Coba lagi sebulan. Kalau belum juga nyaman, coba lagi setahun.” Lama-lama sampai juga di akhir 6 tahun perjuangan. Maka dalam hal ini pun aku tak boleh menyerah sebelum berperang.

Pekan ketiga aku menambah amalan. Banyak beristighfar. Barangkali ada dosa yang menjadi penghalang tersampainya doaku. Belajar lebih lama dari biasanya. Sujud malam lebih panjang dari pekan sebelumnya. Aku mengiba. Karena aku sungguh bukan siapa-siapa tanpa pertolongan Yang Maha Penolong. Namun, aku lebih santai dalam hal hasil. Lebih legowo berapapun skornya. Sudah pasrah. Notok, kata orang Jawa.

Siapa sangka di pekan ketiga skorku mulai menanjak. Semakin hari semakin berlipat. Rasanya takjub dan tak percaya. Berkali-kali kusungkurkan kepalaku ke lantai. Kulangitkan syukurku pada Sang Pemberi Nikmat. “Masya Allah laa quwwata illaa billah,” ucapku berkali-kali. Meski begitu, skor ini belum cukup untuk menjadikanku awardee. Tapi setidaknya ilmuku bertambah. Bukankah menuntut ilmu tercatat ibadah?

Memasuki hari-hari di pekan terakhir kursus makin menegangkan. Scoring makin sering dilakukan. Setiap hari bahkan sehari dua kali tanpa pemberitahuan. Kami membentuk grup belajar tiap pagi. Makin banyak teman rasanya makin tak ada beban. Skor berapapun jadi tak begitu penting. Toh sifatnya masih latihan. Seperti pagi itu. Kami membahas trik-trik mengelabuhi soal diselingi guyonan. Di tengah-tengah candaan kami di grup, namaku dipanggil seseorang. Rupanya ia tutor yang duduk selemparan batu dariku. Kudekatinya dan kutanya atas keperluan apa memanggilku. Tiba-tiba ia menyalamiku sambil menyerahkan selembar kertas bergambar diagram.

Baca Juga  Pesan Putus di 21 September 2017

“Selamat, kurva penilaianmu paling baik di kelas. Tiap hari menunjukkan peningkatan. Dan bersyukurlah, skormu hari ini terlampau cukup untuk menjadi awardee,” ucap wanita paruh baya di depanku. Tak sempat pikir panjang kujatuhkan tubuhku dan menyungkur. Air mataku mengalir deras. Jantungku berdegub kencang. Badanku gemetar. Bibirku kelu tak sanggup berucap. Tanganku menahan mulut agar suaraku tak terdengar yang lain. Lalu kupeluk tutorku tanpa satu kata pun.

Setelah itu aku tak berani kembali ke lingkaran grupku. Aku berlari kecil menuju toilet. Kubasuh wajah kumalku dengan air wudhu. Berlari lagi menuju kamar dan menghamparkan sajadah. Di waktu dhuha itu kupersembahkan syukurku. Aku tak pernah menyangka atas pencapaian ini. Sungguh ini keajaiban yang Allah hadiahkan setelah keberserahan diriku. Tak lama berselang, ponselku berbunyi lagi. Rupanya ibuku selalu turut bergetar dalam setiap kejadian yang kualami. Kuangkat dengan sedikit terisak,

Matur nuwun, Ibu. Skorku sudah lebih dari cukup untuk daftar beasiswa.” Ibu pun membalas tangis tanpa suara. Aku yakin, ia sedang bersujud dan berterima kasih berkali-kali pada Yang Kuasa. Bisa jadi doaku terkabul dengan perantara ibu. Ia turut tak bisa tidur merapalkan doa di malam hari. Turut bersungkur tiap sepertiga malam.

Syukran yaa Rabb. Matur nuwun Ibu. Terima kasih Gontor Putri. Tanpa itu semua aku tak bisa berada di titik ini. Jadi teringat pesan Ustadz Hasan Abdullah Sahal pada pembekalan siswa akhir KMI, “Ahammduddars fii hadzal ma’ahad huwa addarsul hayah. Pelajaran paling penting di pondok ini adalah pelajaran kehidupan.” Dan kini aku memaknai kalimat itu secara mendalam setelah merasakannya sendiri.

*Penulis adalah alumni Gontor Putri 3 angkatan 2010. Kini menjadi penulis Rahma.ID dan Pemred Majalah Arba’a di Surabaya.

Bagikan
Comments
  • Berkali-kali air mataku jatuh membaca tulisan ini ustadzah, setiap pengalaman adalah pelajaran kehidupan,sehat selalu

    Agustus 23, 2021
  • Ahsan Jamet

    Tulisan santriwati Gontor ini reflektif dan keren

    Maret 5, 2022
  • Ietha

    Assalamualaikum, salam kenal ukht saya juga alumni GP3, luar biasa perjalanan hidupnya, sukses selalu dimasa depan ya 🙂

    November 25, 2023
Post a Comment