Site icon Inspirasi Muslimah

Prinsip-Prinsip Kesetaraan Gender dalam Pandangan Nasaruddin Umar

gender

Pertanyaan dasar yang sering kita dengar adalah apa bedanya gender dan sex? Pertanyaan ini penting supaya tidak salah memahami dan berdampak pada subordinasi, diskriminasi, serta menempatkan perempuan di nomor 2 setelah laki-laki.

Dalam buku Argumentasi Kesetaraan Gender Perpektif Al-Qur’an karya Nasaruddin Umar; menyebutkan bahwa gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial-budaya. Sedangkan istilah sex digunakan untuk mengidentifikasi perbedaaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi, seperti reproduksi, anatomi tubuh, dan karakteristik biologis lainnya.

Definisi di atas menggambarkan bahwa laki-laki dan perempuan secara fisik berbeda tapi tidak untuk tataran sosial-budaya.  Walaupun konstruksi sosial-budaya kita masih menempatkan perempuan sebagai second people. Karena itu, menurut Nasaruddin, ada beberapa poin penting yang dapat digunakan sebagai alat untuk menganalisa prinsip-prinsip kesetaraan gender.

Pertama, laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai Hamba.

Tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada Tuhan. Tujuan ini sejalan dengan firman-Nya QS. Al-Zariyat [51]: 56

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”

Ayat di atas menjelaskan bahwa, kapasitas kita sebagai hamba di hadapan Tuhannya adalah setara, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Dalam Al-Qur’an, bahwa hamba yang ideal adalah ia memiliki derajat taqwa, ‘indallahi atqakum. Ini tentu tidak mengenal jenis kelamin tertentu, suku bangsa ataupun etnis tertentu. Al-Qur’an menggambarkan hamba ideal ini dalam QS. Al-Hujurat [49]:13

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Adapun kekhususan yang melekat kepada laki-laki, seperti seorang suami, pelindung perempuan, menjadi saksi yang efektif, dan memperoleh warisan lebih banyak tetapi semua itu tidak lantas menjadikan laki-laki menjadi hamba yang utama. Sebab masing-masing dari mereka, laki-laki dan perempuan, akan mendapatkan mendapat sesuai apa yang telah mereka abdikan untuk Tuhannya (QS. An-Nahl [16] : 97).

Kedua, laki-laki dan perempuan sebagai Khalifah di Bumi

Selain sebagai hamba yang patuh dan taat akan perintahnya,’abid, tujuan lain adalah untuk menjadi khalifah di bumi. Kapasitas ini terdapat dalam QS. Al-An’am [6]: 165 dan QS. Al-Baqarah [2]: 30.

“Dan Dialah yang menjadikan kalian penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kalian atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang yang diberikan-Nya kepada kalian. Sesungguhnya Tuhan kalian amat cepat siksa-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” QS. Al-An’am [6]: 165

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seseorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan berbuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui”. QS. Al-Baqarah [2]: 30

Kata khalifah dalam dua ayat tersebut tidak menunjuk kepada salah satu jenis kelamin, kelompok, dan etnis tertentu. Laki-laki dan perempuan memiliki peluang dan kesempatan yang sama sebagai khalifah.

Ketiga, laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial

Laki-laki dan perempuan, sebagaimana kita ketahui, ketika dalam rahim ibunya sudah menerima perjanjian dengan Tuhannya. Kejadian ini terekam dalam QS. Al-‘Araf [7]: 172

“Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. Kami lakukan yang “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).”

M. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah berkata bahwa, ayat di atas lebih tepatnya dipahami sebagai sebuah ilustrasi tentang aneka pembuktian menyangkut keesaan Allah yang melekat pada diri manusia melalui fitrah dan akal pikirannya. (Al-Misbah, vol. 4: 371). Berdasarkan ayat di atas juga tanggung jawab dalam Islam secara individual dimulai sejak dini, yaitu semenjak dalam kandungan.

Keempat, laki dan perempuan memiliki poteni meraih prestasi

Tidak ada pembedaan antara laki-laki dan peremuan dalm meraih sebuah perestasi. Pernyataan tersebut ditegaskan secara khusus 3 ayat dalam Al-Qur’an, yakni QS. Ali ‘Imran [3]: 195, QS. An-Nisa [4]: 124, dan QS. An-Nahl [97].

Tiga ayat tersebut mengisysaratkan bahwa konsep kesetaraan gender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spritual maupun urusan karir profesional, tidak meski dimonopoli oleh satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama untuk meraih prestasi yang optimal.

Oleh karena itu, tidak seharusnya perempuan ditempatkan pada second people. Sebab kita memiliki potensi yang sama untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, fastabiqul khoirot. Wallhua’alam bish-showab.

Bagikan
Exit mobile version