Site icon Inspirasi Muslimah

Potret Pendidikan di Era Digital

digital

Pendidikan yang bertujuan untuk mengembangkan berbagai potensi kebaikan peserta didik, sering di-identik-kan dengan kegiatan sekolah. Nyatanya proses pembentukan karakter seseorang bukan hanya dipengaruhi aktivitas di sekolah. Di era digital, pendidikan adalah belantara yang tidak lagi dibatasi oleh dinding sekolah, namun telah melampaui sekat geografis, sekat sosial dan tidak terbatas waktu.

Hari ini kemajuan teknologi selain telah memberikan manfaat, juga menyisakan efek-efek negatif yang sangat mengkhwatirkan. Sebenarnya itu hal alamiah. Sebagaimana petani yang menanam padi, maka rumput-rumput liar akan ikut tumbuh.

Sebagai contoh, youtube, platform video terbesar yang memiliki penonton di berbagai belahan dunia. Menyediakan aneka konten dapat kita tonton, dengan hanya modal kuota internet yang bisa dibilang cukup murah. Namun kita perlu bijak dan selektif, karena yutoube bukan hanya menyediakan tontonan yang baik, melainkan melimpah juga tontonan yang tidak edukatif.

***

Beberapa waktu lalu sempat viral video seorang pengendara motor yang tertangkap razia. Plat nomor tidak ada, STNK tidak ada, tidak pakai helm. Ditegur polisi, bukannya takut atau merasa bersalah, eh malah galakan dia. Malah dengan tengilnya pake ngancam-ngancam ngelaporin ke abangnya yang katanya anggota DPR. Untung nya pak polisi yang nge razia tidak kalah galak. “Emangnya kenapa kalau anggota DPR?

Di tempat lain kejadian-kejadian serupa begitu mudah ditemukan dan menjadi viral.  Karena hari ini setiap kita bisa menjadi jurnalis (citizen journalism). Bermodal gawai yang selalu ada dalam genggaman, setiap orang bisa menyebarkan apa saja yang dianggapnya menarik, melalui kanal youtube atau berbagai platform media sosial hanya demi traffic atau like.

Sebut saja misalnya adegan kekerasan dari beberapa video yang sempat viral beberapa waktu lalu di jagat digital. Ada penganiayaan perawat oleh seorang bapak yang anaknya dirawat. Ada jamaah masjid yang dimarahi karena solat menggunakan masker. Dan ada Ibu-ibu memarahi petugas dengan kata-kata kasar, karena disuruh putar balik. Seorang ayah amuk kasir mini market gara-gara anaknya transaksi voucher game online sampai ratusan ribu. Ada juga emak-emak misterius, karena tak paham COD maki-maki kurir.

***

Hari ini pengguna ponsel pintar mencapai 167 juta orang atau 89% dari total penduduk Indonesia. Masalahnya tidak setiap orang yang memiliki smartphone merupakan smart people. Laju pertumbuhan pengguna ponsel melesat lebih cepat dibanding kemampuan literasi digital masyarakat. Akibatnya konten-konten negatif, seperti adegan kekerasan, bulliying, penipuan pelecehan, hoaks dan pencemaran nama baik, masih marak membanjiri dunia digital.

Di beberapa negara tetangga, tingkat literasi sudah lebih dulu maju sebelum gempuran smartphone hadir. Sehingga masyarakatnya sudah memiliki digital skilldigital ethics dan digital safety yang relatif lebih baik sehingga cenderung lebih siap untuk menghalau dan memfilter gempuran tersebut.  Sementara faktanya masyarakat kita masih memiliki tingkat literasi yang rendah.

Tidak sedikit pengguna ponsel masih anak-anak. Entah anak-anak tersebut memiliki smartphone sendiri atau dipinjami oleh orang tuanya, sehingga tidak mustahil, segala adegan kekerasan yang viral di dunia digital, dikonsumsi juga oleh banyak sekali anak-anak.

Terlebih di masa pandemi, gawai menjadi lebih akrab bagi anak-anak. Awalnya mungkin sebatas keperluan pembelajaran daring. Namun tidak berhenti disitu, setelah pembelajaran selesai, anak mungkin akan merengek agar dijinkan menggunakan gawai lebih lama. Sialnya gawai bersifat adiktif, “dosis” penggunaannya akan terus bertambah. Padahal anak-anak belum cukup matang untuk bisa memikirkan konsekuensi dari apa yang dilakukannya

Sebagai orang tua maupun sebagai pendidik perlu kiranya kita khawatir. Banyaknya peristiwa-peristiwa konyol, berbahaya untuk perkembangan psikologi anak-anak. Mudahnya perilaku-perilaku tersebut tersebar, akan menjadi referensi dan acuan etis bagi anak-anak dan itu tidak cukup sehat. hal ini akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses pendidikan. Tontonan baik atau buruk akan turut memberi andil dalam pembentukanan karakter.

***

Anak-anak adalah pengingat yang baik. Terlebih ketika diberikan stimulus yang bersifat visual akan lebih mudah diproses. Setiap detail adegan tontonan akan lebih mudah tertanam di memori. Efeknya ini akan jadi inspirasi untuk melakukan tindakan-tindakan serupa. anak akan melakukan mirroring; meniru yang dia lihat dalam kehidupan sehari-hari. 

Guru bukan lagi satu-satunya sumber pengetahuan. Dalam mendidik kita tidak lagi berhadapan anak yang polos. Mengapa demikian? Karena dengan banyaknya menyimak, membaca atau menonton (apapun), anak menjadi kaya dengan referensi. Pada saat yang bersamaan referensi tersebut akan membentuk persepektif.

Referensi dan persepektif yang telah terbentuk bisa saja membuat anak menjadi resisten terhadap apa yang disampaikan baik oleh orang tua ataupun guru. Ia tidak percaya begitu saja dengan nilai-nilai kebaikan yang disampaikan, terutama ketika hal tersebut bertolak belakang dengan informasi yang telah ia saksikan sebelumnya.

Bahaya lainnya adalah tontonan-tontonan kekerasan tersebut dapat memengaruhi pola pikir anak-anak terhadap lingkungannya. Misalnya mereka akan berpikir: “banyak sekali orang-orang tidak baik di dunia ini”. Pikiran semacam ini bisa menimbulkan rasa takut, dan bisa menyebabkan anak tumbuh menjadi pribadi yang anti-sosial.

Bagikan
Exit mobile version