Site icon Inspirasi Muslimah

Pernikahan Anak Usia Dini dan Permasalahan Kapitalisasi Pendidikan di Indonesia

pernikahan anak usia dini

Pernikahan anak usia dini bagi sebagian daerah telah menjadi sebuah kelaziman. Banyak sekali faktor yang memengaruhinya. Mulai dari tradisi, faktor ekonomi, pendidikan yang rendah, maupun pergaulan yang salah. Mirisnya, perempuan dalam hal ini kerap kali menjadi korban objektifikasi yang selalu dirugikan.

Meskipun, Negara Indonesia sebenarnya telah mengatur tentang batas usia nikah. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan bahwa pernikahan hanya dapat dilaksanakan jika calon mempelai laki-laki telah berusia 19 tahun dan 16 tahun bagi perempuan. Dalam perkembangannya ketetapan ini direvisi melalui UU Nomor 16 tahun 2019 yang menetapkan bahwa  baik laki-laki maupun perempuan dapat melangsungkan pernikahan jika telah berusia 19 tahun.

Namun nyatanya kasus pernikahan anak usia dini ini sering kali kita temukan. Bahkan, karena lain satu hal, pihak keluarga justru berupaya untuk mengajukan dispensasi nikah jika usia anaknya belum memenuhi kriteria yang pemerintah syaratkan.

Hal ini dapat kita lihat pada awal 2023 kemarin. Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kemenko PMK, Femmy Eka Kartika Sari menyebut bahwa Jawa Timur merupakan provinsi dengan angka perkawinan anak paling tinggi.

Ia menyebut bahwa angka perkawinan anak di Jawa Timur 10,44% lebih tinggi dari angka rata-rata nasional. Bahkan ditemukan sebanyak 15.337 kasus yang mengajukan permohonan dispensasi nikah. Tentu hal ini menjadi salah satu tantangan yang hendaknya kita perhatikan bersama.

Pendidikan Untuk Menunda Pernikahan Dini

Saya sendiri sempat dikagetkan dengan kasus dispensasi nikah yang diajukan oleh tetangga saya. Namun, sebagai masyarakat yang tinggal di desa, saya tidak mau menyalahkan mereka yang menikah di usia dini. Saya mengamini bahwa situasi dan kondisi menjadi faktor utama terjadinya kasus tersebut

Tentang hal ini saya sempat berbincang dengan tetangga saya yang telah mengenyam perguruan tinggi. Beliau memberikan pernyataan yang cukup mengejutkan, namun juga masuk akal.

Yo arep piye maneh, lha wong yo wis ora sekolah (Ya mau gimana lagi, sudah ngga sekolah kok)”

Saya mafhum bahwa pendidikan menjadi salah satu cara untuk menunda pernikahan dini. Pendidikan memang digadang dapat memberikan pengetahuan dan wawasan yang luas bagi masyarakat. Sehingga setiap individu pun akan mempunyai mindset yang lebih tertata rapi.

Sebagai sarana transformasi pengetahuan, pendidikan menjadi hal yang urgent bagi generasi muda. Pendidikan adalah salah satu jalan untuk keluar dari kebodohan, keterbelengguan, keterbelakangan, dan pola pikir yang sempit. Dengan demikian, masalah pernikahan pun dapat dipersiapkan dengan lebih matang. Karena pernikahan bukan hanya soal urusan materi, namun juga soal kesiapan hati dan kematangan psikologi.

Pernikahan Dini dan Permasalahan Pendidikan di Indonesia

Namun  permasalahannya tidak sesederhana itu. Tidak semua orang memiliki akses pendidikan yang sama. Teman saya misalnya, ia terpaksa putus sekolah karena faktor ekonomi keluarganya yang kurang mendukung. Akhirnya ia harus bekerja di usia yang masih belia untuk membantu perekonomian keluarga. Tidak berselang lama, ia pun memutuskan untuk menjalin tali pernikahan.

Pendidikan memang dapat mencegah terjadinya pernikahan dini. Namun, biaya pendidikan yang terlampau mahal membuat sebagian orang tidak memiliki kesempatan untuk mengakses pendidikan yang sama. Atau jika pun iya, pendidikan yang dapat mereka akses adalah pendidikan yang kurang berkualitas sehingga berdampak pada perjalanan karier mereka.

Demikian Helmi Yahya menjelaskan, lingkaran setan kemiskinan akan terus terjadi. Bermula dari jebakan kemiskinan, kurangnya akses pendidikan, dan akhirnya pekerjaan yang kurang layak atau menikah di usia dini. Dan ini menurut Helmi akan terus terjadi jika tidak ada kemauan keras untuk memutuskannya.

Terkait masalah pendidikan pemerintah Indonesia pada dasarnya juga sudah berupaya membuat berbagai kebijakan. Mulai dari program PIP, KIP, maupun beasiswa. Namun, lagi-lagi program tersebut realitasnya belum mampu menyasar masyarakat secara tepat. Rumitnya administrasi dan persyaratan yang terkadang kurang masuk akal pada akhirnya tidak akan berdampak apa-apa tanpa memiliki jalur orang dalam.

Di tempat saya sendiri sebenarnya pemerintah daerah memberikan beasiswa kuliah yang jumlahnya terbilang lumayan. Namun, beasiswa tersebut hanya dapat diikuti oleh mahasiswa yang berkuliah di kampus negeri atau swasta dengan akreditasi A. Terlepas dari berbagai pertimbangan yang mereka lakukan, rasanya kebijakan tersebut kurang inklusif bagi mahasiswa yang sudah berjuang untuk menempuh pendidikan tinggi meskipun di kampus swasta. Padahal untuk mendapat beasiswa tersebut juga terdapat seleksi lain yang seharusnya semua mahasiswa dapat mengikuti tanpa harus terpaku dari kampus mana mereka berasal.

Bahaya Kapitalisasi Pendidikan

Bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa biaya pendidikan saat ini selalu menjadi keluhan para orang tua. Meskipun biaya ini juga akan dialokasikan untuk pengadaan fasilitas pendidikan, pemeliharaan, dan pembiayaan guru. Pada akhirnya kualitas pendidikan akan berbanding lurus dengan syarat biaya yang mereka berikan. Akibatnya pendidikan dengan kualitas yang baik hanya akan dapat diakses oleh mereka yang mempunyai penghasilan menengah ke atas.

Abdul Muhid dan Idham Oka Laksana Putra (2021) dalam jurnalnya, “Kapitalisasi Pandidikan dan Aksestabilitas Belajar mengungkap bahwa dunia pendidikan sekarang ini mulai mengarah pada mekanisme untung-rugi. Pendidikan menjadi lahan bagi para pemilik modal atau kapitalis untuk meraup profit dan keuntungan dari hasil komersialisasi pendidikan yang mereka lakukan.

Lebih jauh, pendidikan hanya menjadi alat untuk mencetak pekerja di sektor industri yang diperlukan. Jika pendidikan sudah jauh dari tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, pembukaan UUD 1945 pun hanya sekadar menjadi dasar negara tanpa makna.

Hal tersebut jika dibiarkan dapat memperlebar jurang kesenjangan antara masyarakat kelas menengah ke bawah dan menengah ke atas. Mereka yang memiliki modal dapat mengakses pendidikan yang berkualitas dan mampu mempersiapkan kehidupan yang lebih sejahtera. Sedangkan mereka yang terkendala dalam modal hanya akan menjangkau pendidikan ala kadarnya. Lebih mirisnya mereka akan terancam putus sekolah dan menikah di usia dini.

Pemerintah dalam hal ini hendaknya bersedia mengevaluasi program-program yang telah berjalan dengan melihat data-data yang ada di kalangan akar rumput. Dengan demikian tujuan pendidikan inklusif yang dapat menghindarkan masyarakat dari kasus pernikahan dini semoga dapat terealisasikan.  

Bagikan
Exit mobile version