Tidak jarang sebuah rumah tangga yang sudah dirundung masalah yang sulit diselesaikan harus berakhir di Pengadilan. Itu bukan berarti sebuah aib. Karena hukum perceraian berkisar antara haram, sunnah, atau bahkan wajib.
Jika sebuah rumah tangga justru mendatangkan madarat bagi kedua belah pihak. Dalam kondisi ini, berdasarkan kaidah maslahat, maka justru bercerai hukumnya wajib. Yang artinya, perceraian tidak perlu dipandang sebagai sebuah aib.
Hak-Hak Istri Pasca Perceraian
Paling tidak ada tiga hak istri pasca perceraian. Yaitu nafkah lampau, nafkah iddah, dan mut’ah. Pertama, tentang nafkah lampau. Nafkah lampau adalah nafkah yang telah berlalu.
Pada dasarnya, kewajiban memberi nafkah ada kewajiban suami. Nah, nafkah lampau ini muncul ketika suami tidak lagi menafkahi istri. Dan itu sudah berjalan beberapa waktu. Apakah dalam hitungan bulan atau tahun. Inilah nafkah lampau. Di mana suami telah tidak menjalankan kewajiban memberi nafkah.
Pada umumnya, ini terjadi ketika suami dan istri telah berpisah tempat tinggal. Karena masalah rumah tangga yang terjadi. Apakah karena pertengkaran atau karena hal lain.
Kedua, tentang nafkah iddah. Pasca berpisah, istri harus menjalani masa iddah selama sekitar 90 hari. Selama masa ini, perempuan tidak boleh menerima lamaran orang lain. Apa lagi menikah. Di masa iddah ini pula, suami berhak mejuruk kembali istrinya.
Selama masa iddah ini, seorang perempuan berhak atas nafkah dari mantan suaminya. Inilah nafkah iddah. Yaitu nafkah dari suami selama masa iddah.
Dan ketiga, tentang mut’ah. Mut’ah juga memiliki arti sebagai cindera mata. Ini bukan mahar yang dikembalikan. Tapi, murni pemberian suami kepada istri karena terjadi perceraian.
Bahwa istri telah menemani sekian lama. Namun, karena suatu hal, perceraian harus terjadi. Maka, istri berhak atas cindera mata dari suami. Bentuknya bisa saja uang atau benda berharga lainnya.
Cerai Gugat dan Cerai Talak
Kita harus pahami dulu jenis perceraian yang terjadi di pengadilan. Paling tidak, ada dua kemungkinan perceraian ke pengadilan. Yaitu cerai gugat dan cerai talak. Keduanya didaftar di pengadilan sebagai perkara gugatan. Hanya jenisnya yang berbeda.
Cerai gugatan adalah jenis gugatan yang istri ajukan ke pengadilan. Inti tuntutannya adalah, agar pengadilan, yang dalam hal ini majelis hakim, menjatuhkan talak suaminya terhadap dirinya. Dalam hal ini, pengadilan menjatuhkan talak.
Sementara itu, cerai talak adalah suami yang ajukan. Yang pada intinya, isi tuntutannya adalah memohon kepada mejelis hakim agar memberikan izin pada suami untuk menjatuhkan talak pada istrinya.
Dalam hal cerai gugat, memang belum ada kesepakatan fikhiyah tentang apakah hak istri bisa mendapat tuntutan atau tidak. Karena ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa mengajukan gugatan cerai terhadap suami termausk dalam kategori nusyuz (durhaka).
Begitu juga di dalam mekanisme hukum. Belum ada mekanisme hukum yang melindungi hak-hak istri dalam perkara cerai gugat.
Adapun dalam perkara cerai talak, diajukan oleh suami, istri tidak dianggap dalam kategori nuzyuz. Karena perceraian atas kehendak suami. Selain itu, sudah ada mekanisme perlindungan hukum untuk melindungi hak-hak istri. Mekanime itu berupa gugatan balik oleh istri kepada suami.
Gugatan Balik
Gugatan balik ini adalah mekanisme hukum yang tersedia di dalam hukum. Yaitu gugatan balik atas sebuah gugatan. Ketika seseorang tergugat di pengadilan, dia berhak mengajukan gugatan balik. Dalam mekanisme hukum, itu adalah upaya rekonvensi.
Kita sudah bicarakan tentang cerai talak dan cerai gugat. Keduanya adalah gugatan. Poin pentingnya adalah, di dalam cerai gugat (oleh istri), hak-hak istri tidak bisa mendapat tuntutan. Sedangkan dalam perkara cerai talak (oleh suami), hak-hak istri bisa mendapat tuntutan dengan mekanisme gugatan balik.
Sebetulnya, secara hukum, istri bisa mengajukan gugatan cerai pada suami, sekaligus menuntut hak-hak istri pasca perceraian. Namun, kemungkina berhasilnya kecil. Dan itu jarang terjadi.
Selain itu, ada problem fikhiyah tadi. Bahwa ada pendapat yang menyatakan bahwa jika istri mengajukan gagatan, berarti dia nusyuz. Sehingga, tidak berhak atas hak-haknya pasca perceraian.
Lain halnya dengan cerai talak. Ada mekanisme yang untuk mempertahankan hak-hak istri pasca perceraian melalui mekanisme gugatan balik. Jadi, di dalam perkara cerai talak, hak-hak istri mungkin untuk dituntut balik kepada suami.
Prosedur Gugatan Balik
Gugatan balik ini bisa diajukan ketika proses persidangan memasuki agenda jawaban. Jadi, ketika suami mengajukan gugatan, di persidangan istri punya hak jawab atas gugatan itu.
Istri berhak menanggapi setiap poin dari dalil gugatan. Istri berhak membenarkan atau menyanggah dalil-dalil itu. Kemudian tentang tututannya untuk bercerai. Istri juga berhak mejawab. Apakah dia keberatan atas tuntutan itu atau tidak.
Nah, bersamaan dengan jawaban itu pula istri berhak menuntut balik kepada suami terkait hak-hak istri pasca perceraian. Yaitu berupa hak nafkah lampau, nafkah iddah, dan mut’ah.
Perincian Nafkah
Nah. Penting untuk membuat tuntutan balik itu detail. Supaya majelis hakim mempertimbangkan tuntutan itu. Karena jika tidak detail, bisa jadi majelis hakim akan mengabaikan tuntutan balik itu. Karena tidak jelas.
Tentang nafkah lampau. Penting untuk menyebutkan sudah berapa lama tidak mendapat hak nafkah. Dan juga jumlah tuntutannya, berapa yang dituntut untuk satu harinya. Sehingga jumlah itu dikalikan berapa lama tidak dinafkahi.
Misalnya, sudah satu tahun tidak mendapat nafkah. Maka istri bisa membuat perincian dengan menyebutkan, “menuntut suami memberi nafkah lampau sejumlah Rp100.000 per hari. Dikalikan 30 hari berarti Rp3.000.000.- sehingga satu tahunnya berarti Rp36.000.000.- (tiga puluh enam juta rupiah).
Begitu juga dengan nafkah iddah. Berapa yang dituntut untuk selama masa iddah itu? Misalnya, Rp100.000.- per hari untuk selama tiga bulan. Berarti Rp9.000.000.- (sembilan juta rupiah). Maka itu disebutkan dalam gugatan balik.
Begitu juga dengan mu’tah. Jika mendapat tuntutan berupa uang, maka sebutkan berapa nilainya. Jika barang, sebutkan apa barangnya. Bisa berupa emas sekian gram atau barang berharga lainnya.
Nah. Gugatan balik itu nanti harus istri buktikan ketika memasuki agenda pembutikan. Dalil-dalil gugatan balik itu harus terbukti. Misalnya, bahwa suami telah sekian lama tidak memberi nafkah pada istri. Ini adalah bukti penting tentang nafkah lampau. Termasuk kemampuan suami dalam memberi nafkah. Ini akan menjadi pertimbangan tersendiri bagi hakim.
Di dalam putusan. Dengan petimbangan tertentu, hakim tidak selalu mengabulkan semua tuntutan balik itu. Yang artinya, bisa saja terkabulkan seluruhnya sesuai dengan nilai gugatan balik, atau sebagian. Demikian artikel ini. Semoga bermanfaat. []
Civitas Universitas Siber Muhammadiyah (SIBERMU). Alumnus program studi Syariah dan HAM, Pascasarjana, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) tahun 2018. Juga alumnus Program studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) tahun 2015. Juga sempat mengenyam pendidikan diploma II Program studi bahasa Arab dan Studi Islam pada Ma’had Abdurahman Ibn ‘Auf Universitas Muhmmadiyah Malang lulus tahun 2011.
Sepanjang tahun 2020 telah menulis beberapa buku. Yaitu: (1) Pengantar Singkat Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Penerbit Ruang Karya), (2) Pandemiologi: Catatan Kritis Tentang Parodi Kekuasaan di Hadapan Covid-19 (Penerbit Ruang Karya), (3) Agama dan Refleksi Filosofis: Dari Tabiat kebebasan ke Toleransi Pemikiran (Penerbit Ruang Karya), (4) Islam Progresif, Catatan Pemikiran yang Melampaui Zaman Untuk Kemajuan Peradaban (Penerbit Ruang Karya), (5) Indonesia Menuju Plutokrasi, Catatan Hitam Bagi Kekuasaan (Penerbit Literasi Nusantara), dan Ilmu Kepenulisan, Memahami Rahasia Menjadi Seorang Penulis (Penerbit Farha Pustaka).