Site icon Inspirasi Muslimah

Perihal Anak di Era yang Tak Enak

gawai anak

Menjadi anak-anak di era millenium ke tiga tidaklah sesepele angkatan kita (hah! Kita) yang kerap mereposisi urgensi sandal jepit menjadi tiang gawang. Anak-anak kini menemukan dunia yang melejit bak kereta api sebagaimana Anthony Giddens katakan. Dunia yang melaju tanpa henti dan mahakompetitif. Pilihannya masuk dalam gerbong arus cepat dunia atau tertinggal bahkan tergilas.

Untuk menjadi penumpang di gerbong percepatan dunia, anak terpaksa bahkan dipaksa untuk lekas bergegas dari dunia fantasi (enggak pake impian jaya ancol) menuju dunia mekanistik yang tak asik. Dunia yang selalu mengkalkulasi kesuksesan bahkan kebahagiaan anak dari angka-angka seperti halnya nilai rapor. Sukses studi itu penting mom & dad, tapi suksesi psikologi jauh lebih penting bagi anak di fase-fase perkembangannya.

Kini, semua sedemikan reprisif bagi anak. Di rumah mereka dipaksa menjadi penurut dan di sekolah ditekan untuk mendapat nomor urut (ranking teratas bukan terbaik). Bagaimana mungkin, orang tua yang menuntut anaknya sukses di sekolah; tapi mereka sendiri sukses menggunakan gawainya berjam-jam bahkan seharian suntuk tanpa menemani sang anak bermain.

Tayangan Cocomelon mungkin bisa menyelamatkan Anda dari kejenuhan menjaga sang buah hati. Tapi di kemudian hari Anda akan mengerti (bahasa halus menyesali) bahwa gawai memancarkan radiasi yang berisiko negatif terhadap kesehatan otak anak, berpotensi melahirkan kerusakan saraf , ganguan mental, bahkan keterlambatan bicara.

Sekolah yang menjadi anak tumbuh berkembang juga masih saja banyak menyisakan keprihatinan. Produk dan proses pendidikan sekolah masih jauh dari apa yang Paulo Freire sebut sebagai pendidikan pembebesan. Ia mengkritik sistem pendidikan yang menjadikan peserta didik bagian dari banking system. Di mana para guru mendeposit pengetahuan selama pembelajaran dan kemudian mengujinya di hari ujian akhir sebagai tolak ukur keberhasilan pembelajaran. Belum lagi kasus bullying “perundungan” yang masih marak di sekolah hingga tidak jarang menyebabkan peserta didik depresi bahkan menghilangkan nyawanya. OECD (organization of Economic Co- operation and Development) melakukan riset pada tahun 2018 dan didapati 41,1 persen murid di Indonesia pernah mengalami perundungan.

***

Terdapat keragaman makna dalam memaknai konsep anak. Undang-undang RI No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak menyebutkan bahwa anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Apapun definisinya, setiap anak adalah mahluk independen yang memiliki hak veto untuk mengikuti nurani dan menikmati takdir hidupnya. Peribahasa buah tak jatuh dari pohonnya bukanlah alasan untuk memaksa anak menjadi apa maunya orang tua bahkan  menjadi persis seperti orang tuanya. Sekalipun para pendukung toeri nativisme kekeuh bahwa faktor biologis yang disponsori oleh kualitas endogen orang tua yang dominan terhadap perkembangan anak; tetap saja seorang anak memiliki fote note sendiri dalam mengarungi babak demi babak di hidupnya.

Menjaga hak anak untuk tumbuh berkembang hingga akhirnya menemukan jalan suksesnya sendiri adalah kewajiban bagi setiap orang tua bahkan masyarakat secara luas. Pasal 1 ayat 2 Undang-undang RI Tahun 2002 tentang pelindungan anak menyebutkan, bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin anak dan hak-haknya agar dapat hidup. Tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Bagaimana anak bisa mengoptimalkan potensi dirinya, jika ia terus dirongrong oleh tuntunan zaman dan ekspektasi orang tua yang terlampau ambisi. Maka dibutuhkan habituasi baru dalam memandang dan membesarakan anak ditengah kehidupan digital yang juga beriringan dengan new normal. Orang tua dan masyarakat tidak juga boleh gugup dan gagap merespon perubahan, tapi tak kemudian membiarkan sang anak terseret arus zaman.

Bermainlah bersama anak

Bermain bersama anak menjadi hal langka di era digital saat ini. Padahal permainan sederhana seperti “Cilukba” saja, melansir halaman theasianparent.com, selain menstimulus parents bonding juga mendorong anak untuk meningkatkan kemampuan bersosialisai anak, mengenali kemandirian, mengembangkan kemampuan kognitif, dan keterampilan awal matematika.

Bermain bersama anak juga memberikan banyak manfaat seperti, mengenal kosa kata baru, bergerak dan mensalurkan energi anak sehingga ia tidak depresi, lesu, bahkan setres; hingga akhirnya orang tua dapat mengetahui apa dan bagaimana minat bakat anak. Apakah anak lebih menyukai permainan yang mengandalkan motorik kasar atau permainan yang menggunakan motorik halus.

Batasi Gawai dari Anak

Memberikan porsi penggunan gawai bagi anak sangatlah penting untuk mengembalikan kodrat tumbuh kembang anak. Survei asosiasi penyelenggara jasa internet Indonesia, terdapat 196,7 juta pengguna internet di tahun 2020. Hasil tersebut menunjukkan kenaikan signifikan dari pengguna internet di tahun 2019 sebanyak 171 juta. Dalam hal in terdapat peningkatan 25,57 penikmat internet yang salah satu sumbangsih terbesarnya bisa jadi adalah anak-anak yang belum sepatutnya berselancar di dunia internet. Dunia tanpa batas yang tak terbatas oleh ruang dan waktu.

Laranglah anak untuk menggunakan gawai di saat-saat penting interaksi bersama orang tua atau lingkungannya. Cobalah jangan biarkan anak menggunakan gawai saat sedang makan, menjelang tidur, dan saat berkumpul dengan sanak keluarga. Mengutip kompas.com, organisasi kesehatan dunia (WHO), telah mengeluarkan pedoman screen time pada usia anak balita. Pedoman tersebut menyebutkan, bahwa bayi di bawah satu tahun  tidak boleh terpapar layar elektronik dan anak di rentang usia dua hingga lima tahun tidak boleh melihat layar elektronik lebih dari satu jam dalam setiap harinya.

Membatasi gawai pada anak artinya membangun kembali keintiman interaksi dengan orang tuanya. Usaha ini adalah bagian daripada mempersiapkan anak menjadi manusia sehat dan bermanfaat di masa depan. Ingatlah bahwa lima tahun pertama anak adalah masa-masa emas untuk tumbuh kembang anak yang akan termanifestasikan kelak ketika anak dewasa dan beranjak tua.

Raih Sekolah yang Humanis dan Dinamis

Mendapatkan sekolah yang benar-benar dapat membantu anak mencapai potensi maksimalnya tidak mudah dan tidaklah sulit. Selektif dalam memilih  sekolah tentu dibarengi dengan kemampuan finansial yang dimiliki orang tua. Sebagai anak tangga yang memengaruhi karakter bahkan masa depan anak, sekolah harus mampu memberikan ruang bagi anak berekspresi.

Sekolah yang dengan berbagai skema pendidikannya baik kurikulum maupun sumber daya manusianya sedapat mungkin dapat menstimulan dan mengasah potensi anak bukan hanya di potensi akademik tapi non akademik. Jika sekolah ideal tersebut tak dapat dijangkau dengan kapasitas finansial orang tua; cobalah tetap mencari sekolah terbaik yang sekalipun jauh dari sempurna tapi dapat diimbangi dengan peran orang tua sebagai guru pertama dan selama di rumah. Sebagaiman pesan Ki Hajar dewantara, “setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah”.

Syahdan, jangan kelak kita menyesali waktu yang terbuang sia-sia karena tidak membersamai tumbuh kembang anak. Selelah dan sesibuk apapun, cobalah porsikan dengan optimal waktu bersama anak. Sebagaimana apa yang dikatakan penyair berkebangsaan Amerika Ogden nash, “anak-anak tidak suka diabaikan, dan untuk itulah orang tua diciptakan”.

Bagikan
Exit mobile version