Site icon Inspirasi Muslimah

Perempuan Pelayan Warung : Terpaksa Menjual Diri Demi Bertahan Hidup

perempuan pelayan

Berbeda dengan warung kopi biasa, di beberapa daerah berkembang usaha warkop yang memberikan “layanan tambahan” berupa sensasi seksualitas. Warkop seperti itu di beberapa daerah Jawa Timur disebut sebagai “Warung Kopi Pangku.” . Warkop Pangku biasa memiliki para pelayan yang bersolek dan menggunakan “pakaian mini.” Para pelayan perempuan tak hanya memberikan hidangan, melainkan juga mengajak “bicara dan tertawa” bersama konsumennya.” Menurut pengamatan Majid dan Prasetyo (2013) di salah satu warkop bahkan antara para pelayan dengan konsumen saling berpelukan, bercumbu, sampai dengan memegang alat vital.

Problem penghidupan lagi-lagi membuat para pelayan perempuan memulai pekerjaan tersebut dari usia remaja. Keterbatasan akses penghidupan lainnya serta layanan publik tentu menjadi di antara penyebab perempuan muda memilih pekerjaan tersebut. Pemilik warkop berupaya melakukan berbagai cara untuk menarik pelanggan mulai dari penentuan jenis kopi, pemberian fasilitas dan layanan lainnya untuk memastikan pelanggan nyaman.

Perempuan cantik menjadi salah strategi bisnis yang digunakan pemilik warkop untuk memikat pelanggan. Pemilik warkop mengklaim bahwa tindakan yang ia lakukan bukanlah prostitusi, melainkan hanya meminta perempuan menjadi penjaga dan pelayan warung. Warkop Pangku juga menjual minuman beralkohol. Pelayan perempuan di sisi lain menganggap apa yang ia lakukan sebagai “bentuk aktualisasi diri” dengan alasan akan berupaya mencari penghasilan daripada tidak bekerja.

Pemilik warkop di salah satu daerah Jawa Timur yang dikaji oleh Wityno dan Rahayuningsih (2017) mengklaim bahwa tempat usahanya lebih ramai setelah mempekerjakan pelayan perempuan yang memberikan sensasi seksual. Pelayan perempuan di sisi lain merasa tak punya pilihan akibat tingkat pendidikan rendah dan sudah memiliki keluarga. Pelayan perempuan bekerja mulai dari pagi hari sampai malam hari di tengah tanggungjawab lain seperti mengurus urusan rumah tangga.

Orang tua mereka sebenarnya tak menyetujui anaknya menjadi pelayan warkop Pangku, tetapi desakan ekonomi membuat orang tua mengizinkan. Pelayan perempuan mengaku bahwa dirinya tak punya pilihan lain. Masyarakat juga sama sekali tak peduli dengan keadaan penghidupan yang memaksa mereka harus mengambil pekerjaan menjadi pelayan warkop Pangku. Mereka hanya bisa mengandalkan berhutang pada teman dekat ataupun orang tuanya, apabila ada kebutuhan mendesak.

Menurut Muqoddam (2018), warung kopi Pangku berbeda dengan warung kopi remang-remang. Warung kopi remang-remang cenderung menjadi tempat menjual minuman keras dan judi serta melakukan prostitusi ilegal dengan tempat sederhana. Warkop remang-remang juga memiliki akses listrik seadanya bahkan tempatnya yang jauh dari keramaian. Warung kopi Pangku justru berada tak jauh dari jalan umum dan desa-desa dengan menggunakan fasilitas yang lebih modern seperti tempat karaoke. Warkop Pangku tak selalu menjadi tempat untuk melakukan hubungan seks.

Pelanggan mengaku akan puas jika pelayan perempuan mau berkomunikasi dengan mesra dan membuat mereka kembali datang ke warkop. Warkop Pangku hanya menjadi “hiburan” bagi pelanggannya dan “kepuasaan diri.” Pelayan perempuan di sisi lain ingin mendapatkan penghasilan tambahan dari “service” kepada pelanggan tetap, entah dengan memberikan pelukan sampai dengan memberikan ciuman. Setiap tindakan erotis pada bagian tubuh diberikan tarif berbeda. Pelanggan yang ingin mendapatkan “service lebih” harus membuat janji dulu melalui pesan singkat dengan ponsel. Hal tersebut karena perempuan di warkop Pangku tak mau asal memberikan “service lebih,” jika tak percaya dengan pelanggannya. Pelayan perempuan harus mengenal betul kalau perlu pelanggan tersebut harus dipastikan sudah menjadi “temannya.”

Perempuan yang bekerja menjadi pelayan menyatakan bahwa bekerja di warkop Pangku bukanlah hal sulit disebabkan hanya berbekal penampilan “memikat.” Mereka yang ingin menjadi pelayan tak bisa hanya coba-coba, melainkan harus benar-benar mau membangun ikatan dengan bosnya. Pelayan bahkan terkadang harus tinggal bersama pemilik warkop dan tidak ada libur. Kebutuhan makan mereka ditanggung oleh pemilik warung. Gaji yang ditentukan oleh pemilik warkop dan cenderung berbeda-beda tergantung kriteria yang ditentukan secara sepihak oleh bosnya.

Pelayan perempuan tetap berupaya menjalankan fungsi mereka di ranah domestik terutama dalam pengasuhan anak. Mereka menyadari bahwa mereka perlu memberikan pengasuhan yang baik bagi anaknya, agar dapat menjadi yang baik.

Pelayan perempuan di sisi lain justru menganggap bahwa “membiarkan anaknya menanggung beban penghidupan” adalah bentuk “kasih sayang,” mereka bahkan rela jika anaknya harus ikut membantu mencari penghidupan di jalanan. Hal tersebut diklaim sebagai bentuk “belajar mandiri” untuk memberikan “pemahaman sulitnya mencari uang.” Mereka tetap menganggap bahwa “yang penting kebutuhan pokok” anaknya dapat terpenuhi.

Warung kopi Pangku di beberapa daerah juga dikenal dengan sebutan warkop Cetol atau Cethot. Para pelayan bersama pelanggan memiliki “kode-kode tertentu,” apabila akan “berinteraksi.” Pelanggan tak segan untuk mencubit sampai dengan mengangkat rok pelayan perempuan sampai setinggi paha, apabila ingin dilayani.

Penggunaan “baju seksi” dan tata rias wajah sendiri telah menjadi kode untuk menarik pelanggan terus datang ke warkop. Pelayan akan mengedipkan mata atau memainkan jari untuk mengajak berkomunikasi pelanggan. “Suara yang menggoda” serta memperlihatkan lekukan tubuh menjadi kode lainnya yang digunakan oleh pelayan perempuan untuk menarik minat pelanggan.

Pelayan perempuan berupaya menggaet pelanggan sebanyak-banyaknya, sehingga pelanggan akan mengajak temannya untuk ikut berkunjung. Dari sinilah terjadi hubungan “timbal balik,” karena pelanggan juga mencari “hiburan” dari sisi “genit dan kenakalan” pelayan perempuan.

Kita telah melihat bahwa pilihan para pelayan warkop Pangku adalah buah dari minimnya akses pekerjaan layak sekaligus akses pendidikan kepada kalangan perempuan di daerah pedesaan. Langkah pemerintah untuk melindungi mereka yang sudah terpaksa menjadi pelayan warkop dapat dilakukan misalnya diawali dengan memberikan pelatihan kerja sampai dengan disalurkan kepada lapangan kerja formal.

Pilihan lain adalah memberikan mereka pendampingan modal dan fasilitasi untuk membentuk usaha kecil yang dapat berkembang. Akses pendidikan dan pengembangan lapangan kerja formal di seluruh daerah menjadi penting untuk mencegah kalangan perempuan muda ikut masuk dalam permasalahan yang sama.

Bagikan
Exit mobile version