f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
Perempuan Kecil dan Kelas Kosongnya

Perempuan Kecil dan Kelas Kosongnya

Oleh: Ria Eka Lestari

Genap empat hari namanya tercantum di kolom absensi. Tanpa keterangan. Chat terhenti tanpa ada balasan. Ada apa dengannya? Sakitkah dia? Atau ada keperluan keluarga? Mengapa tak ada jawaban dari perempuan yang melahirkannya? Mengapa hanya deringan nada sambung yang terdengar? Ingin rasanya kaki ini berlari ke rumahnya, tapi apa daya setumpuk tugas menanti di atas meja.

Di hari kelima, sosoknya mulai muncul di sudut kelas. Sapaan hambar dan senyuman yang tampak dipaksakan hadir dari paras teduhnya. Lalu disusul Perempuan muda di sampingnya menghampiri, dan menceritakan segala hal di balik ketidakhadirannya selama ini.

Allah, mengapa baru sekarang? Untuk apa semua tugas administrasi ini dituntaskan jika harus kehilangan senyumnya?

Tak mau pergi sekolah karena malu. Takut, lebih tepatnya. Khawatir teman-teman memanggilnya pembohong. Bahkan sahabatnya pun menuduhnya menipu guru. Tujuh hari yang sudah dilaluinya tanpa bisa menjalankan shalat, harus ditambah lagi hingga lima hari ini.

Perempuan kecil itu tak lagi mampu mendengar ocehan teman. Tentu ini berakibat pada keengganannya mengurung diri di rumah, tanpa mau bercerita sekalipun pada perempuan yang membesarkannya.

Ini bukan sebuah kisah fiksi. Sebaliknya, fakta yang saya jumpai ketika mengisi pelatihan di suatu tempat. Siswi Sekolah Dasar (SD) yang takut masuk sekolah karena mengalami siklus haid yang tidak sama dengan teman-temannya.

Ketakutan yang diakibatkan oleh cibiran teman dekat “gadis tak normal”, sungguh telah mengikat kesempatannya menikmati pendidikan.

Mungkin sebagian dari kita merasa hal seperti ini adalah biasa. Tapi realita tak dapat dipungkiri kebenarannya. Pola pikir anak-anak yang belum bisa sama seperti orang dewasa, mau tidak mau harus kita akui.

Baca Juga  Mengumpulkan Curahan Hati Perempuan Muda

Pun tak perlu mencari siapa yang salah dalam hal ini. Ibunya kah? Guru kelasnya? Teman-temannya? Atau justru si anak sendiri? Hubungan sebab akibat pastilah berperan dalam kasus ini.

Perlakuan berupa cibiran termasuk dalam bullying verbal. Ela Zain Zakiyah, dkk (2017) dalam Jurnal Penelitian dan PPM Vol. 4 No. 2 menuliskan masalah yang lebih mungkin diderita anak-anak yang menjadi korban bullying antara lain munculnya berbagai masalah mental seperti depresi, kegelisahan, rasa tidak aman saat berada di lingkungan sekolah, dan penurunan semangat belajar serta prestasi akademis.

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya bullying bisa datang dari individu, keluarga, kelompok bermain, hingga lingkungan komunitas pelaku.

Belajar dari kasus ini, banyak stakeholder yang bisa mengambil peran untuk mencegah kasus serupa agar tidak terulang kembali. Keluarga, misalnya. Sebagai sosok ibu yang dekat dengan anak perempuannya, setidaknya mampu memberikan informasi seputar haid.

Momen perempuan kecil kita memasuki pintu gerbang pubertas yang pertama adalah momen emas. Ibu dapat menemani buah hati beberapa menit sebelum tidur dengan bercerita tentang hak dan kewajiban apa saja yang dia dapatkan setelah haid. Sehingga peri kecil tahu apa yang sedang dia alami serta siapa yang nyaman dijadikan tempat curhat jika menghadapi masalah terkait hal itu.

Lingkungan komunitas pelaku juga dapat dikondisikan. Sekolah, misalnya. Kelas keputrian dan keputraan bisa dicoba diadakan di sekolah. Bisa setiap hari Jumat selama satu jam. Sesuai dengan namanya, maka siswa dan siswi dikumpulkan di ruang yang berbeda. Guru dapat masuk kelas itu dengan memberikan wawasan seputar pubertas pada laki-laki dan perempuan.

Bentuk penanaman nilai karakter yang dapat diselipkan dalam kelas keputrian dan keputraan adalah empati. Anak diajarkan cara menghargai temannya yang sudah baligh. Caranya dengan apa? Bisa dengan menjaga kerahasiannya, tak perlu menjadi bahan obrolan yang viral di seantero sekolah. Bisa pula dengan cara menjadi sahabat terbaiknya, mengingatkan perlengkapan spesial yang harus mulai dibawa ketika mendekati tanggalnya.

Baca Juga  Lelaki yang Tak Bisa Makan Sate

Juga dengan menjadi teman dengar saat ada sesuatu yang berbeda yang dirasakan selama menghadapi masa-masa itu. Kelas keputrian dan keputraan ini bisa mulai diadakan di jenjang kelas IV, V, dan VI SD. Untuk jenjang SMP dan SMA, hendaknya juga diterapkan. Namun yang perlu mendapat perhatian adalah kurikulum kelas keputrian dan keputraan yang belum ada.  

Keefektifan kelas keputrian dan keputraan ini tertuang dalam penelitian Nurul Maghfiroh (2014) dimana ada pengaruh positif antara kelas keputrian dan keputraan dengan pembentukan integritas kepribadian anak. Manusia yang berkepribadian integral, tidak hanya menempatkan dirinya sebagai individu saja, tetapi juga sebagai makhluk sosial maupun budaya, dan merupakan bagian dari alam.

Hal ini senada dengan apa yang dituliskan Istighfarotul Rahmaniyah (2010) dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Etika, halaman 2. Perlu diketahui bahwa tujuan pendidikan seharusnya memiliki dua peran, yaitu pertama, dalam mengembangkan aspek batin atau rohani yang merujuk pada kualitas kepribadian, karakter, akhlak, dan watak. Hal itu akan menjadi bagian penting dalam pendidikan.

Kedua, yaitu pengembangan yang terfokus pada aspek jasmani seperti ketangkasan, kesehatan, cakap, kreatif, dan sebagainya. Pengembangan tersebut dilakukan di dalam institusi sekolah dan juga di luar sekolah seperti di dalam keluarga maupun masyarakat.

Mirisnya, kelas keputrian dan keputraan ini belum merata ada di tiap sekolah. Sehingga kasus serupa kerap terjadi dan berulang, serta terselesaikan hanya dengan permohonan maaf yang bahkan sakit hatinya masih berbekas dan berujung dendam anak. Kalaupun ada, tiap sekolah masih belum memiliki standar kurikulum kelas keputrian dan keputraan sesuai jenjangnya.

Hal ini juga terkadang membuat guru bingung harus mengisi materi apa lagi dalam kelas itu, dan berakhir pada kekosongan kelas atau pengulangan materi yang sama. Ketiadaan kurikulum ini juga membuktikan bahwa materi yang diberikan dalam kelas keputrian dan keputraan bisa jadi tidak melalui bahan kajian yang didasarkan atas kejadian-kejadian yang pernah terjadi di satuan pendidikan tersebut.

Baca Juga  Memaknai Hari Pahlawan ala Perempuan Milenial

Oleh karena itu, satuan pendidikan hendaknya menghindari adanya kelas keputrian tanpa acuan materi. Realita ini bak menyiapkan kelas kosong untuk menampung masalah. Maka, saat keluar dari kelas itu, masalah tetaplah menjadi masalah.

Tak dapat bermetamorfosis menjadi solusi. Tak heran jika masih banyak perempuan-perempuan kecil yang terjebak pada masalah keputriannya sendiri, memendamnya hingga remaja, dan meluapkannya ketika dewasa.

Bagikan
Comments
  • Muhari

    Keren Ria Eka L

    April 25, 2020
  • Ghufran subiyantoro

    Kejadian yang teramat sederhana secara kasat mata tetapi teramat dasyat dampaknya secara faktor psikoligi seorang anak yang mengalami hal tsb ….. sungguh2 suatu kisah yang meng inspiratif kejadian yg tiap hari kita temuka tanpa kita sadari ….. good job Bu Ria Eka Lestari

    April 27, 2020
Post a Comment