Site icon Inspirasi Muslimah

Benarkah Perempuan Dilaknat Malaikat jika Menolak ‘Ajakan’ Suaminya?

ajakan suami

Jika boleh saya sedikit bercerita, sebenarnya saya sudah cukup lama ingin membahas tema ini. Namun, karena tidak ada dorongan kuat, keinginan selalu saya tunda. Akhirnya, keinginan tersebut menguat setelah adanya diskusi saya dengan teman saya via chat WhatsApp.

Pada mulanya, diskusi berkisar pada tema ‘apakah (maaf) hubungan seksual itu termasuk nafkah lahir atau batin?’ Karena kami bekerja di bidang yang salah satu tugasnya adalah bimbingan keluarga sakinah, maka diskusi di atas difokuskan untuk mencari bahan edukasi atau bimbingan keluarga sakinah terkait kebutuhan hubungan seksual.

Hingga kemudian sebuah hadis dihadirkan oleh teman saya, yang kemudian tidak dapat saya jawab secara langsung. Sebab, untuk memahami hadis secara mendalam, diperlukan kajian yang cukup panjang. Bahkan, ketika hal penting (seperti asbabul wurud) ditemukan, diperlukan pembacaan lebih lanjut apakah langsung bisa diterapkan dalam konteks kekinian.

Akhirnya, tulisan ini pun bukan didasari atas penelitian dan pembacaan saya secara mendalam terhadap tema yang dibahas. Saya hanya mengambil beberapa penjelasan dan pendapat dari cendikiawan yang saya anggap mampu menjelaskan permasalahan secara lebih adil. Meminjam istilah dosen saya, Fahruddin Faiz, ini adalah ‘perspektif saya’.

Seorang Istri Dilaknat Malaikat

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: ” إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ “

Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jika seorang suami mengajak istrinya ke ranjangnya (untuk melakukan hubungan seksual), tetapi ia (istri) tidak mematuhinya, maka para malaikat akan melaknatnya hingga pagi tiba.

Hadis di atas diriwayatkan oleh lima dari sembilan imam hadis yang oleh kelompok Islam-sunni dianggap sebagai kitab-kitab hadis pokok. Dan cukuplah saya sampaikan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, sehingga kualitas hadisnya pasti sahih (berdasarkan kriteria mereka berdua).

Dalam hadis lain yang juga diriwayatkan oleh Iman Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa Nabi bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: ” إِذَا بَاتَتِ الْمَرْأَةُ مُهَاجِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تَرْجِعَ “

Jika seorang istri tidur meninggalkan tempat tidur suaminya, maka para malaikat melaknatnya sampai dia kembali (ke tempat tidur suaminya).

Berbagai Pendapat Terhadap Hadis di Atas

Secara tekstual hadis di atas mengisyaratkan kewajiban seorang istri untuk memenuhi ajakan suaminya untuk bersenang-senang (melakukan hubungan seksual). Seorang istri yang menolak ajakan suami dalam hal tersebut akan dilaknat malaikat.

Saya membaca sedikit (dari sekian banyak) artikel di internet yang menyebutkan beberapa golongan atau kelompok perempuan yang dilaknat. Dan perempuan yang menolak ajakan suaminya untuk melakukan hubungan seksual termasuk yang paling sering disebutkan. Bahkan tanpa disertai penjelasan singkat, seperti yang disebutkan dalam website Jakarta Islamic Centre.

Artikel lain yang diterbitkan di website almanhaj mengutip pendapat Imam al-Nawawi dalam kitabnya al-Minhāj Syarh Shahīh Muslim bin al-Hajjāj. Dalam kitab tersebut Imam al-Nawawi menjelaskan bahwa haram bagi seorang istri menolak ajakan suaminya untuk melakukan hubungan seksual tanpa alasan yang dibenarkan oleh agama (`udzr syar`i), dan haid bukanlah salah satu alasan tersebut.

Jika para feminis dan aktivis gender membaca alasan di atas, kemungkinan besar mereka akan menolaknya. Salah seorang cendikiawan kontemporer yang rasionalis-humanis bernama Zakaria Ouzon bahkan menolak hadis-hadis yang secara tekstual mendudukkan perempuan di bawah dominasi laki-laki. Baginya, hadis-hadis seperti itu tidak mencerminkan, bahkan menyalahi, ajaran Islam yang membawa semangat kesetaraan gender.

Tentunya ada juga artikel yang mencoba menjelaskan hadis-hadis di atas secara lebih adil. Pada website suaraaisyiyah, Dr. Hamim Ilyas menyebutkan bahwa secara lahir (literal) makna hadis-hadis di atas tidak sesuai dengan ajaran Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘ālamin.

Dengan menggunakan perspektif pemahaman hadis sebagai hikmah, pemahaman hadis sebagai ilmu, dan pemahaman hadis sebagai mizan (timbangan) dalam membaca hadis-hadis di atas, Dr. Hamim Ilyas berkesimpulan bahwa tujuan Nabi Muhammad Saw. dalam mengucapkan hadis tersebut adalah untuk mendorong agar suami-istri dapat saling tolong menolong dalam ketakwaan dan kebajikan dengan mewujudkan keluarga sakinah serta menjaga kehormatan diri (silakan baca artikel yang bersangkutan untuk penjelasan yang lebih detail).

Pembacaan dengan perspektif berbeda lainnya dilakukan oleh Faqihuddin Abdul Kodir dengan metode mubādalah-nya. “Mubādalah adalah relasi antara dua pihak berbasis kesetaraan, kesalingan, dan kerja sama. Juga metode interpretasi teks untuk menemukan makna yang relasional di antara para pihak yang sama-sama disapa dan dituju sg subjek yang setara.” Demikian penjelasan beliau di dalam buku Perempuan (bukan) Sumber Fitnah!

Dalam bukunya tersebut, Kiai Faqih pertama-tama menyoroti kata kunci dalam hadis-hadis di atas, yaitu kata al-la’nah (laknat). Kata tersebut bermakna jauh dari rahmah (kasih sayang). “Dalam pernikahan,” sebut Kiai Faqih, “laknat bisa terjadi jika suami atau istri marah-marah dalam waktu cukup lama, karena kebutuhan cintanya tidak terpenuhi dari pasangannya, dan lain sebagainya.

Pada tahap selanjutnya, beliau menyebutkan bahwa hadis-hadis seperti hadis laknat di atas merupakan bagian dari visi besar ajaran Islam, yaitu rahmatan lil ‘alamin. Sehingga, ia tidak dapat dibaca dan berdiri sendiri. Islam melarang berbuat zalim, tidak adil, menyakiti, dan perbuatan buruk lainnya.

Suami-istri dituntut untuk dapat membangun keluarga yang sakinah. Dalam hal ini, mereka dilarang berbuat tidak adil kepada pasangannya. Mereka dituntut untuk menyalakan “bahan bakar cinta” agar dapat membuat hubungan menjadi harmonis, salah satunya tentu saja terkait dengan kebutuhan seksual.

Dalam metode mubādalah, suatu teks diletakkan/ditujukan tidak hanya untuk satu pihak. Tetapi juga kepada pihak-pihak yang termuat di dalam teks tersebut. Maka, hadis-hadis di atas juga dapat ditujukan kepada suami, “bagaimana jika seorang suami menolak ajakan istrinya untuk melakukan hubungan seksual?

Jika kembali pada makna kata laknat (yaitu jauh dari kasih sayang), maka seorang suami pun akan dilaknat jika menolak ajakan pemenuhan kebutuhan cinta istrinya. “Artinya”, kata Kiai Faqih, “hubungan mereka akan lemah, buruk, bahkan macet”. Sebab, kebutuhan seksual tidak hanya dimiliki oleh seorang suami, tetapi juga dimiliki oleh sang istri.

Nah, untuk teman saya yang saya sebutkan di awal, pendapat Kiai Faqih inilah yang saya afirmasi.

Bagikan
Exit mobile version