Site icon Inspirasi Muslimah

Perempuan di Balik Layar Perdamaian

damai

Risnawati Ridwan

A.S.A.P. tertulis dengan huruf kapital dan dihitamkan pada ujung paragraf laporan harian dari pos daerah yang saya terima di tengah malam tersebut. Saya tidak tahu apa arti dari akronim A.S.A.P.  dan tidak ada tempat bertanya. Kebetulan saya bertugas sendirian pada malam itu. Sebagai seorang watchkeeper pada saat itu saya mempunyai tugas selama satu kali dua puluh empat jam menerima laporan dari pos-pos di daerah, kemudian meneruskan kepada pihak yang berwenang sebagai bahan kebijakan yang harus segera mendapat respon dengan cepat dan benar kemudian membuat laporan balik dan mengirimkan segera ke pos daerah.

Dengan latar belakang bukan dari kebahasaan, kemampuan berbahasa Inggris saya hanya cukup dan sekadarnya. Dalam salah satu laporan yang saya terima saat tengah malam, saya berusaha menerjemahkan laporan Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris dan sebaliknya dan dalam laporan tersebut di ujung kalimat ada tulisan A.S.A.P.  Pada saat itu kondisi sedang rawan dan saya bertugas seorang diri. Tentunya ketidaktahuan saya arti dari A.S.A.P membuat saya menerjemahkan kembali kata-kata tersebut seperti apa adanya.

Sepuluh menit setelah laporan balik saya kirimkan, teman saya yang bertugas sebagai penerjemah di pos daerah langsung menelepon saya saya dan menegur untuk memperbaiki laporan saya. Dengan kondisi tengah malam, tegang sendirian berada di dalam ruangan, terlebih dengan situasi tegang di daerah tentunya saya langsung menerima arahan teman saya tersebut.

***

Mempunyai pengalaman bekerja dan ikut terlibat dalam penyelesaian konflik merupakan pengalaman yang sulit untuk dijabarkan dengan kata-kata. Saya dan beberapa teman pernah bekerja di lembaga internasional yang berperan sebagai penengah antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Aceh, sebuah provinsi yang terletak di ujung Sumatera terkenal dengan daerah yang mengalami konflik yang berkepanjangan. Aceh juga terkenal dengan banyaknya pahlawan wanita, sebut saja Cut Nyak Dhien, Cut Mutia, Laksamana Malahayati, Pocut Baren. Bercerita tentang Aceh maka tidak menutup cerita tentang perempuan. Bagaimana perempuan juga memegang peranan yang penting dalam setiap sejarahnya.

Bahkan selama masa konflik, terdapat beberapa nama aktivis yang bersuara untuk menyelesaikan konflik Aceh seperti sebut saja Suraiyya Kamaruzzaman yang telah mendapatkan penghargaan UNDP N-Peace Award  atas upayanya melakukan peningkatan kapasitas dan advokasi pemenuhan hak perempuan Aceh yang terperangkap dalam konflik bersenjata.

Namun demikian terdapat juga perempuan-perempuan lain yang berada di belakang layar perdamaian yang telah di raih. Bahkan perempuan-perempuan ini tidak terlibat langsung dalam proses perdamaian itu sendiri. Perempuan yang namanya pun tidak tersebutkan dalam negosiasi dan konferensi formal perdamaian. Perempuan-perempuan yang bekerja di balik meja dan di balik layar yang seharusnya juga memegang peranan penting dalam sebuah negosiasi dan diplomasi perdamaian.

***

Bagi seorang perempuan, bekerja dalam wilayah konflik tentunya membutuhkan keberanian yang besar. Biasanya orang-orang yang terlibat dalam konflik adalah laki-laki dengan asumsi bahwa laki-laki lebih berani, kuat, responsif dan reaktif. Dibandingkan dengan perempuan tentunya membutuhkan tindakan-tindakan tertentu pada saat-saat tertentu juga. 

Peran Perempuan dalam Ranah Publik

Seorang teman saya yang lain bertugas sebagai interpreter yang berbarengan bekerja dengan saya juga mengalami hal-hal yang menakjubkan. Bagaimana harus menerjemahkan bahasa Inggris menjadi Bahasa Indonesia, atau dari Bahasa Inggris menjadi Bahasa Aceh, tentunya membutuhkan kecepatan berpikir dan netralitas dalam menafsirkan kalimat-kalimat tertentu jika dapat menimbulkan masalah besar.

Teman saya tersebut bukanlah seorang negosiator, ia hanyalah seorang penerjemah yang menerjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lain. Menjadi penerjemah tidak sekadar mengalihbahasakan kata per kata dari satu bahasa ke bahasa lainnya.  Ibarat menonton film The Interpreter yang Nicole Kidman mainkan. Pengalaman Silvia (Nicole Kidman) sebagai interpreter yang menginginkan hadirnya kebaikan walaupun hanya sedikit.   

Dari hal tersebut kita dapat belajar bahwa hanya gara-gara sebuah kata yang salah arti dapat berakibat fatal bagi sebuah peristiwa. Bisa jadi tujuan perdamaian yang ingin dicapai tetapi karena kesalahan sedikit bisa menimbulkan konflik yang lebih besar. Saya memahami bahwa orang-orang yang berperan di balik hadirnya sebuah perdamaian itu bukan hanya di depan layar saja. Adanya orang-orang yang hadir di belakang layar juga sangat menentukan bagaimana orang di depan layar bertindak seperti tindakan Silvia (Nicole Kidman).

***

Teman saya yang lain juga melakukan hal-hal kecil yang mendukung perdamaian itu sendiri. Peace Zone, selembar kertas di tempel di pintu toilet oleh teman saya di kantor kami. Saat tersebut kami tertawa melihat lembaran peace zone  tersebut. Saat itu peace zone adalah sebuah istilah yang sempat booming di Aceh pada masa penyelesaian konflik periode 2002 – 2003. Persoalan konflik di Aceh telah melibatkan pihak ketiga di mana kedua belah pihak yang berseteru yaitu Pemerintah Indoensia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah melibatkan Henry Dunant Center (HDC) sebagai penengah dalam menyelesaikan konflik yang telah terjadi sejak lama.

Peace Zone di pintu toilet tentunya mempunyai pemahaman yang sama dengan kondisi di lapangan. Sesuai dengan namanya, merupakan daerah yang aman dan tidak terjadinya baku tembak antara GAM dan TNI. Sedangkan toilet juga merupakan daerah yang aman bagi kita untuk melakukan aktivitas pribadi. Apalagi perempuan, tentunya sangat membutuhkan wilayah aman untuk melakukan aktivitas tertentu misalnya berganti pakaian.  

Peran Perempuan dalam Ranah Domestik

Selain cerita teman-teman yang terlibat dalam masa-masa pencapaian perdamaian, ada juga seorang teman lain sebut saja dengan nama Muna. Muna berpengalaman bekerja di beberapa daerah konflik di Indonesia termasuk Aceh. Sehingga saat Muna membuat proposal penelitian doktoralnya, Muna mengambil topik tentang peran ibu dalam memperkenalkan konsep keberagaman pada anak usia dini. Tentunya penelitian ini mengusung tema tentang peran-peran perempuan dalam membentuk kader-kader perdamaian sejak di dalam rumah.

Struktur keluarga di Indonesia, pada umumnya terdiri atas ayah sebagai kepala keluarga, dan ibu yang lebih mempunyai peran manajerial dan edukasi bagi anggota keluarga dan anak-anak sebagai individu yang lebih sering melihat orang tua mereka sebagai figur dalam pembentukan konsep diri. Interaksi-interaksi yang terbangun dalam keluarga akan membentuk berbagai konsep diri pada anak.

Dalam hal ini (terutama) ibu mempunyai peran yang sangat penting. Konsep keberagaman yang ditanamkan ibu kepada anaknya akan membangun kesadaran pada anak sehingga anak dapat membentuk konsep pada dirinya sendiri tentang keberagaman yang dia hadapi dikehidupan nyata. Konsep diri (self) dan yang lain (the other) yang terus akan dibawa hingga kelak mereka dewasa

Pemahaman perdamaian tentunya harus berawal dari rumah. Perempuan yang memahami konsep perdamaian tentunya akan lebih mudah untuk mengajarkan kepada anak-anaknya sejak kecil. Keberagaman yang berada di sekeliling kehidupan kita bisa menjadi batu ujian bagi usia anak-anak dan penerimaan yang dalam diri tentang keberagaman tentunya dapat menghilangkan. Saat ini, peran  perempuan di balik layar perdamaian tetap membawa perubahan terhadap perdamaian itu sendiri. (RbR)

Bagikan
Exit mobile version