Site icon Inspirasi Muslimah

Peran Ibu dalam Melepas Rantai Toksik Kekerasan

kekerasan

Kekerasan dalam pengasuhan adalah fenomena lawas yang ternyata masih banyak diyakini benar oleh sebagian masyarakat. Masih ingatkah kita tentang maraknya kekerasan verbal yang dulu banyak dilakukan oleh para orang tua? Seperti membentak, mencaci, bahkan tak segan sampai menghina anak sendiri. Tahukah kita tentang peristiwa terdahulu yang lumrah terjadi dalam rumah, seperti dipukul dengan penggaris, selang, atau dicubit dengan tangan kosong? Meskipun kita tahu bahwa hal demikian adalah salah, namun realita yang ada justru sebaliknya.

Tak jarang yang hingga detik ini mewajarkan pola pengasuhan toksik itu dengan dalih untuk mencetak “mental baja” dalam diri anak. Mirisnya, beberapa dari mereka pun telah menyandang peran sebagai ayah dan ibu. Mereka berbekal pengalaman pribadi dan menggeneralisasi hal itu sebagai cara pengasuhan yang paling tepat. Faktanya, sudah banyak studi yang membantah dengan bukti jika kekerasan malah membawa efek negatif pada kesehatan mental anak hingga dewasa. Apabila mengutip dari merdeka.com, data KPAI menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak justru dominan dilakukan oleh ibu pada masa pandemi COVID-19.

Peristiwa ini sungguh sangat disayangkan, padahal menerapkan pola pengasuhan dengan kekerasan sudah tidak relevan di zaman sekarang. Diperparah lagi oleh stres dari dampak pandemi yang menyerang ibu semakin menempatkan anak pada situasi yang berbahaya. Tetapi semua yang terjadi ini bukanlah akhir dari segalanya. Banyak yang meyakini bahwa ibu adalah peran hebat yang dapat mengubah segala kondisi menjadi jauh lebih baik. Sudah saatnya kini para ibu perlu solid demi menciptakan iklim rumah tangga yang lebih positif.

Ibu memiliki andil yang besar untuk mempelopori dalam menghapus rantai kekerasan pada pengasuhan anak. Tentu perubahan ini sangat memerlukan peran suami yang juga kooperatif dalam menyukseskan upaya tersebut. Saya percaya bahwa semua ibu dapat memecahkan masalah pengasuhan yang telah mandarah daging sejak lama. Sebenarnya, frekuensi dan kebersamaan ibu dengan anak yang lebih tinggi dibandingkan ayah adalah potensi ibu untuk lebih dekat dengan anak. Namun sayang tak banyak yang mengerti bagaimana mempertahankan kedekatan itu supaya anak tidak lagi menjadi pelampiasan ketidakstabilan emosi orang tua.

Seringkali orang tua tak menyadari bahwa yang dilakukan kepada anak adalah bentuk kasih sayang terbaik sekalipun termasuk ke ranah toksik. Tidak ada yang benar-benar mengetahui kondisi anak kecuali dirinya sendiri atau orang yang mereka percayai aman untuk bercerita. Kedekatan hubungan ibu dengan anak akan menciptakan ruang khusus dalam benak mereka untuk mempercayai ibu sebagai satu-satunya tempat untuk bercerita.

Ibu Sebagai Jembatan Antara Anak Dan Pola Asuh

Ibu mempunyai kekuatan yang lebih besar dalam membangun ikatan emosional dengan anak apabila mereka berkeinginan untuk terus belajar. Artinya sosok ibu berperan fundamental dalam menciptakan keterbukaan komunikasi untuk mengetahui kondisi emosional anak yang sesungguhnya. Ibu adalah jembatan yang dapat menengahi antara keadaan yang dirasakan oleh anak tentang pengasuhan, interaksi, sikap dan perilaku orang tua. Kehangatan dan keterbukaan komunikasi ibu secara perlahan akan membiasakan anak juga terbuka tentang segala hal dalam hidupnya.

Memang iklim seperti itu tidak dapat berjalan secara instan. Diperlukan kesabaran hingga ketelatenan dalam memelihara hubungan dengan anak. Kita tidak perlu tindakan yang besar, cukuplah dengan hal-hal yang sederhana. Seperti memberikan afirmasi positif, mendorong anak untuk berpendapat, dan terlibat dalam melakukan tugas bersama. Walau terdengar sepele, lambat laun kesederhanaan ini akan menjadi medium yang dapat meningkatkan kualitas kedekatan hubungan antara ibu dan anak. Dengan itu sekaligus dapat menjadi bahan evaluasi pengasuhan dengan pasangan untuk menciptakan pola hubungan keluarga yang lebih harmonis.

Tak Cukup Hanya Komunikasi, Butuh Pemahaman

Komunikasi dan memahami adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Apapun komunikasi yang dilakukan rasanya sulit untuk mencapai keberhasilan jika masih terdapat egoitas yang tinggi dalam diri orang tua. Sementara ibu memiliki hati yang luas untuk mengerti kebutuhan dan keinginan anak. Ini mengisyaratkan kalau ibu sangat berpengaruh untuk mengambil keputusan dan mengajak ayah agar sama-sama belajar dalam memahami anak. Tidak ada salahnya untuk mengkroscek ulang, apakah benar bertindak keras memang jalan yang baik untuk anak kami?

Sebelum menetapkan pola asuh, ibu dan ayah perlu memahami terlebih dahulu bahwa keras dan tegas adalah dua hal yang berbeda. Bertindak tegas bisa dilakukan tanpa perlu menjadi keras ataupun menyakiti. Kita tidak boleh lupa bahwa otak, emosi, tubuh dan segala sesuatu yang ada dalam diri anak masih dalam proses berkembang. Mereka tidak dapat mencerna secara dewasa selayaknya apa yang orang tua harapkan. Karena memang, semuanya masih dalam proses perkembangan. Disisi lain, apa yang dilakukan orang tua kepadanya akan menjadi memori yang akan tersimpan dalam ingatan hingga mereka dewasa.

Tentu kita tidak ingin meninggalkan memori sebagai orang tua yang menyeramkan bagi anak. Setiap orang tua memiliki harapan untuk terus menjadi sosok paling aman bagi anak dalam segala kondisi yang tengah mereka hadapi. Tidak ada salahnya bagi ibu mengambil langkah lebih dulu untuk mengajak pasangan dalam melahirkan pola asuh yang lebih manusiawi. Langkah-langkah yang dilakukan setiap ibu kelak sangat membutuhkan dukungan dan kerja sama dari pasangan. Bagaimana pun, pola asuh merupakan tugas dan tanggung jawab ayah ibu yang harus diwujudkan bersama.

Tidak ada ruginya bagi kita untuk melihat pola asuh dari banyak sisi. Kita boleh saja mengadopsi pengasuhan yang didapatkan di masa kecil, tetapi baiknya tidak semerta-merta menelan tanpa proses pertimbangan yang matang. Kitalah yang menginginkan anak lahir ke dunia, sehingga kita harus siap bahwa menjadi orang tua adalah proses belajar seumur hidup.

Bagikan
Exit mobile version