Site icon Inspirasi Muslimah

Pengaruh Masa Lalu atau Pemaknaan terhadap Masa Lalu?

masa lalu

Pernah bertemu dengan seseorang yang mendeklarkan diri sebagai korban atas masa lalu? Atau dengan mereka yang secara terang-terangan berani mengatakan bahwa personalitasnya yang sekarang adalah buah dari beberapa kejadian, baik itu parenting atau tragedi di masa lalu? Atau lebih konkretnya bertemu dengan seseorang yang memilih untuk single atau jomlo karena mengatakan bahwa Ia trauma dengan hubungan di masa lalu? Ah, atau justru yang demikian itu Anda?

Seorang yang mengaku bahwa Ia introvert pernah membagi kisahnya, sebut saja namanya Rukhin. Pada suatu ketika, Rukhin memutuskan untuk mengunci diri di dalam kamar berbulan-bulan. Sebenarnya Ia sangat berharap bisa keluar secepatnya, dan bahkan berpikir untuk mendapatkan pekerjaan di luar sana, kalau memungkinkan. Jadi, pada saat itu juga Ia ingin berubah. Dan Ia mengaku dengan percaya diri bahwa sebetulnya Ia itu termasuk orang yang bisa bermanfaat bagi masyarakat. Hanya saja masalahnya Ia takut meninggalkan kamar. Apabila Ia mencoba mengambil satu langkah saja untuk keluar, jantungnya berdebar, sementara lengan dan kakinya menjadi goyah. Lalu Ia memutuskan untuk masuk kamarnya lagi. Ia ingin berubah namun belum bisa.

Pertanyaannya, mengapa Ia tidak bisa keluar?

Apabila kalkulasi dari asumsi sebagian orang, mungkin tebakannya mengarah pada sesuatu yang ada di masa lalu. Bisa karena arus komunikasi, pergaulan atau tabiat-tabiat bersama orangtuanya, mungkin juga karena pada masa silamnya Ia pernah mengalami perundungan oleh teman sejawatnya. Atau efek traumatis tertentu dalam beberapa kejadian. Atau bahkan kebalikannya, orangtuanya terlalu memanjakannya ketika masih kecil sehingga Ia tidak bisa menghadapi kenyataan sosial yang sebenarnya.

Sebagian besar orang mengira bahwa kondisi yang pernah terjadi di masa lalu mempengaruhi karakter atau tabiat seseorang sampai saat ini. Seperti ada hubungan kausalitas, ada sebab sebelum akibat. Atau dengan kata lain, siapa Ia (Rukhin) yang sekarang ditentukan oleh fragmen-fragmen kejadian di masa lalu.

Adler, Freud dan Jung

Alfred Adler adalah salah satu anggota inti asli Masyarakat Psikoanalisis Vienna, yang ketika itu dipimpin oleh Freud (Sigmund Freud). Antara Adler dan Freud memiliki gagasan yang bertolak belakang, sehingga pada suatu ketika Adler memutuskan untuk memisahkan diri dari kelompok tersebut dan mengusulkan teori “psikologi individual” yang berbasis pada teori orisinalnya sendiri.

Sebagian orang yang pernah memperlajari sejarah psikologi mungkin mengira bahwa Adler adalah murid Freud. Faktanya bukan begitu. Hal ini karena rentang usia keduanya terpaut cukup dekat, dan hubungan mereka sebagai sesama peneliti terbentuk dengan kedudukan yang setara. Sementara Jung (Carl Gustav Jung) yang memuja Freud sebagai Ayah, juga sangat bertolak belakang dengan Adler. Kendati Ilmu Psikologi pada intinya cenderung dikaitkan dengan Freud dan Jung, Adler tetap dihormati di seluruh dunia, bersama Freud dan Jung, ketiganya merupakan tiga sosok berpengaruh di bidang psikologi.

Aetiologi dan Teleologi

Kembali pada kasus Rukhin di atas. Apabila semua orang di muka bumi pada saat ini terjadi karena insiden masa lalu mereka, bukankah itu aneh? Bayangkan apabila semua orang yang tumbuh dewasa dengan perlakuan kejam orangtuanya harus menderita efek yang sama seperti Rukhin di atas? Itu tidak logis. Itu jika masa lalu benar-benar menentukan masa kini, dan mengapliaksikan teori kausalitas.

Kalau semata-mata berfokus pada hubungan sebab-sebab di masa lalu kemudian mencoba menjelaskan berbagai hal semata-mata melalui hubungan sebab dan akibat, akhirnya kita akan tiba pada “determinisme”. Sebab yang hendak dijelaskan adalah bahwa masa kini dan masa depan telah diputuskan oleh kejadian-kejadian di masa lalu, dan tidak bisa diubah.

Dalam teori psikologi Adler, masa lalu itu tidak penting. Masa lalu tidak menciptakan kondisi manusia yang sekarang. Apabila seorang Rukhin di atas tidak bisa keluar kamar, hal itu bukan karena Ia terprovokasi oleh kejadian di masa lalu. Rukhin bukan merasa tidak aman dengan kondisi yang ada di luar, melainkan Ia sendiri yang menciptakan kondisi kecemasan itu. Di dalam teori psikologi Adler, hal itu terkenal sebagai istilah Teleologi.

Hah? Bagaimana bisa pemuda itu justru yang menciptakan keadaan cemas dan takut sehingga dia tetap ada di kamarnya?

Rasa cemas dan takut yang dirasakan oleh Rukhin itu nyata. Terkadang mungkin Rukhin juga merasa migrain dan rasa mual yang parah. Akan tetapi, itu juga merupakan gejala-gejala yang Ia ciptakan demi mewujudkan tujuannya supaya tidak keluar.

Itulah perbedaan antara “Aetiologi” (studi tentang hubungan sebab akibat) dan “Teleologi” (ilmu yang mempelajari tujuan dari suatu fenomena tertentu, daripada penyebabnya).

Konsep Aetiologi dan Teleologi

Coba Anda simulasikan ketika Anda terkena flu beserta demam tinggi, kemudian Anda pergi menemui dokter. Kemudian dokter akan menceramahi perihal musabab Anda sakit adalah karena kemarin Anda kehujanan dan Anda tidak berpakaian cukup tebal, jadi itulah sebabnya Anda terkena flu. Tapi nyatanya Anda tidak membutuhkan ceramah tentang itu. Yang Anda butuhkan adalah penanganan dokter dengan resepnya demi kesembuhan Anda. Itu adalah metode penanganan praktis dari konsep Teleologi.

Berbeda dengan mereka yang memiliki pendirian aetiologis, termasuk sebagian besar konselor dan psikiater, mayoritas mereka akan beralasan bahwa apa yang tengah Anda derita bersumber dari penyebab ini dan itu di masa lalu, kemudian mereka pada akhirnya akan menghibur Anda dengan mengatakan, “Lihat, itu bukan salahmu.” Pendapat apapun saja yang mengatasnamakan trauma adalah ciri khas aetiologi.

Dalam teori psikologi Adler, trauma secara definitif tidak ada, seperti yang telah saya tulis di muka. Itu adalah poin yang benar-benar baru dan revolusioner. Kendati pandangan para penganut Freud tentang trauma itu adalah hal yang menarik. Gagasan Freud ialah bahwa luka batin seseorang (trauma) menyebabkan ketidakbahagiaannya saat ini. Ketika Anda memperlakukan hidup seseorang sebagai narasi yang luas, ada hubungan kausalitas yang gampang untuk Anda pahami dan kesadaran tentang perkembangan dramatis yang menciptakan kesan yang kuat dan sangat menarik. Tapi, Adler menolak alasan trauma tersebut dengan menyatakan, “Tidak ada pengalaman yang dengan sendirinya menyebabkan keberhasilan atau kegagalan seseorang. Anda tidak menderita syok akibat pengalaman Anda—yang namanya trauma—tapi sebaliknya, Anda mengartikannya sesuai dengan tujuan Anda. Pengalaman Anda tidak menentukan Anda, melainkan arti atau kesan yang Anda berikan pada pengalaman itu menentukan dengan sendirinya”.

Sederhananya, Adler ingin mengatakan pada kita bahwa diri kita ditentukan bukan oleh pengalaman kita sendiri, melainkan oleh makna yang kita berikan pada pengalaman kita. Artinya, bukan pengaruh dari masa lalu, tapi pemaknaan kita terhadap masa lalu.

Bagikan
Exit mobile version