f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
pelecehan seksual di pesantren

Pelecehan Seksual di Pesantren: Menodai Citra Ilmu

Barangkali sebagian besar orang menyangka bahwa kesakralan pesantren mampu membentengi santri-santrinya dari berbagai kejahatan seperti pelecehan seksual. Kejahatan tidak mengenal tempat selagi ada niat. Percaya atau tidak godaan dari seorang alim itu lebih besar dari pada orang biasa. Orang alim akan selalu mendapatkan kehormatan tersendiri di masyarakat karena dinilai dari keilmuan agama lebih mumpuni. Mereka dianggap dapat memegang teguh prinsip-prinsip agama dalam hidupnya. Maka, yang dilirik pertama kali oleh masyarakat adalah pimpinan pesantren serta ustaz dan ustazah. Namun, kasusnya akan berbeda jika mereka menjadi pelaku kejahatan pelecehan seksual. Tentunya masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap pesantren. Timbul kekhawatiran tersendiri jika menitipkan anak-anak mereka di pesantren.

Macam dari kasus pelecehan seksual itu beragam. Sekalipun dicubit, dipeluk, dipegang atau bahkan sebatas ucapan kotor itu sudah termasuk kasus. Itu bukanlah aib tetapi kasus kejahatan yang harus mendapat keadilan. Mirisnya kasus ini dinilai alot ketika mencoba diungkap karena korban terlalu menyayangkan citra agamis dari pesantrennya akan buruk di mata masyarakat. Hal itu membuat korban trauma dan stress berat karena tidak ada tempat baginya mengadukan keadilan. Ada korban yang pelaku ancam jika mau melapor, perlu penulis akui bahwa pernah mengalami posisi yang sama. Solusinya adalah mencari teman bicara yang mampu meredakan emosi sekalipun masalah ini tidak bisa lekas diselesaikan. Langkah lain bisa melaporkan kepada pengurus disertai dengan bukti dan saksi pendukung. Terakhir jika semua langkah tidak memungkinkan ditempuh adalah pindah ke tempat lain.

Kasus dari Herry Wirawan pimpinan Pondok Pesantren Yayasan Yatim Piatu Manarul Huda Cibiru, Kota Bandung melakukan pelecehan seksual selama 5 tahun sejak 2016 sampai 2021. Pelaku memperkosa 13 santriwati. Dari kasus ini lahir sembilan bayi. Pelaku juga menggelapkan dana bantuan berupa Program Indonesia Pintar (PIP) dan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang sengaja ia selewengkan untuk kepentingan pribadi demi melancarkan aksinya. Sebelumnya jaksa telah menjatuhkan hukuman mati dan kebiri kimia, tetapi diurungkan karena pelaku meminta keringanan. Pelaku mengakui akan merawat dan membesarkan anak-anaknya yang masih bayi. Akhirnya jaksa menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup bagi pelaku. (Suara.com)

Baca Juga  Pelecehan Seksual di Lingkungan Kerja? Bikin Ingin Resign Saja

Seperti kasus Moch. Subchi Azal Tsani alias Mas Bechi pelaku pelecehan seksual yang merupakan anak kiai Jombang pemilik Pondok Pesantren Shiddiqiyyah. Menurut pengakuan korban, pelaku melakukan pelecehan bermula dari penyaluran ilmu metafakta dengan ritual mandi kemben. Korban menuturkan bahwasanya setelah kejadian tersebut, ia memberanikan diri menulis surat berisi kejadian sesungguhnya tetapi dirinya disangka memfitnah. Akhirnya pelaku memutuskan kabur dari pondok kemudian pihak keluarga mengambil tindakan dengan melaporkan kepada polisi pada tahun 2018. (Solopos.com) Dua kasus di atas adalah segelintir contoh dari banyaknya kasus tidak terangkat media.

Kasus pelecehan seksual di pesantren pernah diangkat dalam film Qorin. Film yang rilis pada 1 Desember 2022 itu merupakan garapan Sutradara Ginanti Rona. Tokoh Zahra sebagai santri berprestasi yang rela menuruti perintah gurunya asalkan nilainya bagus. Dirinya sendiri menjadi korban pelecehan seksual karena menuruti perintah gurunya melakukan ritual Qorin atau mandi kemben. Barangkali pengangkatan cerita dalam film ini adalah upaya agar masyarakat melihat fakta ada yang tidak baik-baik saja dalam pendidikan kita. Ada kasus darurat yang harus segera ditangani dalam sistem pendidikan kita.

Dalam kasus ini Ketua PBNU yakni K.H. Ahmad Fahrur Rozi (Gus Fahrur) mendukung penangkapan Mas Bechi ini. Beliau menuturkan bahwa sekalipun anak kiai atau bahkan anak Rasulullah sendiri diberi hukuman yang sama tidak dibedakan sama sekali. Beliau menjelaskan bahwa semua orang tidak kebal hukum. Bahkan Rasulullah mengajarkan “Seandainya Fatimah anakku mencuri, saya potong tangannya”. Rasullah mengajarkan taat pada hukum sekalipun anak Nabi tidak ada pengecualian sama sekali. Jika melihat dari sudut pandang Islam, di sini Rasulullah saja mencontohkan bahwa Ia dan keluarganya tunduk pada hukum yang berlaku. Namun, ternyata tidak berlaku dalam hukum di Indonesia. Hukum di sini berpihak pada uang dan kekuasaan sehingga bersifat tajam ke bawah tumpul ke atas. Tak jauh berbeda ketika penguasa melanggar peraturan, sama halnya ketika mereka sendirilah yang menjilat ludah. Jika hukum terhadap kasus pelecehan seksual ini dapat ditegaskan dan benar-benar direalisasikan tanpa pandang bulu. Kemungkinan kecil apabila ada lagi kasus semacam ini.

Baca Juga  Perempuan, Feminisme Islam, dan Toleransi Beragama

Penulis teringat pada sebuah pesan yang dituturkan oleh ulama ternama dari Arab. Pemikiran beliau kurang lebih seperti ini, ketika ingin merusak suatu negara maka rusaknya wanita. Ketika ingin merusak masyarakat maka, rendahkan dan hilangkan kepercayaan terhadap ulama. Ketika ingin merusak tatanan keluarga maka, buatlah peran ibu hilang dari rumah tangganya. Barangkali tuturan dari ulama tersebut telah menjadi fakta yang tidak lagi bisa disangkal. Melecehkan perempuan sama halnya merusak lahan peradaban. Ketika lahannya saja sudah dirusak, generasi penerus akan sulit ketika akan melihat masa depan cerah.

Dari sudut pandang penulis sebagai santri hal yang perlu dilakukan dalam mencegah terjadinya kasus adalah melakukan riset sebelum memilih pesantren. Karena hal ini juga berhubungan dengan keberkahan ilmu yang didapatkan. Jangan terlalu kagum pada guru karena keilmuan tetapi sebetulnya harus dilihat dulu pengamalan dari ilmu tersebut. Selain itu, kita bisa melihat dari penilaian masyarakat lingkungan sekitar terhadap pimpinan pesantren. Usahakan memilih pesantren yang terbuka dan sukarela membaur terhadap masyarakat. Selanjutnya wajib memilih pesantren yang khusus hanya untuk salah satu saja putra atau putri. Kemudian langkah lainnya bisa ditempuh dengan cara membuat kotak surat aduan di kantor pondok untuk melaporkan kejadian tertentu. Jika perlu dibentuk pengurus satuan keamanan perempuan yang mengurus dan melindungi santri.

Bagikan
Post a Comment