f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
pakaian

Pakaian Bukan Ukuran Penyebab Terjadinya Kekerasan Seksual

Menjadi santri dan tinggal di pesantren berarti siap mengikuti aturan yang berlaku, satu di antaranya terkait cara berpakaian. Setidaknya, itu yang aku ingat betul. Saat itu aku baru lulus SD dan harus menjalani pendidikan umum dan agama. Pendidikan umum di sekolah formal dan pendidikan agama di pondok pesantren.

Santri perempuan yang hidup di pesantren adalah mereka yang selalu mengenakan kerudung dan pakaian panjang juga longgar; baik saat di dalam lingkungan pesantren maupun ketika keluar. Bahkan yang kuingat, ketika tidur di ruangan besar (bahasa Jawa: jerambah) atau tempat istirahat umum khusus santri perempuan, kami tetap menggunakan pakaian yang serupa.

Ketika bertemu dengan teman-teman dari pesantren lainnya, pengalaman kami tentu tak banyak berbeda, khususnya ketika berbicara soal cara berpakaian santri perempuan. Aurat kami tertutup.

Maka, ketika muncul ke publik kasus pelecehan seksual di lingkungan pesantren belakangan,  seolah menjadi jawaban mutlak bagi mereka yang menganggap pakaian perempuan menjadi penyulut laki-laki untuk bertindak asusila.

Atas kasus oknum guru agama yang melaksanakan rudapaksa terhadap belasan santri dan tidak hanya terjadi di satu tempat ; di mana mulut-mulut penyinyir yang selalu menyudutkan perempuan dengan gaya berpakaiaannya?

Survei yang dilakukan oleh gabungan koalisi yang terdiri dari Hollaback! Jakarta, perEMPUan, Lentera Sintas Indonesia, Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta (JFDG), dan Change.org Indonesia memberikan jawaban sebaliknya.

Hasil survey terhadap 62.000 (BBC News, 2019) warga negara Indonesia tersebut menyebutkan bahwa 18% korban mengenakan rok dan celana panjang, 17% berhijab, 14% menggunakan seragam sekolah, 16% berbaju lengan panjang, dan 14% sedang memakai baju longgar.

Apakah masih akan muncul lagi pertanyaan kalian terhadap korban pelecehan/kekerasan seksual dengan kalimat bodoh, “Apa baju yang kamu pakai saat kejadian?”

Baca Juga  30 Menit Berharga
***

Masih ramainya pembicaraan di media sosial kasus perilaku keji yang dilakukan oleh pengasuh salah satu Islamic Boarding School di Bandung; seorang guru mengaji di Tasikmalaya terhadap santri-santri perempuannya; dan tindakan asusila yang dilakukan seorang guru mengaji lainnya di Depok terhadap 10 santri perempuan di bawah umur tentu bukan akhir dari terungkapnya persitiwa memilukan yang pernah terjadi.

Meminjam istilah Nadiem Makarim (CloseTheDoor, November 2021), kekerasan seksual khususnya di lembaga pendidikan ini seperti fenomena gunung es yang dahsyat; hanya beberapa yang muncul ke permukaan. Masih banyak kasus di luar sana yang belum atau bahkan tak pernah terungkap.

Lemahnya undang-undang terhadap tindakan kekerasan seksual dan budaya masyarakat yang lebih banyak menyalahkan korban (kekerasan seksual) dari mendahulukan simpati; menjadikan sempitnya jalur korban untuk menyuarakan apa yang ia alami. Rasa malu, ketakutan, dan frustasi akan reaksi yang mungkin korban dapatkan setelah melaporkan kejadian membuat mereka semakin terkurung dalam derita.

Budaya masyarakat yang menganggap apa yang korban alami merupakan aib sama saja dengan tindakan membunuh pelan-pelan mereka yang mengalami trauma berat fisik dan psikis. Gus Yaqut (Tirto, 9 Nov 2021) menyampaikan bahwa kekerasan seksual merupakan salah satu penghalang tercapainya tujuan pendidikan.

Maka tindakan yang seharusnya dilakukan terhadap korban adalah mendampingi mereka mendapatkan keadilan, serta mendukung agar terus bisa berjuang agar sembuh dan meraih cita-citanya.

Permendikbud Ristek Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi dan RUU TPKS harus terus kita gaungkan bersama. Bukan berarti setelah keduanya terbit menjadi jaminan bahwa kekerasan seksual akan tuntas seratus persen. Namun perlindungan terhadap perempuan dan anak adalah tanggung jawab kita semua.

Baca Juga  Protect your Daughter, Educate your Son; Upaya Pencegahan Kekerasan Seksual

Perlindungan terhadap perempuan dan anak bukan hanya tanggung jawab perempuan atau ibu saja, namun semua harus berpartisipasi dalam pemenuhan hak dan perlindungan perempuan dan anak, Laki-laki harus mendukung kesetaraan gender. Laki-laki harus menjadi laki-laki peduli, yaitu menghargai, melindungi, dan mencinta sesama saudaranya, ungkap Ganjar Pranowo dalam kampanye 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan.

***

Apapaun pakaian perempuan, sudah terbukti tidak menjamin mereka aman dari penjahat seksual. Memersenjatai diri menjadi salah satu cara melumpuhkan pelaku yang berniat menyakiti perempuan.

Berikut beberapa senjata yang direkomendasikan bagi perempuan (Times Indonesia, 2015):

1. Semprotan merica (pilihan lainnya minyak angin) dan parfum beralkohol.

Efek perih di mata bisa jadi langkah awal untuk melarikan diri dari pelaku kekerasan seksual.

2. Stun gun (penyengat listrik).

Efek kejut dari alat ini akan melumpuhkan pelaku. Mendapatkan alat ini juga cukup mudah, yaitu dengan memesan di toko online dengan berbagai bentuk.

3. Alat tulis sederhana di tas.

Saat kondisi terdesak, manfaatkan pensil, pen, ataupun pisau kecil di kotak pensil sebagai alat pertahanan diri.

4. Kemampuan bela diri sederhana juga merupakan skill penting untuk melumpuhkan penjahat seksual.

Setiap yang terlahir tak dididik untuk menyakiti lainnya, namun dalam kondisi terdesak, menjadi hak siapapun memertahankan dirinya dari perilaku yang mengancam.

Bagikan
Comments
  • Sangat mendukung argumen. Perlindungan terhadap perempuan Indonesia harus maksimal. Ormas Islam belum satu suara dalam hal ini.

    Januari 1, 2022
Post a Comment