Site icon Inspirasi Muslimah

Pahlawan Saat Buka Puasa

buka puasa

Puasa tahun ini, sudahkah Rahmania berbuka puasa di luar rumah? Kemarin, seorang kawan mengajakku berbuka puasa di sebuah rumah makan yang ramai sekali. Pengunjungnya membludak, mereka berjejer panjang untuk mengantri pesanan makanan dan minuman. Seluruh pekerja rumah makan sangat sibuk melayani para tamu sesuai tugasnya. Meja dan kursinya acap menjadi ajang rebutan mereka yang sedang dalam puncak  rasa haus dan lapar. Pada saat itulah ujian kesabaran bagi yang berpuasa itu nyata. 

Meski di bulan puasa, para pekerja rumah makan itu sudah mulai aktif bekerja sejak pukul 10.00 pagi. Berpuasa, bukan berarti bisa berhenti melayani para pelanggan yang tidak berpuasa. Mereka berhak menikmati makanan dan minuman yang telah dipesan. Para penikmat makanan itupun tidak (harus) tahu, bahwa yang tengah melayaninya itu sedang berpuasa.  

Para pengunjung rumah makan yang tengah berpuasa, akan bersuka ria saat waktu maghrib tiba. Jiwa mereka nampak lega, muka berseri, “aku mampu menaklukkan rasa haus dan laparku di hari ini. Aku menang !” bisik hati kecilnya. Tanpa perlu aba-aba, begitu suara azan tiba, serentak mereka akan meneguk berbagai minuman di depannya. Ada air mineral, es teh manis, es campur buah; alpukat, nanas, agar-agar, selasih, sirup, susu, atau air kelapa muda kerok berpadu es serut dengan sirup warna merah tua di atasnya. Duh leganya….

Selesai dengan minuman pelepas dahaga, ritual berbuka akan berlanjut dengan cemilan kecil. Gorengan, biasanya menjadi pilihan utama; bakwan jagung, bakwan wortel-toge, tahu isi, tempe berterigu, cireng dll. Jika gorengan tak tersedia, penggantinya bisa bikcuit, kue kering, cokelat, atau kurma. Santapan makanan utama, seperti nasi, mie, kwitiau dan segala lauk pauknya, akan menjadi pilihan terakhir, sebelum menyudahinya dengan teh hangat atau kopi. Semua dijalani dengan perasaan yang sama, agak bernafsu dan sedikit tergesa.

Menajamkan Mata Batin

Ketika rasa haus dan lapar itu mereda, pernahkah kita bertanya, “Siapakah gerangan yang telah begitu berjasa menyiapkan semua makanan dan minuman di atas meja ?”. Ayah, ibu, nenek, kakak, adik, kawan satu asrama, pekerja rumah tangga ? Siapapun mereka, lihatlah dengan mata batin. Konon, mata batin manusia harus selalu dilatih agar mampu melihat setiap anugerah yang dirasakan. Lalu mensyukurinya. Jika tidak kita asah, ia akan tumpul hingga kehilangan kepekaan, rasa syukur dan kebahagiaan.

Saat berbuka di rumah makan, mataku tertuju kepada para pekerja yang terus melayani kami. Mereka bekerja dengan tetap senyum ramah, ketika yang lain tengah bergembira dengan bukaan puasanya. Iya, para pramusaji, kasir, juru tulis pesanan, juru hitung, tukang masak, para peramu minuman, itu belum bisa istirahat bekerja, karena harus melayani para pengunjung.

Jujur, mereka juga mengalami rasa yang sama dengan kita. Rasa haus dan laparnya harus tertahan oleh tugas utama. Batinnya harus tetap bersabar, menunda kenikmatan kecil, yang tengah dinikmati orang lain. Di saat mereka tengah berada dalam puncak kenikmatan makan, para pekerja itu hanya bisa menenggak 4 – 5 teguk air mineral, lalu lanjut bekerja.

Betul, aku telah membayar semua pesanan makanan dan minuman yang ada. Namun, hatiku terus meminta mataku untuk melihat ketulusan yang ada di depanku. Batinku selalu membisikkan pesan, bahwa ada beban ganda yang harus dipikul oleh para pekerja rumah makan di saat berbuka puasa. Mereka dituntut bekerja lebih cepat dari biasanya. Namun kualitas rasa, sajian, takaran dan layanan, tetap harus sesuai standar. Jiwa dan tubuhnya yang sedang berpuasa, tidak mentoleransi penurunan kualitas masakan dan layanan. Semua harus tetap prima seperti biasa.

Ketika rumah makan itu sedang ramai pengunjung, tentu ia membutuhkan layanan ekstra. Tidak jarang, ada satu dua orang pengunjung yang-mungkin-karena tengah begitu haus dan lapar, sehingga lebih peka perasaanya. Ia lebih mudah mengeluh atau marah, hanya karena hal-hal sepele. Bisa karena pesanan makanan terlambat datang. Sendok dan garpu yang tidak sepadan. Tisu dan tusuk gigi tercecer, atau kecap dan sambel yang lagi raib entah ke mana. Kompleks!

Kehormatan Untuk Orang-Orang Mulia

Mungkin, begitulah cara Allah mengajarkanku tentang ketulusan bekerja, dan merawat kebajikan akal budi. Sebuah “pertunjukan” para pekerja rumah makan di bulan puasa. Aku harus berprasangka baik, meski batinku iba, sekaligus hormat yang luar biasa. Dalam situasi itu, aku hanya mampu menunda permintaan yang lebih. Melebarkan permakluman, ketika ada layanan kurang sempurna. Itulah sikap (mungkin) bijaksana yang aku punya. Tentu, ada banyak cara lain untuk mengapresiasinya. Mereka tengah memikul beban ganda saat berpuasa.

Ketulusan para pekerja itu telah menuntun batinku dalam menemukan contoh baik tentang orang-orang mulia. Mereka yang tidak pernah merasa istimewa. Mereka yang tidak pernah minta dihormati karena telah berpuasa. Dan mereka yang telah ikhlas melayani orang-orang yang sedang tidak berpuasa. Malaikat tidak pernah keliru mencatat amal baiknya.

Kehormatan, selalu ada pada orang-orang yang telah ikhlas bekerja. Bukan pada mereka yang memintanya. (AJH).

Bagikan
Exit mobile version