Site icon Inspirasi Muslimah

Pacaran dan Hal-Hal Yang Belum Selesai

Oleh: Raudatul Jannah*

Rahmania, dalam kehidupan sehari-hari, kita memang dihadapkan pada lingkungan atau kondisi yang tidak selalu sesuai dengan yang kita inginkan. Sebab, dalam kehiduan sosial, masing-masing orang memiliki keunikan, karakteristik yang berbeda. Tidak bisa diseragamkan. Bahkan terkadang, dalam suatu kondisi tertentu, aku, kamu, kita, dipaksa menjadi sama dalam waktu bersamaan.

Ya, dunia memang begitu menggemaskan. Ketika kita harus mematuhi indikator sosial lingkungan sekitar, indikator yang berdasar pada trending kekinian. Apalagi kalau sudah menyangkut urusan percintaan dan teman dekat. Misalnya saja, kamu punya kekasih-akupun harus demikian. Jika tidak, kita harus bersiap mendapat komentar karena tidak memiliki pacar, misal.

“Mbak, nggak punya pacar ya? Nggak laku ya? Kasian deh jomblo, udah berapa tahun menjomblo? Sayang deh cantik-cantik nggak ada yang mau.” Komentar-komentar menggemaskan bagi yang belum punya pasangan, mungkin Rahmania termasuk di dalamnya.

Pertanyaan-pertanyaan aneh di atas seringkali dilayangkan kepada orang-orang seperti saya ini, yang lebih memilih hidup bebas sendiri ketimbang sibuk berpacaran. Bahkan, urusan pacaran saja, yang ‘duniawi’, bisa mengarah pada bullying. Sedangkan, bullying adalah ungkapan yang tidak baik untuk perkembangan kondisi psikologis individu, jika terus-menerus diucapkan. Saya sendiri, kerap mendapatkan perkataan demikian.

“Pasti karena kamu pendek, dekil, kumel, tidak putih, jerawatan, rambut kribo, tidak mancung, jadi nggak ada yang mau deh.” Padahal, bagi sebagian, ungkapan tersebut adalah bentuk dari body shaming dengan mengomentari bentuk fisik dengan cara negatif. Bagi sebagiannya lagi, body shaming acap kali menjadi akar permasalahan dari konflik sosial.

Coba kita renungkan, bagaimana negara ini akan aman, tentram, damai, dan sejahtera. Jika, manusia-manusianya lebih sibuk beradu ungkapan, mengomentari urusan kehidupan orang lain.

Sampai di suatu titik, saya mulai bertanya pada diri sendiri. Jika suatu hari saya memilih untuk menjalin sebuah hubungan, kira-kira untuk apa semua itu?

Sama halnya dengan pernikahan, bukankah menjalin hubungan dengan lawan jenis, sesama jenis, dan lain sebagainnya merupakan keputusan pribadi? Jadi, apakah kita harus menghiraukan perkataan orang-orang? hanya karena pengakuan sosial.

Fenomena Gunung Es

Ketika saya merefleksikan kembali, bertanya pada orang-orang yang memiliki hubungan ‘pacaran’. Apa yang mereka dapatkan setelah pacaran?. Tapi, yang saya tahu setelah kamu memilih untuk berpacaran, akan banyak sekali pertanyaan-pertanyaan lainnya yang mengikuti. Seperti; Kapan lulus? Kapan kerja? Kapan menikah? Kapan punya anak? Nggak mau nambah anak?. Mungkin saja, semakin lama kebiasaan ini dimaklumi, akan muncul pertanyaan baru. Kapan kamu meninggal?

Tanpa kita sadari, fenomena gunung es ini juga sering kita lumrahkan. Asumsi saya, ini akan menjadi ‘New Normal’ dalam arti pembiasaan. Ya, kenormalan baru untuk ‘mewajarkan, memaklumi, menjadi biasa’ bagi generasi selanjutnya.

Jadi sebenarnya, bukan hanya Coronavirus yang harus diputus mata rantainya. Fenomena pertanyaan-pertanyaan, ungkapan-ungkapan penyebab insecure anak ini pun, perlu diputus mata rantainya.

Lalu, Siapa Yang Sering Terdampak?

Berbicara body shaming, maka tidak lepas dari peran perempuan. Seringkali kita dapati, yang menjadi objek dari ungkapan-ungkapan tersebut adalah kaum perempuan. Namun, tidak menutup kemungkinan laki-laki juga demikian.

Barangkali selama hidup, kita hanya memikirkan bahwa jika ingin bahagia kamu harus berpacaran, kerja dengan gaji yang fantastis, menikah, lalu punya anak, lantas menimang cucu sembari menunggu waktu panggilan dari sang Ilahi.

Pernahkah sesekali kita renungkan, bahwa hal-hal kecil di sekitarmu dapat membuatmu bahagia. Seperti; ketika ibu kosmu melonggarkan pembayaran kos. Atau, kamu berhasil melawan polisi lalu lintas yang asal-asalan menilang. Atau mungkin juga, kamu bahagia karna memilih untuk mencintai dirimu sendiri dengan tidak berpacaran.

Banyak sekali kebahagiaan-kebahagiaan kecil di sekitar kita yang sayangnya kita sering kali lupa, karena sibuk memikirkan pertanyaan-pertanyaan dan ungkapan-ungakapan yang mencekam tersebut.  Terlebih, jika kamu adalah orang yang hidup di Kampung, yang masih lekat dengan budaya nenek moyang. Patriarkis masih sangat tinggi. Urusan perbedaan laki-laki dan perempuan masih sering kita temukan.

Manfaat Dari Tidak Pacaran

Dalam catatan akhir tahun Komite Nasional Perempuan 2019 (CATAHU Komnas Perempuan) mencatat bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat. Pada tahun 2019 ada kenaikan 14% kasus kekerasan terhadap perempuan sejumlah 406.178 kasus. Tahun ini juga, Komnas Perempuan menemukan fakta baru terkait kekerasan terhadap perempuan yaitu; perkosaan dalam pernikahan, (Marital Rape), incest, kekerasan dalam pacaran (KDP), cybercrime, dan kekerasan seksual pada perempuan disabilitas.

Dari beberapa kasus diatas, dapat kita ketahui bahwa ada beberapa faktor kenapa pacaran bukanlah salah satu cara untuk bahagia. Tidak pacaran bukan berarti tidak laku, atau tidak layak. Barangkali Allah sengaja membuatmu sendiri agar sesekali bersyukur karena dilahirkan seperti kamu yang sekarang ini. Agar kamu tahu bahwa mencintai diri sendiri juga harus menjadi prioritas.

Hal-hal positif lainnya, kamu akan bebas berkelana tanpa di kekang atau di batasi. Seperti kecemburuan yang berlebih karena rasa kepemilikan. Belum lagi dengan seabrek peraturan yang tidak masuk akal dalam dunia pacaran.

Jadi, apakah Rahmania masih tetap ingin berpacaran?

*Penulis adalah Alumni Prodi Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Bagikan
Exit mobile version