f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
bapak rumah tangga

Oke-Oke Saja Jadi Bapak Rumah Tangga, Asal Siap dan Mempersiapkan Diri

Seorang teman kerja yang sama-sama di-PHK, usai dapat kabar buruk itu, berceloteh “waktunya menikmati masa jadi bapak rumah tangga” diiringi hehe yang agak tertahan. Saya cuma ber-“hehe” balik untuk menghargai usahanya berkelakar.

Kondisi kami mirip, sesama pasangan tipe suami-istri bekerja. Hanya, saya lebih dulu punya anak—kini usianya hampir 3 tahun—sedangkan dia baru mau jadi bapak.

Tapi, beberapa hari usai kehilangan pekerjaan, saya merasa perlu memberi perhatian pada opsi menjadi bapak rumah tangga. Ada beberapa pertimbangan yang saya pikirkan.

Pertama, intimasi dengan anak wedok jelas meningkat. Jadi bapak rumah tangga bisa ‘membayar utang’ perhatian yang terlewatkan karena kesibukan kerja. Pernah usai berstatus jobless, saya merasa punya quality time bareng anak, yang tak pernah seberkualitas ini sebelumnya. Sepanjang pagi hingga sore, kami bersama. Saya mengajaknya ke taman milik perpusda di dekat rumah. Usai dia capek bermain, saya mengajaknya makan soto di warung setempat. Sotonya tak istimewa amat, tapi melihat dia makan begitu lahap terasa amat membahagiakan, sebab selama ini dia terbilang susah makan.

Usai dia kenyang yang berefek ngantuk, kami pulang. Di rumah, saya bisa membantunya menuju tidur lelap hanya dalam 15 menit, tanpa didahului keributan dan drama seperti saat dia minta tidur ditemani ibunya. Sudah lama sekali, rasanya terakhir usianya 9 bulan, saya akhirnya kembali menikmati momen mengantarnya tidur.

Tentu tak cuma yang manis-manis. Bayangan saya, kami juga akan melalui perdebatan dan keributan yang lebih intens. Ya, di usia menjelang 3 tahun ini, anak saya sudah menunjukkan benih-benih kemandirian (atau pemberontakan?), merasa dia bisa melakukan semuanya sendiri.

Saya teringat perkara menusuk sedotan ke kotak susu UHT yang bikin dia ngamuk. Terbangun di tengah malam, seperti biasa dia menjeda tidurnya dengan minum susu UHT cokelat 115 ml. Mulanya sedotan saya lepas dari kotaknya, plastiknya saya sobek, sedotan saya tusukkan. Saat saya sodorkan susu padanya tak disangka dia malah menangis marah, sambil bilang “mau tusuk sendiri”. Haladalah!

Baca Juga  Cilaka Mama Papa yang Abai Bahasa Anak

Lain lagi soal membiasakan berdoa. Niat baik, tapi di waktu yang tidak tepat, rupanya cuma bikin ribut. Masih terkait minum susu, saat dia baru mulai menyedot isi kotak, saya tuntun dia mengucap, “Allahumma bariklana”. Dia memang berhenti minum, tapi diikuti tangis kencang sambil bilang, “nggak mau berdoa”.

Alasan kedua mempertimbangkan jadi bapak rumah tangga, saya cenderung sepakat soal kesetaraan antara suami dan istri—walaupun juga tak merasa perlu mendaku sebagai cowok feminis. Saya tak alergi pekerjaan domestik rumah tangga. Hampir tiap pagi, saya ambil peran menyapu dan memandikan anak. Cuci alat makan setidaknya sekali sehari, mengucek baju minimalnya sekali seminggu. Tak lupa menjemur, mengangkat, dan melipati pakaian. Sesekali, saya juga memasak untuk makan suang atau malam, serta cari kebutuhan dapur sendirian ke pasar.

Saya sepakat bahwa segala kebutuhan dalam kehidupan pernikahan adalah tanggung jawab bersama, yang perlu dibagi secara proporsional. Karena saya dan istri sama-sama cari penghasilan, maka tugas domestik pun jadi tanggung jawab bersama. Saya amat tak sepakat pendapat bahwa istri kerja hanya dianggap “bantu suami”. Bagaimana bisa sebuah pekerjaan fulltime yang menagih energi dan perhatian penuh, tak dinilai sejajar dengan kerja suami. Betapa egoisnya jika saya sudah “dibantu” mengail nafkah tapi masih membebankan tugas rumah tangga pada istri dengan dalih “urusan rumah tangga bukan tugas suami”.

Ketiga, dengan praktik WFH selama 2 tahun belakangan, saya tak merasa aneh jika sehari-hari hampir 24 jam berada di rumah. Sebelumnya saya terbiasa menyelingi 8 jam durasi kerja dengan angkat-jemur baju serta menemani anak main sebentar-sebentar. Saya tak bakal kaget jika menjadi bapak rumah tangga, sebab hanya perlu menanggalkan satu porsi aktivitas lalu beralih menjadi bapak rumah tangga penuh waktu.  

Baca Juga  Kawruh Pamomong: Ilmu Parenting dari Ki Ageng Suryomentaram

Hanya saja, pertimbangan keempat rasanya membuat niat menekuni ‘profesi’ bapak rumah tangga jadi goyah. Aspek ini, yakni soal penghasilan, perlu sangat diperhatikan. Selama ini, istri bekerja selain sebagai aktualisasi diri, tak dimungkiri untuk memiliki finansial yang lebih layak.

Dengan gaji istri yang tak seberapa, sementara kebutuhan anak makin meronta, ditambah rumah belum punya, padahal harga tanah makin menggila. Saya rasa berlama-lama jadi bapak rumah tangga penuh waktu yang tak berpenghasilan, bukan ide bagus untuk kehidupan masa depan.

Yang jelas, saya siap jadi bapak rumah tangga, sambil menunggu surat lamaran saya bepergian menemukan pemberhentiannya.

Bagikan
Post a Comment