Site icon Inspirasi Muslimah

Menggunakan Kacamata yang Tepat dalam Mendampingi Perkembangan Anak

perkembangan anak

Dua minggu terakhir ini saya lewatkan dengan mengunjungi  rumah orang tua di Malang. Kebetulan istri juga sedang ada dinas luar di sini. Jadilah kami rombongan mudik sekeluarga. Lumayan sambil ziarah menjelang Ramadan.

Berada di Malang, anak-anak saya excited sekali. Rumah orang tua saya memang cukup luas dibanding  rumah saya di Tangerang Selatan. Dengan space seluas itu ditambah kolam ikan dan taman, membuat anak-anak bisa bebas berlarian ke sana kemari. Membuat rumah ini layaknya sirkuit Mandalika dibanding sekedar hunian.

Sebelum cerita lebih jauh tentang tingkah pola anak-anak saya, biar saya perkenalkan dulu dua malaikat kecil ini. Anak sulung saya, perempuan berumur 4 tahun. Darah Putri Solo mengalir sangat kental di nadinya, turun  dari ibunya yang orang Wonogiri. Dia adalah tipe feminim tulen. Manis, anteng tapi moody-nya naudzubillah. Bila sedang dalam mode bad mood, segala hal jadi salah. Karena mood swing-nya ini, dia jadi gampang ngambek. Kalau sudah gitu dia bakal marah lalu nangis teriak-teriak memekakkan gendang telinga seisi rumah. Saya jadi merasa menghadapi bocah ABG kalau sedang berhadapan dengan si sulung.

Anak kedua saya cowok, tepat 2 tahun selisihnya dengan umur sang kakak. Karakternya berbeda 180 derajat dengan kakaknya. Seperti ayahnya yang orang Malang, dalam dirinya darah singo edan mengalir deras. Sederas arus sungai Amu Darya. Saya membayangkan anak kedua saya ini seperti bola bekel yang dikasih sayap kecoak, dengan tambahan fitur usil yang selalu berada di mode on. Satu-satunya ketenangan yang bisa ia ciptakan adalah dengan tertidur. Dengan rasa ingin tahu yang sangat besar, ia akan masuk ke kolam ikan untuk ngaduk-ngaduk air kolam dan berusaha menangkap penghuninya. Di lain waktu ia bisa berlari seharian memberantakkan isi rumah layaknya buldoser dipasangi mesin mobil F1.

Terkadang saya cukup stres bila harus mengurus dua makhluk mungil ini. Seringkali emosi saya memuncak saat perilaku usil si adik harus memakan korban kakaknya. Ntah itu rebutan mainan, saling ejek, bahkan sampai kekerasan fisik seperti didorong atau dipukul. Saat sang kakak sedang sibuk bermain sesuatu, adiknya selalu saja berusaha merebutnya. Ketika keduanya tidak ada yang mau mengalah, raungan tangis akan semakin meriuhkan suasana di tengah teriakan saya. Saya jelas harus teriak juga. Supaya suara saya tidak tenggelam di tengah suara tangis mereka. Yang saking kencangnya bisa membangunkan beruang yang sedang hibernasi.

Di lain waktu, bila tiba waktunya makan, saya berusaha menyuruh mereka tetap tenang. Saya meminta mereka duduk di kursi dan fokus menikmati makanannya. Tapi yang terjadi si adik seringkali melihat kakaknya sebagai target latihan lempar jumrah. Melempari kakaknya dengan apapun yang ada di piringnya. Nasi, brokoli bahkan sendok. Tentu hal tersebut sangat melukai hati kakaknya yang sangat lembut bagaikan sutra. Anda tahu yang kemudian terjadi. Kakaknya nangis, teriak sekencang-kencangnya.  Sementara adiknya cuma prengas-prenges seakan tidak terjadi apa-apa. Saya cuma bisa menggeram seperti singa kelaparan. Grrr…

Saya selalu menyuruh mereka untuk menuruti semua perintah saya. Tidak ngobrol dan lempar-lempar saat makan, tidak teriak-teriak saat berbicara, duduk yang anteng, dan tidak menyentuh kolam ikan setelah selesai mandi. Namun hal itu malah membuat kacau keadaan. Anak-anak tidak menuruti, sementara saya memaksa untuk dituruti. Ending-nya anak-anak nangis, saya nya emosi. Tidak berakhir bahagia untuk dua belah pihak.

Semakin saya selalu memerintah, semakin saya rentan emosi.  Dan akhirnya membuat saya melihat kedua anak ini sebagai anak yang nakal. Namun sebisa mungkin saya tidak melontarkan kata-kata tersebut ke anak-anak. Paling pol saya cuma menggeram saja seperti motor Harley yang sedang dipanasi. Dan itu cukup membuat mereka takut. Walaupun tidak sampai menghentikan tangisnya.

Setelah saya pikir-pikir dan renungi apakah seperti  ini rasanya punya anak. Saya mendapati justru saya lah letak masalahnya. Selama ini mindset saya yang salah dalam melihat anak-anak. Saya memakai kacamata yang salah dalam melihat dan berekspektasi kepada mereka dalam berperilaku; saya memakai kacamata orang dewasa untuk melihat dunia anak-anak. Saya menetapkan standar yang tidak tepat tentang  bagaimana anak baik itu seharusnya bersikap; saya masih tenggelam pada paradigma bahwa anak baik itu adalah anak yang anteng, nurut perintah orang tua, dan selalu bisa mengalah kepada siapapun.

Padahal bisa jadi di balik itu semua ada rasa ingin tahu yang dipendam, ada daya kreativitas yang dikubur dan berkembangnya sensor-sensor motorik yang terhambat. Karena saya percaya tiap manusia itu unik, maka tiap anak pun berbeda perkembangannya. Sama seperti kedua anak saya. Walaupun dilahirkan dari benih yang sama, namun karakter dan perilakunya sama sekali berbeda. Maka tidak bijak bila saya menggunakan standar yang ntah berasal dari mana untuk membentuk dan menilai perilaku anak-anak saya. Saya yakin mereka tetap baik dengan caranya sendiri dalam bertumbuh.

Oleh karen itu saat ini saya mencoba berdamai dengan segala hal ini. Mulai dari baling-baling helikopter yang terbang rendah membuat berantakan makanan, mainan dan pakaian. Sampai berhadapan dengan perasaan paling halus layaknya salju di awal musim dingin.

Yang bisa saya lakukan adalah memastikan lingkungan bermain mereka tidak berbahaya. Menjauhkan benda berbahaya, menutup stop kontak, dan mengawasi tanpa perlu mengomando. Dan yang paling penting, merubah kacamata saya. Menjadikan diri saya kembali menjadi anak-anak. Karena dengan begitu saya bisa memahami mereka dan berkomunikasi dengan bahasa yang bisa mereka mengerti.

Menjadikan diri saya berada di dunia anak-anak membuat saya sedikit banyak mengerti kelakuan mereka. Membuat respon yang keluar jauh lebih bijak tanpa menyakiti hati anak-anak saya. Dan saya bisa lebih legowo untuk membiarkan mereka mencoba hal-hal baru. Karena memang itu yang dibutuhkan bagi perkembangan otak dan sensori mereka.

Yah, punya anak tidak terlalu melelahkan. Karena untuk sejenak saya bisa benar-benar menikmati hidup. Meskipun cuma sekedar mainan pistol-pistolan, mengaduk-ngaduk kolam dan membuat makanan di mainan masak-masakan. Dan untuk  sejenak saya bisa melupakan urusan orang dewasa yang penuh kekhawatiran dan insecurity. Terima kasih anak-anak.

Bagikan
Exit mobile version