f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
suara perempuan

Menganggap Suara Perempuan adalah Aurat itu Keterlaluan

Pembahasan mengenai status suara perempuan memang sudah lama menjadi kajian para ulama. Namun kebanyakan pendapat yang sampai pada kita hari ini adalah bahwa suara perempuan sangat berpotensi menimbulkan syahwat laki-laki; sehingga hukum bersuara bagi perempuan lebih dekat pada makruh (kalau tidak haram) daripada mubah. Alasan “syahwat laki-laki” ini memang sering para ulama klasik gunakan (dan banyak ulama ikuti kontemporer) sebagai dalil untuk membatasi ruang gerak perempuan; sehingga banyak hukum yang lahir dari alasan ini bersifat diskriminatif dan bias gender.

Dianggapnya suara perempuan sebagai aurat ini sepertinya konsekuensi dari paham umum bahwa “perempuan fitrahnya di rumah” yang digaungkan para pendukung tatanan patriarki dalam Islam. Perempuan, menurut mereka, tugasnya hanyalah menaati suami di rumah, dan mendidik anak, yang juga di rumah. Lalu karena perempuan “haram” keluar rumah, sekalian saja suara mereka juga ikut “diharamkan”.  Fikih seperti ini merupakan bentuk fikih yang tidak ramah perempuan dan berorientasi pada laki-laki semata (male-oriented).

Dalam perjalanan sejarah, perempuan selalu menjadi kaum tertindas oleh oknum-oknum pendukung budaya patriarki; dan hal ini malah semakin ditegakkan oleh doktrin atas nama agama. Dalam konteks Islam, menurut Jamal al-Banna, doktrin ini sebenarnya bukan berasal dari Islam itu sendiri. Melainkan dari para yuris Islam zaman dulu yang sedikit-banyak terpengaruh dengan budaya Arab yang masih kental budaya patriarki.

***

Menurut Jamal, Al Qur’an pada dasarnya mengajarkan pembebasan terhadap perempuan, namun para fukaha lah yang membatasi dengan ketat kebebasan itu. Pembahasan ini ia tulis dengan panjang lebar dalam bukunya Al-Mar’ah al-Muslimah; Baina Tahrir al-Qur’an wa Taqyid al-Fuqaha’ (Perempuan Muslimah; Antara Pembebasan Alquran dan Pembatasan Para Fuqaha).

Baca Juga  Aborsi Bukanlah Kejahatan, Melainkan Hak bagi Perempuan

Pada dasar dan fitrahnya, perempuan, sebagaimana laki-laki, sesungguhnya memiliki hak yang sama untuk bermuamalah dalam cakupan yang sangat luas. Dan mereka juga punya hak untuk berekspresi, termasuk di dalamnya bersuara dalam makna aslinya (berbicara, berpidato); juga bersuara dalam makna majasinya (menulis). Ini adalah hal yang lumrah, karena kalau tidak, apa gunanya Allah menciptakan suara perempuan jika hanya untuk diharamkan?

Sejarah telah membuktikan bahwa hak-hak perempuan sudah diusahakan sejak berabad-abad terakhir, dan sangat disayangkan apabila usaha tersebut tidak kita hargai dengan alasan doktrin agama yang sebenarnya tidak kita pahami betul. Konsekuensi dari doktrin-doktrin ini sangat buruk. Misalnya perempuan menjadi terbiasa berdiam diri di rumah; mereka tidak berani bersuara di depan umum karena takut mendapat “dosa bersuara”. Dalam cakupan yang lebih luas, ini pada akhirnya akan mematikan potensi masyarakat untuk berkembang. Sebab perempuan (yang merupakan setengah komposisi masyarakat) tidak mendapatkan ruang untuk berekspresi.

Konsekuensi lain dari tidak bolehnya perempuan bersuara adalah ide-ide dan gagasan-gagasan mereka menjadi mati; sehingga secara partikular akan membuat tiap perempuan menjadi manusia-manusia tanpa ide, bahkan “tanpa pikiran”; mereka hanya menjadi “robot” pembantu urusan rumah tangga dan pemuas nafsu laki-laki belaka.

Sedangkan seperti yang kita pahami bersama, ciri yang paling khas dalam diri tiap manusia (termasuk perempuan) adalah memiliki pikiran dan gagasan. Itulah sebabnya Descartes mengaitkan antara pikiran (al-fikr) dan wujud (al-wujud) itu sendiri: jika saya berpikir, maka saya ada. Jadi secara berkebalikan (mafhum mukhalafah): saya tidak berpikir, maka saya tidak ada. Jika perempuan benar-benar haram bersuara, maka itu sama dengan membunuh pikiran mereka, dan membunuh pikiran mereka sama dengan membunuh wujud mereka.

Baca Juga  Perlindungan Anak Perempuan dalam Keluarga Sakinah dari Kekerasan Seksual: Mendesak Perlindungan dan Keselamatan
***

Hak-hak perempuan (sebagai manusia) jelas sama dengan laki-laki, seperti hak untuk hidup; hak untuk tidak terintimidasi dalam keluarga maupun masyarakat; dan hak untuk menyuarakan aspirasi dan keinginan. Islam sama sekali tidak pernah melarang perempuan untuk mendapatkan hak mereka; bahkan ia memberikan hak dengan porsi yang sangat besar jika dibandingkan dengan penindasan yang perempuan alami pada masa pra-Islam. Jika berbicara tentang dalil bolehnya perempuan bersuara, ada banyak sekali (bahkan terlalu banyak) contoh yang dapat kita ambil baik dalam Al Qur’an maupun Hadis, yang hal ini diteruskan oleh para Khulafa’ al-Rasyidin yang empat: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali.

Dalam Al Qur’an, perintah amar makruf nahi munkar (yang menjadi kewajiban untuk laki-laki dan perempuan (At Taubah: 71); sebagai contoh, mengharuskan pelakunya untuk bersuara (berbicara maupun menulis), sebab tidak ada amar makruf nahi munkar dengan diam saja.  Inilah sebabnya terasa janggal jika ada hukum yang menyebutkan bahwa suara perempuan adalah aurat sehingga ia harus disembunyikan. Hal ini selain bertentangan dengan dalil-dalil Al Qur’an dan Hadis; juga bertolak belakang dengan akal sehat; hak asasi manusia, termasuk di dalamnya konsep kesetaraan yang juga terdapat dalam ajaran Islam.

Allah tidak menciptakan perempuan sebagai makhluk dengan kewajiban mengurung diri mereka sendiri: tidak keluar rumah dan tidak bersuara (dan bahwa laki-lakilah yang berhak keluar rumah dan bersuara). Allah menciptakan perempuan justru sebagai saudara kandung (syaqiqah) laki-laki yang derajat dan hak-haknya setara, begitu tertera dalam sebuah Hadis. Jadi, membeda-bedakan hak antara laki-laki dan perempuan (termasuk dalam kebebasan bersuara) adalah suatu pembedaan yang keterlaluan dan tidak sesuai dengan ajaran Islam, yang menjunjung tinggi keadilan dan kesetaraan.

Bagikan
Post a Comment