f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
macet

Memaklumi Sikap Individualis

Kemarin saya mengirimi teman lama pesan melalui facebook. Sebutlah namanya Gede. Saya rindu kepadanya.

Awalnya sih, niat saya menyapa dia dengan kalimat sindiran khas Sumatera yang tentu saja lelucon. Tetapi bukannya dia menjawab dengan lelucon, justru malah tersinggung dan membalas dengan satu kata hujatan. Gayung bersambut, kami pun tenggelam dalam perdebatan kontraproduktif. Dan berujung pemblokiran facebook saya oleh dia. Saya ingin tertawa, tapi ini serius.

Kok saya merasa menyesal ya? Lalu saya teringat masa-masa itu. Tahun 2012, Gede adalah manusia liyan yang terasing dari teman-teman sekolah karena dia seorang Hindu di tanah Melayu Riau. Tidak ada yang mau bersikap ramah dan menemaninya. Dia terasing. Hanya saya yang sesekali mendengarkan curhatannya, itu pun tanpa respon berarti. Sampai kemudian dia mengikuti ayahnya yang berpindah-pindah tugas. Terakhir saya dengar dia kuliah di Bali.

Saya pun akhirnya memaklumi jika sekarang dia bersikap seperti itu. Menarik diri dari interaksi teman-teman lama dan asik dengan dunianya sendiri. Ini adalah buah dari sejarah panjang kekecewaan dan kepatah-hatian.

***

Di masa ini ketika spirit egosentris semakin menguat, seringkali kelompok mayoritas menjalankan mekanisme “mengasingkan” kelompok lain. Pengasingan ini bisa dalam berbagai bentuk. Ada yang tidak memasukkan kelompok liyan ke dalam daftar orang yang pantas ditemani. Ada yang dengan merundung dan menjaili. Pokoknya mereka kreatif dalam perlakuan sampah semacam ini.

Seingat saya, persoalan semacam ini bukan hanya terjadi kepada Gede. Sejak SD sampai SMA, saya menyaksikan bagaimana mekanisme “mengasingkan” itu sering terjadi. Perlakuan itu sering didasarkan kepada “keunggulan” oleh orang-orang tertentu. Kekuatan fisik, kepintaran, ketampanan dan kekayaan menjadi alasan dari pengasingan itu. Orang-orang yang dinilai tidak terlalu sempurna akan dijauhi, bahkan mengalami bully.

Penghormatan terhadap orang lain tidak lagi berdasarkan kepada prinsip kemanusiaan. Nilai kemanusiaan seolah-olah telah lenyap dari batok kepala mereka.

Baca Juga  Kurangi Insecure, Tingkatkan Rasa Syukur

Ringkasnya, lingkunganlah yang mengasingkan mereka pada awalnya. Proses itu tanpa sadar membentuk mereka menjadi manusia yang kapal hati dan suka mementingkan diri sendiri. Keterasingan yang mereka hadapi lambat laun memaksa mereka untuk tumbuh menjadi pribadi individualis. Kalau begini, bukankah sebenarnya kita yang memproduksi orang-orang individualis itu?

Tema individualistik sering menjadi topik di forum-forum diskusi. Mereka berbicara seolah-olah sikap individualis adalah nista dan harus dijauhi oleh semua orang. Tapi kenyataannya, kian hari, fenomena individualistik malah semakin mengkhawatirkan bagi orang-orang kolektivis.

***

Bukankah kita memang sering mempermasalahkan sikap individualis atau mementingkan diri sendiri. Tanpa mau mencari tahu sebab-musabab kenapa seseorang bersikap individualis. Mungkin sekarang waktunya kita untuk sadar diri, insaf dan merenung. Jangan-jangan kita termasuk salah satu yang memproduksi orang-orang individualis. Bukankah sudah banyak buku dan artikel-artikel menyatakan bahwa kepribadian seseorang sedikit banyak mendapatkan pengaruh dari respon lingkungan yang mengitarinya.

Pikiran liar saya membayangkan begini. Bagaimana jika mekanisme “mengasingkan” ini ternyata juga terjadi di tempat-tempat lain pada konteks dan keluasan yang berbeda.

Ambillah contoh, misalnya, kemelaratan yang merebak membuat banyak anak tergopoh-gopoh untuk sekolah dan kuliah. Sebagian lagi memeras keringatnya untuk bekerja dan mencari lapangan kerja. Tidak ada tempat untuk mengadukan kesulitan mereka, semua orang menjauh, jijik, dan enggan membantu dengan selusin alasan.

Mereka terasing dari kehidupan. Mereka mencoba mengadu kepada pemerintah, tetapi mekanisme untuk menerima bantuan-bantuan itu pun begitu rumit dengan segala tetek-bengek aturan administrasi dan selusin syarat. Akhirnya, mereka bertungkus lumus seorang diri menyelamatkan hidupnya.

Apakah tidak akan tumbuh perasaan kecewa dalam diri mereka? Serta bukankah karena kekecewaan banyak orang yang “uzlah” untuk sekadar menenangkan diri atau secara ekstrem mengubah kepribadian dirinya.

Baca Juga  Yakinlah, Mereka Hanya Butuh Didengarkan!

Apalagi ruh yang terkandung di dalam narasi “gotong royong” tidak pernah benar-benar kita jawantahkan. Kita mengatakan harus bergotong royong dalam membangun peradaban maju bangsa. Tetapi tidak pernah berkomitmen bergotong royong dalam hal yang paling mendasar: ramai-ramai menghormati kemanusiaan.

***

Tanpa kita sadari, ternyata mekanisme “mengasingkan” orang lain telah kita jalankan di setiap fragmen kehidupan. Kita biarkan orang berjuang sendiri. Menganggapnya hanya angin lalu ketika ia melirihkan, “permohonan pertolongan”; “permohonan perhatian”.

Saya tidak hendak mengatakan bahwa pilihan menjadi pribadi individualis sepenuhnya benar, tetapi coba kita tengok dalam lanskap yang lebih besar. Berapa juta orang yang telah dikecewakan oleh kita, oleh lingkungan, dan oleh pemerintah. Harapan mereka yang besar harus runtuh di hadapan kesombongan dan kerumitan syarat. Mereka datang dengan menundukkan kepala, tapi kita getok kepalanya menggunakan martil keangkuhan.

Kekecewaan dan kepatah-hatian yang diterima oleh si individualis bisa jadi menjadi alasan dari keindividualisannya di kemudian hari.

Apabila budaya ini terus berlangsung, akan menjadi semacam lingkaran setan yang mengkhawatirkan. Jika begini, lama kelamaan terkumpullah raksasa kelompok manusia individualis berbasis kekecewaan dan patah hati. Akhirnya terungkap fakta, bahwa kita sendirilah yang memproduksi orang-orang individualis untuk memenuhi bumi ini.

Bagikan
Post tags:
Post a Comment