f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
keadilan gender

Meluruskan Bahtera Keadilan Gender

Dalam pongahnya kehidupan, terdapat timpang soal dominasi laki-laki atas perempuan. Laki-laki selalu diposisikan sebagai pihak “kuat” di hadapan perempuan yang dipandang “lemah” selama berabad-abad. Perbedaan-perbedaan ini kemudian diyakini sebagai ketentuan kodrat, lewat ungkapan, “Sudah dari sono-nya!” atau merupakan pemberian Tuhan.

Perbincangan hak-hak perempuan terus bergulir di pelbagai forum. Menandakan bahwa topik ini adalah bahasan yang tak pernah dan tidak akan selesai. Perbincangan ini mengarah pada keadilan relasi antara laki-laki dengan perempuan dalam pelbagai dimensi kehidupan. Satu di antaranya, perempuan kerap diperlakukan secara diskriminatif dengan dalih perbedaan gender.

Gender pada dasarnya ialah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang didasarkan atas konstruksi sosial. Artinya, gender selalu berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat, bahkan dari kelas ke kelas. Sementara, jenis kelamin (seks) karena bersifat biologis maka tak akan pernah berubah-ubah.

Menyoal perbedaan gender ini, dalam buku Analisis Gender & Transformasi Sosial (2020), Mansour Fakih menjelaskan bahwa perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Maka ketidakadilan ini merupakan sebuah sistem yang laki-laki atau perempuan bisa saja menjadi korbannya.

Soal ketidakadilan ini, seringnya perempuanlah yang menjadi korban. Ini disebabkan karena dua hal; yakni kekuatan laki-laki dan perempuan sendiri. Maka refleksi ini perlu diterawang lebih jauh, sebetulnya ketidakadilan ini disebabkan karena faktor eksternal atau internal?

Mendiang Sahal Mahfudz dalam pengantar buku Fikih Perempuan: Refleksi Kiai atas Tafsir Wacana Agama dan Gender (2019) karya Husein Muhammad mengatakan, ada tiga buah asumsi dasar tentang penilaian terhadap perempuan. Pertama, asumsi dogmatis yang secara eksplisit menempatkan perempuan sebagai pelengkap. Kedua, dogma bahwa bakat moral etik perempuan lebih rendah. Ketiga, pandangan materialistik, ideologi masyarakat Makkah pra-Islam yang memandang rendah peran perempuan dalam proses produksi.

Baca Juga  Trend Bapak Rumah Tangga dan Usaha Penyetaraan Gender Melalui Pengasuhan

Dengan memahami persoalan tersebut, muncullah pandangan-pandangan manusiawi dan lebih adil. Perempuan berhak memiliki akses sepenuhnya untuk berpartisipasi di bidang politik, ekonomi, sosial, dan intelektual serta dihargai sebagaimana kaum laki-laki. Sebaliknya, kaum laki-laki juga bisa atau terbuka kemungkinan untuk berpartisipasi penuh di ranah domestik seperti merawat rumah dan anak-anak mereka.

Laki-Laki sebagai Korban Ketidakadilan

Ketika memperbincangkan tentang ketidakadilan gender, maka antara laki-laki dan perempuan keduanya berpotensi menjadi korban. Sukar disangkal, ketidakadilan gender terhadap perempuan memang mendominasi. Namun, kita juga jangan menyepelekan ketidakadilan yang terjadi pada laki-laki.

Sebagai contoh, seorang teman laki-laki saya bersama pelamar laki-laki lain dipersulit menjadi karyawan di salah satu pabrik sepatu di Jawa Barat. Dugaan-dugaan bahwa etos kerja laki-laki tidak bagus dan kurang teliti itu sangat merugikan. Padahal persepsi ini masih di ambang ketidakjelasan.

Perusahaan tersebut secara teori lebih memprioritaskan perempuan sebagai karyawan. Hal itu bisa didasari karena kemampuan perempuan dalam bekerja. Dengan demikian, seharusnya perusahaan menyeleksi karyawan sesuai kemampuan dan kinerjanya, bukan atas dasar konstruksi gendernya. Padahal laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensi dalam kerapian, keuletan, dan ketelitian dalam bekerja.

Dalam kasus ini, terdapat timpang kontruksi ketidakadilan gender dalam sebuah sistem perusahan. Seharusnya perusahaan memetakan kinerja karyawan—baik perempuan atau laki-laki—sesuai karakter keahliannya. Maka sangkaan-sangkaan ketidakadilan gender itu sepatutnya disudahi, bahkan bila perlu dihapuskan.

Bahtera keadilan gender masih terombang-ambing oleh pelbagai arus lautan dogma. Hari ini, kita menyaksikan bahwa laki-laki pun sebenarnya menjadi korban ketidakdilan gender yang bisa jadi dilakukan oleh sesama laki-laki. Ketika misalnya pemilik perusahaan sepatu itu laki-laki, dan ia tak menginginkan karyawannya laki-laki dengan alasan-alasan di atas, maka ketidakadilan gender itu nyata dilakukan oleh kaum laki-laki sendiri.

Baca Juga  BPK dan Korupsi : Refleksi Check and Balances

KH. Husein Muhamad dalam buku Mencintai Tuhan Mencintai Kesetaraan: Inspirasi dari Islam dan Perempuan (2014) menarasikan, sebagai manusia, perempuan memiliki seluruh kemanusiaan sebagaimana dimiliki laki-laki. Maka traktat kemanusiaan ini sejatinya dimiliki oleh semua insan yang ada di bumi. Perilaku pilih-pilih dalam sektor pekerjaan tanpa pertimbangan dan ukuran yang jelas, merupakan sebuah perilaku nirkemanusiaan.

Memandang salah satu pihak dengan sangkaan dan dugaan buruk karena dimunculkan oleh perbedaan gender, menurut Mansour Fakih merupakan sebuah ketidakadilan gender yang harus digugat. Sebuah manifestasi ketidakadilan gender tidak bisa dipisah-pisahkan karena saling berkaitan dan berhubungan. Apabila sistem ini masih terbiarkan, persoalan-persoalan ketidakadilan gender—dalam konteks ini bagi laki-laki—akan terus menjadi pusaran arus ketidakadilan-ketidakdilan selanjutnya.

Pada akhirnya, asas universalitas itu diperuntukkan bagi laki-laki dan perempuan. Masuknya laki-laki pada ranah yang selama ini hanya “diperuntukkan” untuk perempuan harus menjadi sebuah kelumrahan, begitu pun sebaliknya. Sekat-sekat perbedaan gender yang masih melahirkan ketidakadilan sudah sepatutnya direduksi dengan sebuah kesadaran dan kesalingan. Dengan demikian, bahtera keadilan gender mengalir secara alamiah dan dapat mengarungi ombak anasir-anasir miring terhadap kemesraan dalam menerima perbedaan gender.

Bagikan
Post a Comment