f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
maraton

Maraton, Jalan Ninja untuk Berdamai dengan Diri Sendiri

Napas saya rasanya sudah hampir putus. Entah berapa puluh ribu langkah sudah diayun susah payah. Tak jauh di depan, papan penanda KM 36 seolah melambai-lambai. Saya pun mempercepat laju lari. Tepat saat tiba di penanda KM 36, semua pertanyaan saya selama ini terjawab langsung. Seolah terdengar jawaban yang jelas dan tegas: “Ini semua memang proses yang harus dilewati.”

Di tengah guyuran hujan, sontak saya merasa lega dan bahagia. Lenyap sudah gundah gulana yang terasa membebani sejak melintasi garis start tadi. Siapa sangka, pencerahan justru datang saat saya sedang hancur lebur. Saat kondisi fisik dan mental berada di titik terendah.

Pertama kali memantapkan diri untuk ikut lomba lari dengan kategori full marathon 42,195 km pada tahun 2016, saya bersepakat dengan tiga orang teman. Kami akan berlari bersama hingga 21 km, karena kecepatan kami kurang lebih sama. Selebihnya terserah kemampuan masing-masing.

***

Baru beberapa kilometer terlewati, awan mendung yang sejak pagi bergelayut, turun ke bumi dalam wujud hujan lebat. Itulah pertama kalinya hujan turun dalam sejarah Jakarta Marathon. Biasanya, lomba lari yang satu ini selalu berlangsung di bawah terik matahari.

Setelah melewati penanda KM 21, seorang teman melipir ke tenda medis untuk memeriksakan lututnya. Dua orang teman melanjutkan perjalanan dengan kecepatan tetap, sedangkan saya mengurangi kecepatan sehingga agak tertinggal di belakang. Tidak apa-apa, perjalanan masih jauh. Lebih baik menghemat tenaga supaya kuat lari hingga garis finish.

Maraton itu pada dasarnya adalah tentang belajar mengenali diri sendiri. Mengenali kekuatan diri. Saya jenis yang kuat berlari jauh, dan yakin sanggup mencapai garis finish. Asal tidak memaksakan diri mengikuti kecepatan orang lain. Namun lantaran berlari sendirian, pikiran saya lantas melayang ke mana-mana.

Baca Juga  Mengapa Tidak Meminta Pertolongan?

Sepasang sepatu dan kaos kaki yang awalnya begitu empuk, kering, dan nyaman, saat itu telah berjam-jam basah oleh air hujan. Rasanya seperti naik dua perahu kecil yang terisi air. Pada setiap langkah, air yang berat itu harus ikut diangkat, lalu dihempaskan.

Sepasang kaki yang ada di dalam situ entah seperti apa wujudnya. Saya jelas tidak berani membuka sepatu, karena takut mental saya jatuh. Kaki pasti keriput menyeramkan lantaran lama terendam air, dengan blister atau luka lepuh di mana-mana. Lebih baik tidak usah melihat sama sekali. Saya hanya berharap, bagian-bagian kulit yang melepuh terisi cairan itu tidak pecah dan menimbulkan lecet.

***

Saat mencapai penanda KM 25, tubuh sudah amat lelah setelah hampir 4 jam berlari. Perasaan negatif yang sudah ditahan-tahan itu akhirnya muncul juga. Pada setiap ayunan langkah yang tidak nyaman karena basah dan berat oleh air, ada kemarahan dan kebencian. Saya benci situasi dan kondisi masyarakat Indonesia saat itu, yang terbagi menjadi beberapa kubu pendukung politisi. Entah sampai kapan kawan dan saudara harus bermusuhan, hanya karena beda pilihan politik.

Belum lagi saat mengingat anak saya yang agak berkebutuhan khusus. Setiap kali memikirkannya, yang ada hanya rasa khawatir. Bisakah ia mandiri kelak? Akankah ia menemukan passion-nya, dan bisa berkarya sesuai bakat dan minatnya? Semuanya serba tidak pasti.

Melewati penanda KM 30, rasanya itu adalah titik terendah saya sepanjang mengarungi hidup ini. Maraton adalah belajar jujur pada diri sendiri. Jika selama ini saya membohongi diri, memaksa diri bersyukur dan tersenyum apa pun yang terjadi, maka KM 30 adalah titik balik. Di mana saya merasa berhak marah, protes, dan mempertanyakan segala sesuatunya kepada Yang Kuasa.

Baca Juga  Mengapa Allah Menciptakan Manusia Berbeda-beda?
***

Di tengah segala kesulitan hidup ini, setidaknya kita berhak bertanya bukan? Hempaskan! Pertanyaannya sederhana saja. “Mengapa Kau biarkan semua ini terjadi?” Semua perpecahan dan kebencian akibat perbedaan pilihan politik. Semua hoaks, perdebatan, dan perseteruan yang seolah tiada akhir. Mau jadi apa negara ini?

Semua kekhawatiran dan keputusasaan melihat anak saya yang tumbuh kembangnya tidak seperti anak-anak lain. Akan jadi seperti apa ia kelak? Apakah saya akan menjadi orang tua gagal? Marah, sedih, khawatir, semua bercampur jadi satu.

Maraton adalah belajar ikhlas menerima kekurangan dan kelemahan diri. Di tengah derasnya hujan, saya melihat sosok perempuan yang sedang berjalan kaki itu, tak jauh di depan. Saya mengenali kaosnya, kaos komunitas lari saya.

Yang membuat heran, sosok itu adalah idola saya di komunitas. Pelari cepat dan tangguh yang biasanya menyelesaikan maraton dalam lima jam saja. Mestinya jam segini ia sudah duduk manis usai melintasi garis finish, bukannya berjalan kaki tak jauh dari penanda KM 35 yang baru saja dilewati.

***

“Ada apa, Kak?” saya bertanya, begitu tiba di sampingnya.

“Kaki kram,” jawabnya. “Nggak akan bisa lari lagi kalau sudah kram begini, bakalan jalan kaki aja terus sampai finish.”

Ucapan itu keluar dengan santai disertai senyuman. Ringan. Menandakan orangnya sudah berpengalaman. Ya, pelari idola yang satu ini entah sudah berapa kali finish maraton. Sehingga saat kakinya kram pun, ia tahu pasti apa yang harus dilakukan, dan tetap yakin sanggup mencapai garis finish. Maraton adalah belajar sabar menapakkan kaki hingga puluhan ribu langkah.

“Tenang saja, masih ada waktu. Jalan kaki dengan kecepatan segini, aku masih bisa finish dalam 7 jam kok. Yang penting jangan berhenti.” Maraton adalah belajar fokus pada diri sendiri, bukan orang lain, karena kita tidak berangkat dari titik yang sama. Tujuannya pun belum tentu sama. Asalkan terus berjalan, suatu saat pasti kita akan tiba di tujuan.

Baca Juga  Memahami Potensi Diri Dan Konsep Rezeki Yang Tak Akan Tertukar

Dalam hati saya mengucap terima kasih atas pembelajaran yang ia berikan, meski barangkali tanpa ia sadari. Lantaran masih sanggup berlari kecil, saya mengucap selamat tinggal padanya dan melaju perlahan. Lalu tibalah saya di penanda KM 36, saat Semesta menjawab pertanyaan tadi.

“Ini semua memang proses (pembelajaran) yang harus dilewati.” Lewati saja prosesnya, ikuti pembelajarannya, nanti pasti akan ketemu jalan keluar.

***

Belajar memaafkan dan merangkul diri sendiri karena tidak selalu kuat. Mencintai diri sendiri seutuhnya. Belajar terus bertahan hidup apa pun yang terjadi. Pembelajaran untuk berdamai dengan diri sendiri.

Belajar untuk terus melangkah meski berat. Belajar untuk menyelesaikan apa yang telah dimulai. Hingga akhirnya saya tiba di penanda KM 42, dan terus melaju hingga melewati garis finish.

Semua teman yang lari bersama sejak garis start tadi berhasil finish sebelum batas waktu 7 jam berakhir. Idola saya yang terpaksa berjalan karena kakinya kram itu melintasi garis finish tepat di 6 jam 55 menit. Kami semua luar biasa.

Saya kuat, saya hebat, saya berharga. Dan saya memilih maraton sebagai jalan ninja.

Bagikan
Post a Comment