Site icon Inspirasi Muslimah

Manusia dan Alam: Senang Meraup Keuntungan, Malas Ganti Kerugian

manusia dan alam

Seperti anak yang sedang bermain di rumah, setelah asyik bermain dan mainannya berceceran di setiap sudut ruangan, ia malas merapikan. Atau bagaikan pengutang yang tidak bertanggungjawab. Setelah mendapat manfaat dari uang yang dipinjamkan, malah kabur dan tak dikembalikan. Itulah kiranya gambaran hubungan perilaku manusia terhadap alam saat ini, suka menggerus manfaat yang sudah disediakan Tuhan, tapi lupa melakukan perbaikan. Suka meraup keuntungan dari alam, tapi malas ganti kerugian atas kerusakan alam dan masyarakat kecil yang terdampak.

Kita melihat fenomena bagaimana pelaku bisnis dan merusak alam dengan dalih demi kemajuan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Fenomena ini sejalan dengan yang telah difirmankan Allah Swt. dalam Surah Al-Baqarah ayat 11:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ

“Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”. 

Bukti empirisnya bisa kita lihat dengan jelas di Indonesia. Ribuan pelaku usaha melakukan izin usaha penambangan dan batu bara. Tak hanya itu, mereka membabat hutan untuk dijadikan lahan perkebunan, pariwisata, dan kawasan industri. Dan juga ribuan pelaku usaha membangun vila-vila megah di atas bukit. Mereka mengklaim bahwa usahanya ini tidak akan merugikan pihak manapun, karena yang mereka lakukan semata-mata hanya untuk kemaslahatan bersama. Namun, bagaikan peribahasa, “Habis manis sepah dibuang”, nyatanya alam yang dirusak akibat aktivitas perusahaannya itu, diabaikan.

Sebagai contoh, penanganan lahan pasca pengerukan tambang. Beberapa kubangan bekas pengerukannya itu dibiarkan menganga dan malah menelan korban jiwa. Kemudian kita juga melihat berjuta-juta hektar hutan dialihfungsikan untuk perkebunan sawit. Alih fungsi telah mendegradasi fungsi hutan, daya serap air kurang dan habitat flora fauna hilang. Pemerintah sempat mencabut sementara beberapa aktivitas perusahaan kebun sawit. Namun kebijakan ini tidak memberikan dampak signifikan. Toh perusahaan pun tidak serta merta mengembalikan hutan ke fungsi awalnya. Beberapa waktu lalu pun suku Awyu di Papua sempat diganggu lahan adatnya oleh perusahaan sawit. Akhirnya suku Awyu bersama aktivis lingkungan pun bergerak melawan perusahaan tersebut.

Contoh lainnya adalah deforestasi. di Kalimantan Barat, penggundulan hutan untuk konversi kebun kayu dan produksi pulp mencapai kurang lebih 271.849 per tahun 2015-2022. Dikabarkan bahwa lima tahun ke depan, deforestasi yang salah satunya untuk industri kertas akan semakin meningkat lantaran beberapa negara, seperti China bergantung pada pasokan pulp Indonesia. Selain itu, pabrik pulp baru juga akan dibangun di Kalimantan, yang mana kan semakin masif penggundulan hutan untuk kebutuhan kertas.[1]

Lalu mengapa manusia cenderung malas mengganti kerugian atas kerusakan alam yang telah dibuatnya? Sedikitnya ada 2 faktor yang melatarbelakangi kemalasan tersebut.

Pertama, membutuhkan biaya yang cukup besar. Untuk usaha penambangan, biaya yang dibutuhkan untuk menutup lubang bekas kerukan (reklamasi), kurang lebih mencapai 1 hingga 2 milyar rupiah.[2] Sebenarnya jumlah tersebut masih wajar-wajar saja karena sebanding dengan biaya operasional dan profit yang dihasilkan. Namun hal ini sering kali dianggap beban akibat adanya faktor kedua yang mendasar dan filosofis, yaitu sikap antroposentris. Sikap antroposentris dipahami sebagai sikap memprioritaskan kepentingan manusia daripada alam itu sendiri. Secara kasar, sikap antroposentris menganggap bahwa hanya manusialah yang memiliki nilai, oleh karenanya semua yang ada di bumi ini (hewan, tumbuhan, mikroorganisme, dan makhluk hidup lainnya) tidak lebih penting dari manusia.[3]

Sikap antroposentris memandang alam sebelah mata. Oleh sebab itulah manusia masih suka membuang sampah ke sungai, anak-anak masih suka merusak tanaman tetangga saat bermain bola lalu kabur, pelaku usaha hobi menggundul hutan secara masif, dan penegak hukum bodo amat terhadap kaum kapitalis perusak alam. 

Sebagai manusia yang berakal, sudah seharusnya menjadi yang paling bertanggungjawab dalam melestarikan alam dan menjaga keseimbangan ekosistem. Mumpung masih sehat, berakal dan berumur, beberapa sikap bisa kita ambil untuk membantu menjaga hak-hak alam.

Salah satunya adalah bersikap kritis terhadap perkembangan politik. Mengapa demikian? Karena politik yang sehat akan menghasilkan produk kebijakan yang sehat pula. Jika pemerintahannya adil, maka kebijakannya pun akan adil bagi semua makhluk hidup. Jika pemerintahannya cenderung oligarki, maka kebijakannya pun hanya akan menguntungkan sebagian orang. Sebagai contoh, mempermudah izin usaha di kawasan hutan kepada pengusaha kelas kakap dalam maupun luar negeri atau mempermudah izin ekspor sumber daya alam, dsb.

Selanjutnya adalah mendidik sikap ekosentris kepada generasi penerus. Menyadarkan masyarakat, sanak saudara, dan diri sendiri bahwa punahnya alam adalah tanda awal punahnya peradaban manusia. Sikap antroposentris harus dikalahkan dengan sikap ekosentris, di mana manusia melihat alam dan makhluk hidup lainnya sebagai ekosistem yang saling berkesinambungan. Sikap di mana manusia melihat bahwa mengeluarkan biaya untuk perbaikan alam bukanlah suatu beban dan kerugian, melainkan investasi jangka panjang bagi keberlangsungan hidup manusia di bumi. Yang mana manusia, sebagai makhluk hidup paling berakal di bumi, bertanggungjawab atas kesejahteraan alam.

Sebagai penutup, Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Anbiya ayat 107, ketika mengutus Nabi Muhammad Saw. ke bumi, yang artinya:

 “Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.”

Sebagai umat Nabi Muhammad SAW, kita pun harus begitu. Menjadi manusia yang beradab, tidak semena-mena terhadap alam serta mahkluk hidup yang ada didalamnya, dan menjadi khalifah yang menebarkan rahmat bagi semesta alam. 


[1]https://betahita.id/news/detail/9567/deforestasi-industri-pulp-dan-kertas-meningkat-signifikan.html?v=1702801172, 30 November 2023.

[2] Rizki Tri Cahyana, dkk, Perhitungan Biaya Reklamasi Terhadap Lahan Bekas Penambangan Batubara di PT XYZ, Site Kintap, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan, Vol 5 No.3, JURNAL HIMASAPTA, 2020, hal. 100

[3] I. Ginting Suka, Buku Bahan Ajar Teori Lingkungan: Antroposentrisme dan Ekosentrisme, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, hal. 46.

Bagikan
Exit mobile version