Site icon Inspirasi Muslimah

Makna Hakiki Minal ‘Aidin wal Faizin

minal 'aidin wal faizin

Bagi umat muslim hari raya Idulfitri merupakan momen penting untuk bersilaturrahim dan saling memaafkan. Seluruh kesalahan yang pernah dilakukan terhadap sesama selama setahun lamanya seolah-olah ingin dilebur pada hari raya. Di sini kita saling bermaafan, minal ‘aidin wal faizin. Disadari atau tidak dalam masyarakat kita ungkapan itu sering dimaknai mohon maaf lahir dan batin. Meskipun secara kontekstual pemaknaan itu tidak terlalu menyimpang, namun keluasan dan kedalaman makna ungkapan tersebut tidaklah sepenuhnya terwakili dalam ungkapan mohon maaf lahir dan batin.

Mengapa demikian? Dalam istilah agama ada yang disebut huququllah (Hak-hak Allah) dan ada pula yang disebut huququlinsan (Hak-hak asasi manusia). Dosa atau kesalahan seorang hamba kepada Allah menimbulkan hak bagi Allah untuk menuntut penebusan dari hambaNya. Kita menjalankan puasa ramadan misalnya, adalah sebagai upaya menebus dosa itu dan memohon ampunan dariNya.

Puncaknya adalah momen Idulfitri, yaitu kembali kepada fitrah kita, kepada kesucian. Kembali kepada kesucian itu disimbolkan dengan adanya maaf dari Allah dan kemudian disempurnakan dengan maaf dari sesama manusia. Dalam kehidupan keseharian, kita pasti tidak luput dari berbuat salah kepada sesama.

Allah tidak akan mengampuni kesalahan yang kita lakukan terhadap sesama, jika kita tidak mau meminta maaf kepada yang bersangkutan. Di sinilah sebenarnya kaitan antara ungkapan minal ‘aidin wal faizin yang berdimensi vertikal dengan ungkapan mohon maaf lahir dan batin yang berdimensi horizontal.

Sebenarnya simbol-simbol dari kecenderungan manusia untuk kembali kepada asal kejadiannya, kembali kepada fitrahnya juga dapat kita temukan maknanya dalam kegiatan menjelang dan pada saat hari raya Idulfitri. Kita melihat misalnya, orang-orang selalu menyempatkan diri untuk mudik/pulang kampung. Mereka bahkan rela berjejal-jejal dan berdesakan di atas kereta atau bus. Saling sikut, saling dorong dan sebagainya. Bahkan mereka tak jarang menginap di terminal atau stasiun kereta, karena tidak kebagian tempat atau tiket. Itulah mudik lebaran yang sebenarnya berarti kembali ke asal, kembali ke kampung halaman, kembali ke fitrah.

Apa yang akan mereka lakukan di kampung halaman sama sekali bukanlah untuk pamer keberhasilan hidup di perantauan. Sebaliknya, aktivitas mudik mereka didorong oleh kecenderungan spiritual yaitu hasrat berkumpul dan saling memaafkan dengan sanak saudara.

Memaafkan diakui merupakan pekerjaan yang gampang-gampang susah. Tidak semua orang mau berbesar hati untuk memaafkan kesalahan orang lain, apalagi jika orang tersebut menganggap kesalahan itu terlalu besar. Sehingga kata “maaf” dianggap terlalu kecil, ringan dan tidak cukup untuk menebus kesalahan-kesalahan tersebut. Menariknya, kata “memaafkan” sendiri sebagaimana yang termaktub di dalam Al-Qur’an di dahului oleh kalimat “menahan amarah”. Disadari atau tidak orang yang tidak bersedia memaafkan kesalahan orang lain biasanya karena memendam amarah atau menyimpan dendam dalam lubuk hatinya.

Dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 133-134 Allah berfirman:

وَسَارِعُوۡۤا اِلٰى مَغۡفِرَةٍ مِّنۡ رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالۡاَرۡضُۙ اُعِدَّتۡ لِلۡمُتَّقِيۡنَۙ‏ ١٣٣ الَّذِيۡنَ يُنۡفِقُوۡنَ فِى السَّرَّآءِ وَالضَّرَّآءِ وَالۡكٰظِمِيۡنَ الۡغَيۡظَ وَالۡعَافِيۡنَ عَنِ النَّاسِ​ؕ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الۡمُحۡسِنِيۡنَ​ۚ‏ ١٣٤

Artinya : “Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa (133). (yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan (134).

Kesimpulan ringkas dari kedua ayat tersebut adalah bahwa sifat dendam yang salah satu bentuknya adalah tidak mau memaafkan kesalahan orang lain bukanlah karakter orang yang bertakwa. Allah adalah Maha Pemaaf. Allah juga mencirikan orang orang yang bertaqwa sebagai orang yang mau memberi maaf ketika sedang marah.

Dengan demikian memaafkan adalah suatu kuantitas dan tingkatan moral tersendiri. Jika kita memaafkan kesalahan orang lain, berarti kita menutupi kemarahan kita sendiri dan kesalahan orang itu. Bagaimanapun keduanya saling berkaitan dengan keikhlasan hati untuk memberi maaf. Pertanyaannya, mampukah kita meletakkan makna ungkapan mohon maaf lahir dan batin dalam kerangka seperti yang Al-Qur’an tunjukkan?

Tentu ini bukan tugas yang mudah karena bentuk lahiriah dari ungkapan itu tampak lebih dominan dibandingkan makna esensial yang menjadi tujuan utama. Lihatlah sekeliling kita, orang-orang saling berpelukan di depan kamera, seakan-akan ada rasa penyesalan yang mendalam, namun tidak menutup kemungkinan, ketika di belakang mereka masih tetap sama masih ada rasa berusaha untuk saling menjegal dan menikam. Akhirnya bukanlah hal aneh jika di sekitar kita, masih saja terjadi aneka pertentangan atau perebutan kepentingan. Akan tetapi umat muslim selalu diingatkan oleh ajaran agamanya bahwa sehebat apapun pertentangan itu hendaknya segera dicarikan penyelesaiannya dengan mengedepankan semangat ukhuwah. Untuk membangun ishlah atau perdamaian di antara sesama umat manusia. Maka melalui hari raya Idulfitri ini, semoga kita bisa memetik hikmah untuk diterapkan dalam kehidupan nyata agar rasa damai dan persaudaraan selalu menyertai kita kapanpun dan di manapun berada. Amin.

Bagikan
Exit mobile version