Site icon Inspirasi Muslimah

Makna di Balik Pertanyaan ‘Sudah Hamil?’

hamil

“Dokter X praktek di mana?” Begitulah chat Y kepada kakaknya Z, kemarin. Usianya 42 tahun. Baru saja menikah 3 bulan lalu. Dokter yang itu adalah dokter kandungan dan dia ingin konsul untuk program hamil.

Chat Y ini melempar kembali ingatan Z akan kisahnya sendiri. Z menikah tahun 2005. Baru punya anak tahun 2012. Tujuh tahun ia menanti kelahiran sang buah hati.

Masa menunggu ini bagi seorang pria mungkin tidak jadi masalah. Tapi, bagi sebagian kaum Hawa, hal ini bisa saja meresahkan. Mungkin kalau kamu hidup sendirian di dunia ini, tak masalah. Namun, kenyataannya kamu tidak sendirian.  Ada pihak-pihak luar yang sangat bawel bertanya “Udah hamil?”, “Anaknya berapa?”, “Kok belum hamil?”, “Kalian menunda ya?” dan segudang pertanyaan senada lainnya.

Tentu saja hal ini tidak mengenakkan. Sebenarnya urusan anak adalah urusan Yang Maha Kuasa. Anak adalah anugerah dari-Nya yang tidak bisa di-setting dengan mudah langsung jadi saja. Anak, hak Allah mau ngasih kapan dan di mana.

Inilah yang kurang dipahami oleh masyarakat kita. Kadang-kadang, wanita yang belum punya anak menjadi “kurang berharga” karena belum melahirkan sang buah hati. Itulah yang Z rasakan saat itu, merasa belum sempurna menjadi seorang wanita.

Awalnya ia biasa saja. Seiring waktu dan derasnya pertanyaan pihak luar yang ternyata ‘lebih peduli’ kondisi rumah tangganya, membuat ia menjadi galau . Sehatkah ia? Suburkah mereka berdua? Apa yang harus dilakukan? Bagaimana ini? Itulah kalimat tanya yang muncul ke permukaan batinnya.

Terus ikhtiar

Setelah dua tahun belum juga hamil, Z dan suaminya memutuskan untuk berobat ke dokter kandungan. Hingga ke tiga dokter berbeda, hasilnya bagus. Mereka berdua sehat. Hanya masalah waktu saja.

Meski Z sempat kecewa ketika berkunjung ke salah satu dokter, si dokter mengomelinya dengan mengatakan kenapa tidak cek lebih awal. Alih-alih mendapat semangat, Z malah terima omelan.

Setelah mengetahui bahwa ia dan suaminya tidak apa-apa, Z memutuskan untuk terus ikhtiar. Mulai dari makan sehat, minum ramuan, minum herbal juga berenang. Menurut info yang ia terima, tubuh perlu fit, segar dan siap untuk ditumbuhi janin.

Belakangan ia baru tahu, jika persiapan hamil memerlukan persiapan jauh-jauh hari sebelum menikah. Suatu hari ia ketemu dengan mahasiswi yang kuliah di jurusan Nutrisi. Mahasiswi ini mengatakan bahwa untuk siap hamil seorang ibu harus mempersiapkan kondisi tubuh baik nutrisi dan fisik sebelum menikah. Ini artinya, semasa gadis, memang mereka sudah mempersiapkan diri.

Selanjutnya, Z sering berkunjung ke area sekitar TMII – Taman Mini Indonesia Indah, Jaktim demi mendapatkan daun – ia lupa lagi namanya, berkhasiat untuk tubuh agar bisa hamil. Tak hanya itu, ia bolak-balik ke Pondok Gede, ke rumah kerabat temannya karena di sana ada daun (ia lupa juga namanya). Daun itu untuk direbus dan diminum sebagai terapi yang mau punya anak.

Selain dedaunan itu, Z juga lebih banyak makan makanan sehat yang jauh dari penyedap dan zat-zat pewarna. Z beruntung, sahabatnya yang saat itu usaha herbal, menyarankannya untuk mengkonsumsi sebuah herbal yang bagus untuk kesehatan tubuh juga.

Menyempurnakan ihtiar. Sisanya biar Allah yang urus. Begitulah yang terbersit di benak Z selama itu.

Alhamdulillah, Z beruntung, tidak saja si nyinyir, ia juga memiliki teman-teman yang sangat memahami dirinya. Mereka mendukung dan mendoakan agar ia cepat punya keturunan. Tak jarang mereka juga mereferensikan ramuan ini dan itu hingga terapi urut.

Akhirnya, 12 Agustus 2012, Z mendapat hadiah dari Allah Swt. seorang bayi perempuan yang manis dan cantik. Kehadiran anaknya ini menyebabkan nyinyiran orang-orang sekitar tak berkutik.

Sibuk dengan kegiatan positif

Anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Agaknya ungkapan inilah yang akhirnya dipilih oleh Z. Ungakapan itu untuk menanggapi komen-komen yang tak mendukung dan tak memotivasinya dan suaminya. Daripada ambil pusing omongan orang lain, Z menyibukkan diri dengan kegiatan positif. Salah satunya dengan mengajar, menulis dan berenang.

Saat itu, ia tercatat sebagai guru di sebuah Yayasan dengan tiga sekolah. Kegiatannya sehari-hari adalah menghabiskan waktu di lembaga pendidikan itu bersama murid-muridnya. Di sini, Z banyak belajar tumbuh kembang anak usia remaja. Peralihan masa SD ke SMP, SMP ke SMA ternyata banyak suka duka dan variasinya.

Sebagai pendidik dan orang tuanya siswa di sekolah, Z sangat tertantang untuk memberikan yang terbaik dan belajar lagi psikologi mereka dalam belajar dan bersikap.

Di samping mengajar, kegiatan yang sangat ia sukai adalah menulis. Dua tahun sebelum ia mempunyai anak, ia menelurkan sebuah buku pelajaran dan juga cerpen. Kegiatan ini mengusik batinnya karena menulis adalah cinta pertamanya dalam ranah hobi.

Selanjutnya, ia sibuk berenang bahkan menjadi pelatih renang untuk muslimah. Hingga kini, ia masih menjadi pelatih renang di sela-sela kesibukannya.

Memaknai Tiap Kejadian

Menerima chat dari sang adik, Z merasa terlempar kembali pada pulau sejuta perasaan. Ia kembali mengenang dan mengingat masa perjuangannya dulu. Baginya, setiap orang punya lintasan kehidupan, punya jejak kenikmatan yang hanya ia yang bisa melaluinya.

Begitu pula dengan adiknya sekarang. Menikah di usia yang tidak lagi muda adalah tantangan tersendiri dan bentuk syukur kepada Allah Swt. Berterima kasih pada-Nya masih diberi jodoh dan pahala ibadah bersama suami.

Mungkin sebelumnya, si adik sibuk membantu dan menolong keluarga, kini gilirannya menempuh ibadah lain bersama suaminya. Semuanya tentu akan indah bila setiap diri mampu memaknai jalan hidup masing-masing.

Seperti kisah Z. Mungkin saat itu orang hanya berpendapat bahwa anak adalah segalanya bagi kehidupan pernikahan. Tapi bagi Z, ia merasa banyak karunia karena diberikan waktu yang banyak untuk mengenal suaminya. Ia sangat bersyukur bisa melakukan kegiatan positif yang tidak hanya menghasilkan uang tapi juga menciptakan kedamaian dalam dirinya. Selain itu, ia mendapat anugerah untuk mempelajari kembali tentang anak muridnya sebagai bekal ia mendidik anak kandungnya kelak.

Akhirnya, terlalu banyak kejadian bermakna yang tidak mungkin dilewatkan hanya karena pertanyaan, “Sudah hamil?”.

Editor: Imam Basthomi

Bagikan
Exit mobile version