Site icon Inspirasi Muslimah

Kitab Kuning dan Relasi Wacana Kearifan Perempuan

kearifan perempuan

Secara mendasar dan singkat, wacana relasi perempuan yang terdapat dalam kitab-kitab pesantren memiliki paradigma dan konsep patriarkis. Yaitu sebuah cara pandang yang menempatkan posisi kaum Adam sebagai penguasa tertinggi dalam pergaulan sosialnya antara laki-laki dan perempuan. Hampir sebagian besar pola kehidupan perempuan yang diatur, semata-mata hanya untuk memenuhi kepentingan laki-laki.

Inilah yang kemudian terjadinya superioritas antara laki-laki dan perempuan. Adanya superioritas ini tidak hanya di ruang keilmuan, tetapi juga meliputi dalam berbagai ranah kehidupan, dan urusan, seperti rumah tangga,  ruang sosial-politik maupun dalam ruang yang lain. Asumsi yang sejak puluhan bahkan ratusan tahun ini tentu membawa garis pergerakan dalam dimensi sejarah perempuan.

Adanya prinsip dan kesenjangan dalam konsep kehidupan perempuan, tak lepas dari beberapa ajaran yang tentunya sebagian besar bersumber dari ajaran naskah atau kitab kuning yang selama ini menjadi pedoman hidup. Seperti ajaran yang sering kita dengar bahwa seorang istri wajib patuh kepada suami, istri wajib melayani suaminya, dan suami boleh memukul istri. Ajaran tersebut tertera dalam kitab Uqudul Lujain karya Syaikh Nawawi al-Bantani, yang di dalamnya sebagian besar menerangkan seputar pandangan-pandangan berbasis gender.

Mengamati fenomena ini, tentu akal dan logika kita akan tertuntun pada sebuah ajaran pesantren yang memiliki otoritas tinggi dalam pengajaran kitab kuning. Namun dalam matan kompleks, adanya kesenjangan ini memberikan ungkapan bahwa norma kehidupan perempuan dalam batasan laki-laki. Secara tidak langsung hal ini memberikan pertanyaan bagaimana dasar hukum dan norma perempuan bersandari?

Sebelum pembahasan lebih lanjut, saya ingin memberikan gambaran sedikit. Bahwa adanya patriarkis dalam ajaran kitab kuning, tidak semata-mata menurunkan nilai dan citra perempuan sebagai primadona dan berlian yang harus kita muliakan. Hal ini karena ajaran yang dituangkan bersifat mendidik sebagai bentuk dari makna kehidupan.

Berbicara soal hukum dan norma, Kh. Husein Muhammad menjelaskan bahwa diksriminasi gender yang selalu didasarkan pada akar relasi kekuasaan yang timpang yang dibakukan oleh pemikiran manusia. Dalam hal ini, kitab Uqudul Lujain memberikan landasannya pada al-Qur’an surah an-Nisa ayat ke 34.

Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka)…..”. (Qs. an-Nisa: 34)

Menurut Syaikh Nawawi al-Bantani, mengutip pendapat  para ulama klasik lainnya berpendapat, laki-laki memang punya peran yang lebih tinggi dari pada perempuan. Hal ini terlihat bukan hanya dalam perannya sebagai pemimpin tapi juga bisa dilihat secara hakikat (fitrah atau kodratnya) maupun secara hukum agama.

Kesetaraan dan Kearifan Perempuan

Berbagai hal yang bersinggungan dengan gender tentu menjadi hal yang cukup rumit bila kita memandang dari satu hukum dan prespektif. Laki-laki dianggap lebih unggul karena perannya yang tidak pernah habis, dan perempuan juga demikian mempunyai hak yang sama dalam menjalankan realitas kehidupan ini. Namun yang perlu kita pahami, konsep kesetaraan bukan berarti seluruhnya harus setara dengan laki-laki. Tetapi menempatkan posisi yang layak dan hak yang sama dalam pergaulan sosial, budaya, politik, dan agama.

Tidak mengunggulkan satu sama lain dalam berbagai peran, karna hakikatnya memiliki porsi masing-masing. Perempuan hari ini tentu jauh lebih produktif karena bersentuhan dengan adanya perkembangan zaman yang membawa arus kehidupan semakin kompleks. Hari ini perempuan bukan lagi diam di rumah, lebih dari itu identitasnya sebagai ibu kini merangkap berbagai peran. Bisa menjadi ibu, wanita  karir, pendidik, dan lain sebagainya.

Langkah demi langkah kesetaraan ini mulai terlihat dan menghiasi berbagi aspek dalam kehidupan. Perannya sebagai wanita tentu tidak akan pernah hilang dalam diri perempuan itu sendiri. Karena kearifan perempuan sejatinya menjadi Ibu yang mendidik anak-anaknya dengan rasa dan kasih sayang yang amat besar. Karenanya konsep perempuan masa lalu lebih banyak berperan sebagai ibu dibandingkan mengakses diri.

Mereka beranggapan bahwa perannya sebagai ibu dan mengurus rumah tangga adalah sudah lebih dari cukup. Karena dalam hal yang lain suami telah mencukupinya. Asumsi ini yang diajarkan dan tertuang dalam kitab kuning. Karena setiap laki-laki yang menikahi perempuan secara sah menjadi tanggung jawab sepenuhnya baik jasmani maupun ruhani.

Dengan demikian, kehadiran ajaran masa lalu (kitab kuning) tidak menghilangkan nilai kehormatan perempuan sebagai makhluk yang mulia. Meskipun dalam beberapa hal ajarannya dianggap sebagai diskriminatif atau mengandung patriarki. Namun itu semua membangun nilai kearifan perempuan yang sampai hari ini tidak akan pernah hilang. Karena peran ini akan terus hadir mengiasi kehidupan perempuan dalam berbagi ruang sosial-politik dan agama.

Bagikan
Exit mobile version