Site icon Inspirasi Muslimah

Hukuman Pinangki Jadi Klaster Baru Persoalan Perempuan

pinangki

Beberapa waktu belakangan ini, publik ramai memperbincangkan putusan pengadilan terhadap Pinangki; yang sekarang menjadi mantan jaksa atas tuduhan kasus suap, pencucian uang, dan persengkokolannya dengan MA atas kasus Djoko Candra.

Mulanya, tuntuan yang diajukan adalah 10 tahun penjara dan denda Rp 6.00 jt. Setelah melalui proses banding, hukuman terhadap pinangki kemudian dipangkas menjadi 4 tahun penjara dan denda Rp 600 jt. seperti yang termuat dalam putusan MK; “menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan denda sebesar Rp600.000.000,- (enam ratus juta rupiah). Dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan”, Putusan PT Jakarta 10/PID.TPK/2021/PT DKI.

Salah satu pertimbangan yang hakim banding sampaikan adalah karena pinangki saat ini tengah menjadi ibu dari seorang balita berusia 4 tahun. Padahal tidak ada dalam Undang-Undang manapun yang mengatur tentang pemangkasan hukuman terhadap seorang perempuan yang sedang menjadi ibu dari bayi umur balita.

Hal ini mengundang keramaian di kalangan publik terutama di media sosial, banyak satir yang beredar mengenai hal itu. Terlebih lagi, hasil suap dan pencucian uang dihabiskan salah satunya dengan untuk operasi kecantikan dan dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan tersier seperti mobil.

Tinjauan Perspektif Gender

Jika meninjau perspektif gendr; pertimbangan MK atas pemangkasan hukuman pinangki tentu saja tidak dapat diterima. Gender pada dasarnya merupakan konsep yang disematkan pada perempuan maupun laki-laki berdasarkan konstruksi sosial maupun kultural.

Misalnya perempuan itu lemah secara fisik, sedangkan laki-laki kuat dan perkasa. Padahal sifat lemah tidak hanya milik perempuan, dan sifat kuat serta perkasa juga bisa menjadi milik perempuan.

Tahun 1980-an, gender berhasil menjadi bagian dari diskusi perihal perubahan sosial maupun dunia kerja. Misi yang dibawa adalah keadilan gender bagi perempuan dan laki-laki; di mana sifat yang disematkan pada perempuan maupun laki-laki seperti yang terungkap di atas tidak boleh menjadi konstruksi yang permanen apalagi dianggap sebagai kodrat.

Namun, persoalan perempuan yang dikemas dalam kajian gender sering mendapat perlawanan; baik itu dari laki-laki maupun perempuan itu sendiri. Karena membahas persoalan status perempuan, berarti memperdebatkan struktur sosial yang sudah lama dibangun.

Dalam tinjauan isu yang lebih luas, diskursus gender kemudian banyak membahas status perempuan di ranah publik; yang selama ini terperangkap dalam stigma bahwa perempuan hanya boleh di rumah saja. Sehingga keadilan gender terus digaungkan bahwa perempuan layak untuk tampil di publik sesuai dengan kemampuan dan kapasitas yang dimiliki tapa ada unsur paksaan maupun larangan dari pihak manapun.

Berdasarkan uraian di atas, kampanye gender bertujuan meperjuangkan keadilan bagi perempuan untuk mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki. Lainnya adalah bahwa sifat yang dapat ditukarkan tidak bisa dijadikan sebagai kodrat.

Lebih khusus di Indonesia yang merupakan negara hukum, hak asasi manusia dijamin oleh konstitusi tanpa membedakan jenis kelamin antara perempuan maupun laki-laki. Jika konstitusi menjamin hak asasi manusia tanpa memandang jenis kelamin; maka penerapan hukuman atas suatu kejahatan seharusnya diberlakukan sama tanpa memandang jenis kelamin pula. Hal ini seharusnya berlaku pada kasus Pinangki.

Pinangki, Klaster Baru Masalah Perempuan

Pemangkasan hukuman terhadap pinangki bisa menjadi penyebab munculnya klaster baru persoalan perempuan.

Pertama, adanya kecenderungan perempuan untuk mengharapkan belas kasihan untuk dilindungi dari hukum dengan alasan tertentu misalnya sedang menjadi ibu dari bayi usia balita seperti piangki.

Kedua, hal ini tentu akan menciptakan kegaduhan di kalangan perempuan yang sedang menjadi ibu dari bayi usia balita. Mereka akan beranggapan bahwa tidak menjadi persoalan apabila melakukan kejahatan karena akan dipangkas hukumannya.

Keadilan gender tidak boleh hanya menuntut untuk diperlakukan sama dan mendapatkan hak untuk tampil di ranah publik; maupun peran kehidupan lainnya, misalnya. Tapi juga harus berani untuk diperlakukan sama jika melakukan suatu kejahatan maka harus dihukum sebagimana mestinya.

Terlebih lagi kelakuan Pinangki yang menghabiskan kekayaan dari hasil suap dan pencucian uang untuk kecantikan sangat menciderai perjuangan perempuan di luar sana untuk menjadi independent woman yang memenuhi keinginan mereka tanpa harus mengambil hak orang lain.

Bagikan
Exit mobile version