Site icon Inspirasi Muslimah

Dunia yang Merindukan Ayah

merindukan ayah

Fatherless, father absence atau father hunger, istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan ketiadaan peran ayah baik secara fisik maupun psikologis. Salah satu penyebabnya adalah paradigma pengasuhan yang dipengaruhi budaya lokal. Stereotip yang berkembang di masyarakat adalah pengasuhan terfokus pada ibu, sedangkan laki-laki hanya terfokus pada mencari nafkah dan memberi izin untuk menikah.

Imbas dari budaya patriarki yang mengakar sejak lama. Kini, masih belum banyak yang sadar dan paham akan pentingnya peran ayah dalam proses pengasuhan anak. Selain pengaruh budaya lokal tersebut, fatherless juga dapat terjadi karena perceraian orang tua, permasalahan pada pernikahan orang tua, kematian ayah, atau ayahnya yang bekerja di luar daerah (Fajarrini & Umam, 2023).

Berbicara soal perceraian, fenomena perceraian para public figure tengah menjadi buah bibir masyarakat. Bahkan pasangan suami istri yang tampaknya adem ayem pun akhirnya bercerai. Peristiwa tersebut tentu menjadi alarm dan pembelajaran bagi kita semua, baik pasangan suami istri atau anak muda yang belum menikah terkait dengan esensi dari pernikahan itu sendiri. Pasalnya, menikah bukan hanya perihal senang-senang atau sekedar memenuhi hawa nafsu semata. Menikah merupakan ibadah terpanjang. Oleh karenanya, perlu persiapan yang matang untuk menjalankannya. Jika salat yang biasanya membutuhkan waktu 5-10 menit saja perlu persiapan, apalagi pernikahan yang akan dijalani seumur hidup.

Laporan Statistik Indonesia menyebutkan bahwa kasus perceraian di Indonesia pada tahun 2022 mencapai 516.334 kasus. Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2021 yang mencapai 447.743 kasus. Kasus perceraian ini tentu tidak hanya berdampak pada berpisahnya suami dan istri semata. Ketika pasangan suami istri ini sudah mempunyai anak, peningkatan kasus perceraian tersebut tentu akan menambah daftar panjang anak-anak yang mengalami fatherless.

Amirulloh (2015) menyebutkan bahwa keluarga adalah lingkungan pertama dan utama dalam proses pembentukan kepribadian anak. Selaras dengan itu, Sundari & Herdajani (2013), kuatnya kepribadian anak merupakan hasil dari pengasuhan dan penanganan yang baik dari kedua orang tuanya. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa perceraian arau ketidakseimbangan peran orang tua dalam proses pengasuhan akan berpengaruh pada kepribadian anak.

Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa mengatakan bahwa Indonesia menduduki nomor 3 di dunia sebagai negara fatherless. Selaras dengan hal tersebut, Munjiat (2017) menyebutkan bahwa dunia sedang kehilangan seorang ayah. Tidak hanya di Indonesia, fatherless juga terjadi di Inggris, Portugal, Afrika, Belanda, Finlandia, Amerika dan Australia. Jika kasus fatherless di Indonesia terjadi karena paradigma pengasuhan yang dipengaruhi budaya lokal, di negara-negara barat fatherless diakibatkan karena pasangan yang tidak menikah tapi sudah memiliki anak (Amin, 2020).

Peran ayah dan ibu sama pentingnya dalam proses pengasuhan anak. Pengasuhan ayah memiliki karakteristik yang berbeda dalam proses pengasuhan, begitupun dengan pengasuhan ibu. Pengasuhan ayah mampu memberikan hasil positif pada anak seperti keberanian, ketegasan, kemandirian, pemecahan masalah, serta penyayang. Sedangkan hasil negatif yang terjadi ketika tanpa pengasuhan ayah adalah anak memiliki kemampuan akademis yang rendah, tidak percaya diri, bahkan bagi anak laki-laki dapat memicu hilangnya sifat maskulinitas (Fajarrini & Umam, 2023).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Winarko, orang yang memiliki sifat egois, mudah putus asa, kejam, dll. kebanyakan mereka mengalami kekurangan kasih sayang dari seorang ayah semasa masih anak-anak. Selain itu, ketidakhadiran ayah dalam proses pengasuhan akan mengakibatkan anak memiliki harga diri yang rendah ketika dewasa. 

Melihat begitu banyak dampak negatif yang terjadi ketika seorang anak tidak mendapatkan peran pengasuhan dari ayah, maka fenomena fatherless ini perlu mendapatkan perhatian khusus. Banyak hal yang kiranya harus dibenahi agar tidak semakin banyak anak yang merasakan fatherless dan proses pengasuhan menjadi optimal serta dapat mencetak generasi yang berkualitas di masa mendatang. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meminimalisir fatherless pada anak:

1. Selektif dalam memilih calon suami

Mungkin ini terdengar terlalu dini. Tapi realitanya adalah seorang anak tidak bisa memilih akan memiliki ayah seperti apa. Oleh sebab itu, sebagai perempuan perlu selektif dalam memilih calon suami yang sekaligus calon ayah bagi anaknya nanti.

2. Paham dengan fungsi dan peran dalam rumah tangga

Selain selektif dalam memilih calon suami, perlu kiranya saling memahami fungsi dan peran dalam rumah tangga. Berikut dengan kodrat laki-laki, kodrat perempuan, tugas suam/ayah, tugas istri/ibu, dan kedudukan manusia di hadapan Allah Swt. Sebelum melangkahkan diri dalam sebuah pernikahan, harusnya sudah tuntas pemahaman mengenai hal tersebut. Insyaallah akan meminimalisir perselisihan terkait dengan tugas-tugas kerumahtanggaan. Salah satu kalimat yang penulis temui di media sosial berbunyi “Banyak yang siap untuk menjadi pengantin. Tapi tidak banyak yang siap menjadi suami atau istri”.

3. Quality time bersama anak

Solusi untuk ayah yang sibuk bekerja adalah quality time bersama anak. Hal tersebut akan meningkatkan hubungan emosional antara ayah dan anak. Selain itu, dengan quality time ini akan membuat ayah belajar memahami karakteristik anaknya bahkan sesekali dapat memberikan nasihat pada anaknya yang mungkin kurang pas jika disampaikan oleh ibunya. Si ibu atau istri dapat menjadi alarm atau pengingat juga agar suami atau si ayah bisa quality time dengan anaknya. Quality time ini juga dapat dilakukan untuk orang tua yang sudah bercerai.

Demikian yang dapat penulis sampaikan. Bukan perkara mudah untuk mendidik anak yang memiliki kepribadian baik nan kuat. Tidak hanya gizi yang seimbang, akan tetapi perlu juga pengasuhan yang seimbang dari kedua orang tua agar anak dapat tumbuh dan berkembang dengan sehat baik secara fisik maupun mental.

Referensi

Fajarrini, A., Umam, A.N.. (2023). Dampak Fatherless Terhadap Karakter Anak Dalam Pandangan Islam. ABATA: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini. 3 (1), hlm. 20-28.

Munjiat, S.M.. (2017). Pengaruh Fatherless Terhadap Karakter Anak Dalam Prespektif Islam. Al-Tarbawi Al Haditsah: Jurnal Pendidikan Islam. 2 (1), hlm. 108-116.

Sundari, A.R., Herdajani, F. (2013). Dampak Fatherless terhadap Perkembangan Psikologis Anak. Prosiding Seminar Nasional Parenting 2013, hlm. 256-271.

Bagikan
Exit mobile version