Site icon Inspirasi Muslimah

Disleksia, Membaca Dunia dengan Cara Unik

membaca disleksia

Seorang anak membutuhkan kemampuan membaca yang baik agar proses belajar berjalan lancar. Namun, ada kalanya anak mengalami kesulitan membaca karena munculnya  gangguan belajar. Disleksia menjadi salah satu bentuk gangguan belajar yang kurang dipahami baik oleh masyarakat. Padahal hasil penelitian menyebutkan bahwa disleksia menjadi salah satu gangguan belajar yang paling banyak ditemui.[1]

Disleksia merupakan sebuah gangguan belajar yang tidak tampak. Sehingga sering disalahartikan oleh guru maupun orang tua. Anak kemudian bisa dianggap kurang rajin, kurang berlatih, malas, dan sebagainya. Akan tetapi, sebenarnya tidak ada anak yang bodoh. Hanya saja setiap anak memiliki cara belajar yang unik. Lantas, apa sebenarnya arti dan penyebab disleksia? Apa saja tantangan yang dihadapi para penyandang disleksia? Kemudian bagaimana dukungan yang dibutuhkan oleh para penyandang disleksia?

Gangguan Belajar yang Spesifik

Dys dan lexis merupakan dua penyusun kata disleksia. Keduanya berasal dari bahasa Yunani. Dys memiliki arti “kesulitan untuk.” Sedangkan lexis artinya “huruf” atau “leksikal.”  Secara singkat, disleksia diartikan sebagai kesulitan belajar spesifik pada seseorang yang berhubungan dengan area berbahasa.[2] Penyandang disleksia disebut juga dengan disleksis.

Salah satu penyebab utama disleksia adalah faktor genetik. Disleksia bisa diturunkan dari generasi ke generasi dalam sebuah keluarga. Selanjutnya, faktor yang menjadi penyebab disleksia adalah neurologis. Sehingga dapat diartikan penyebabnya adalah gangguan pada otak (neurologis) yang terjadi karena faktor keturunan.[3]

Cara belajar penyandang disleksia berbeda dengan orang pada umumnya. Mereka memiliki ciri khas cara belajar yang cukup unik. Antara satu penyandang disleksia dengan lainnya juga memiliki kebutuhan yang berbeda. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa setiap penyandang disleksia memiliki cara kerja otak yang berbeda. Sehingga cara belajar klasik/konvensional tidak lagi sesuai diterapkan pada mereka.

Pada dasarnya manusia memiliki dua belahan otak yang asimetris. Bukti ilmiah menunjukkan bahwa belahan otak disleksis berbentuk simetris. Belahan otak kanan disleksis lebih besar dari orang lain pada umumnya. Sedangkan belahan otak kiri mereka lebih kecil dari orang pada umumnya. Otak kiri berkaitan dengan kemampuan berbahasa. Inilah yang akhirnya berpengaruh pada kemampuan mereka memproses informasi linguistik. [4]

Jumlah penyandang disleksia layak mendapatkan perhatian khusus. Secara statistik, disleksia terjadi pada lima hingga sepuluh persen anak di seluruh dunia. Sedangkan di Indonesia, jumlah penyandang disleksia belum dapat diketahui secara pasti.[5]

Tantangan Penyandang Disleksia

Penyandang disleksia menghadapi banyak tantangan internal maupun eksternal dalam proses belajar. Tantangan internal berupa gangguan genetis dari dalam diri. Sedangkan tantangan eksternal berupa feedback terhadap kesulitan mereka. Seperti feedback berupa tanggapan/reaksi dan stigma dari keluarga, sekolah serta lingkungan. Selain itu, juga terkait dengan tersedianya fasilitas diagnosis, terlebih sumber daya/tenaga ahli yang kompeten.

Secara garis besar, disleksia memiliki karakteristik kesulitan pada tiga hal, yaitu bahasa lisan, bacaan, dan tulisan. Dalam bahasa lisan, mengalami gangguan berupa kesulitan berkata-kata, mengikuti petunjuk maupun mendapatkan kosakata. Sedangkan dalam bacaan, gangguan berupa kesulitan mengeja, tidak dapat membaca cepat, hingga sulit membaca dalam hati maupun lisan. Dalam bahasa tertulis, penyandang disleksia mengalami kesulitan menyalin, menulis, serta mengoreksi.

Berdasarkan jenisnya, disleksia digolongkan dalam tiga tipe. Tipe pertama, yaitu disleksia diponesia. Disleksia jenis ini juga dikenal dengan dileksia fonologikal/auditori. Penyandang memiliki kesulitan mengenali bunyi fonetik. Kedua, disleksia disnemkinesia atau disleksia development. Pada tipe ini terjadi kesulitan dalam daya ingat dan pergerakan motorik. Ketiga, yaitu disleksia diseidesia atau disleksia visual. Kesulitan yang dialami berupa sulit membaca kata atau kalimat. Bahkan secara keseluruhan sulit menguraikan kata-kata.[6]

Berikut salah satu contoh tantangan yang dihadapi oleh penyandang disleksia visual dengan diagnosa Sindrom Irlen. Mereka berbeda dalam hal orientasi ruang, sehingga mereka memiliki masalah dengan dimensi ruang dan kedalaman. Dunia tampak datar di mata mereka. Misalnya, mereka tidak akan mendeteksi ketika orang lain memiliki hidung yang mancung.

Para penyandang Sindrom Irlen akan mudah terjatuh ketika berjalan, berpegangan erat saat naik turun tangga, dan sebagainya. Sebab, mereka kesulitan dalam mengenali kontur tanah yang naik turun dan tebing yang curam. Hingga gunung yang menjulang tidak dapat mereka tangkap dengan sempurna.

Ketika berhadapan dengan lembar membaca, penderita disleksia visual melihatnya sebagai kekacauan. Dalam pandangan mereka, semua tulisan bisa terlihat double dan berbayang, blurry (kabur), rivers (huruf kehilangan jarak/spasi pada kata satu dengan lainnya), shaky (huruf menari-nari atau bergoyang ke kanan dan ke kiri), washout (huruf tampak seperti meleleh), swirl (huruf seperti berkumpul di tengah), seesaw (huruf seperti berlari dan berloncatan, bahkan keluar dari batas kertas).[7]

Di Indonesia, pemahaman masyarakat terhadap disleksia masih kurang. Efek dari kurangnya pemahaman mengakibatkan terhambatnya diagnosis dini. Alhasil, penyandang disleksia tidak mendapat dukungan yang tepat. Selain itu, terbatasnya akses layanan pendidikan khusus bagi disleksia belumlah merata di seluruh wilayah Indonesia. Terlebih penyandang disleksia masih harus menghadapi stigma-stigma sosial.

Dukungan Terhadap Penyandang Disleksia

Cinta yang tulus dari orang tua dan dukungan keluarga serta lingkungan terdekat sangatlah berarti. Pemahaman yang baik terhadap kondisi penyandang disleksia akan memberi ruang toleransi. Deteksi dini dan penanganan yang tepat akan membantu penyandang disleksia mampu hidup dengan normal. Hal ini telah dibuktikan dengan keberhasilan para tokoh dunia penyandang disleksia.

Seorang penulis dan penyair ternama dari Denmark Hans Christian Andersen adalah seorang penyandang disleksia. Siapa sangka Alexander Graham Bell adalah seorang disleksis?

Tidak ketinggalan ilmuwan sekaligus seniman Leonardo Da Vinci serta ilmuwan besar abad 20, Albert Einstein adalah orang-orang penyandang disleksia. 

Maka asumsi-asumsi mengenai penyandang disleksia perlu diluruskan. Seperti anggapan bahwa penyandang disleksia itu tidak pintar, malas, dan lain sebagainya. Penelitian membuktikan bahwa disleksia tidak ada kaitannya dengan tingkat inteligensi. Bahkan beberapa penyandang disleksia terbukti memiliki tingkat inteligensi lebih tinggi dan melejit dibanding orang lain.

Pemahaman yang menyeluruh terhadap disleksia diharapkan dapat membantu para penyandangnya. Kasih sayang yang tulus serta dukungan dari lingkungan terdekat sangatlah berarti. Deteksi dini yang dilakukan dapat meminimalisir dampak buruk, sehingga mereka bisa hidup layaknya orang lain.

***


[1] Teguh Susanto, Terapi dan Pendidikan Bagi Anak Disleksia, (Yogyakarta: Familia, 2013), hal. 8

[2] Asosiasi Disleksia Indonesia, What is Dyslexia? Diakses pada 21 September 2023, 2019, hal tunggal

[3] Endang Widyorini dan Julia Maria van Tiel, Disleksia, (Jakarta: Prenada, 2017), hal 9

[4] Olivia Bobby Hermijanto dan Vica Velentina, Disleksia, (Bukan Bodoh, Bukan Malas, tetapi Berbakat! (Jakarta: Gramedia, 2016), hal 37

[5] Teguh Susanto, Terapi dan Pendidikan Bagi Anak Disleksia, (Yogyakarta: Familia, 2013), hal. vi

[6] Olivia Bobby H. dan Vica V., Op.cit., hal 44-45.

[7] Olivia Bobby H. dan Vica V., Ibid., hal 54-67

Bagikan
Exit mobile version