Site icon Inspirasi Muslimah

Desa Wisata dalam Perspektif Urban dan Pemberdayaan Desa

desa wisata bluru

Siang itu, kami kedatangan rombongan tamu dari Desa Bluru Rembang Jawa Tengah. Rombongan berjumlah 22 orang, terdiri dari ibu-ibu, 1 balita, dan 2 orang laki-laki; mereka mengendarai elf long kapasitas 16-19 penumpang dengan waktu tempuh 5 jam tiba di Sidoarjo. Kami sekeluarga memang sedang berbahagia kehadiran cucu pertama, namun kedatangan tilik bayi tersebut cukup mengejutkan karena tanpa pemberitahuan sebelumnya.

Kondisi tersebut membuat kami sekeluarga cukup pontang-panting tanpa persiapan, sekelumit kata terlontar dari seorang nenek; “Mohon maaf kami sengaja tidak memberitahu karena takut merepotkan.” Tidak lama kemudian dikeluarkanlah puluhan kantong plastik berisi beras, gula, rinso, daia, wings, dll. Nenek Disa, melanjutkan, “Ada titipan 7 kantong plastik dari ibu-ibu yang mendadak berhalangan ikut.”         

Setelah rombongan masuk, mereka buru-buru menuju kamar mandi untuk buang air kecil, cuci tangan, muka dan kaki. Secara bergantian mereka menyaksikan cucu kami sambil sesekali mengusap pipi bayi laki-laki menggemaskan, bahkan seolah tanpa mempedulikan kami mempersiapkan apa yang hendak kami sajikan. Tina, salah seorang anak balita tampak pucat karena muntah-muntah selama perjalanan; setelah mengetahui kami bingung buru-buru bapaknya mengajak keluar rumah untuk cari udara segar.

Setelah beberapa saat bapak tadi belum kembali, saya susul keluar rumah dan tiba-tiba Tina dan bapaknya sedang makan bakso yang kebetulan lewat depan rumah kami. “Mungkin anak tadi kelaparan?” gumamku. Setelah tersaji minuman ringan ala kadarnya, saya inisiatif pergi mencari warung yang buka untuk beli nasi kotak, dan setelah kotak ke-25 terbungkus bergegas saya pulang. Di perjalanan berpapasan dengan tukang bakso tadi sambil memanggul dua kotak kaca yang telah habis mie dan baksonya.

Beberpa waktu berlalu, Nek Disa dan rombongan memohon pamit untuk pulang mengingat waktu perjalanan pulang masih panjang. Setelah bersalam-salaman mereka pun meluncur pulang dengan kendaraan yang mereka tumpangi tadi. Kami sekeluarga saling celinguk bertatapan muka setelah tersadar kita tidak membawakan oleh-oleh balikan kepada mereka. “Yach…semuanya serba mendadak tapi apa adanya.” batinku dengan penuh keheranan.

Cerita di atas hanyalah sekelumit perilaku orang desa yang langka ditemui lagi di tengah masyarakat patembayan akhir-akhir ini. Semangat sumadulur (mengaku saudara) yang demikian tinggi meskipun kami belum saling mengenal sebelumnya, tapi mereka tetap respek tanpa basa-basi. Tanpa basa-basi terlihat dari kerelakan mereka untuk memberikan sesuatu yang diperoleh dengan susah payah selama berbulan-bulan dengan tanpa harapan kembalian.

Desa Bluru, sangat mungkin mewakili desa-desa lain di Indonesia yang masih menomorsatukan guyub rukun, ewuh pakewuh, apa adanya, dan menyerahkan segala yang mereka punya kepada setiap orang yang sedang butuh maupun tidak. Pastinya, mereka tidak mau mengukurnya dengan uang; meskipun kami yang kebetulan tinggal di kota ini tanpa kita sadari suka berhitung yang kita berikan harus setimpal dengan pemberian mereka. Mereka tidak mempedulikan kedudukan kita, mereka lebih memilih kita sebagai sesama manusia yang sederajat, karena Allah Swt. hanya membedakan amal perbuatannya.

Mereka akan mendahului menyapa duluan meskipun tidak kenal, tradisi ini sempat saya praktekkan di awal-awal saya tinggalkan kampung halaman; tapi mimik muka datar justru kita terima, dan lama-kelamaan saya pun terbiasa berlaga tidak kenal ketimbang dikira sok kenal. Hehehe. Itulah fenomena yang sering saya temui di beberapa perkotaan yang pernah kami diami selama berdinas; nyatanya sopan santun, tepo seliro hanya menyisakan impian sulit diwujudkan.  

Desa Wisata untuk Menahan

Tina, memang masih sangat belia. Tapi, meskipun dia sedang lapar setelah 5 jam isi perutnya keluar karena mabuk perjalanan; Tina tidak merengek dan orang tuanya tanggap situasi kami, mereka memilih beli bakso di luar untuk segera mengisi perutnya. Ungkapan apa adanya tanpa perlu jaga image tidak sengaja terpamerkan tanpa tuan rumah merasa terbebani, dan rasanya hari itu kami banyak belajar dari Tina.

Di luar dari permasalahan di atas, saya melihat kota dan desa merupakan dua entitas yang secara kewilayahan memiliki hirarki saling membutuhkan. Maraknya ketersediaan lahan sawah maupun kebun semakin menyempit di desa mendorong pemuda-pemudi desa berbondong-bondong urban ke kota untuk mendapatkan peluang bekerja. Pada titik ini yang semestinya mendapat perhatian lebih.

Langkah Kemenparekraf RI menetapkan Desa Wisata Terbaik skala Nasional patut kita acungi jempol. Secara pribadi saya berharap program tersebut dapat menahan laju pergerakan pemuda-pemudi desa ke kota. Kuncinya adalah keterlibatan yang lebih dominan warga desa terhadap program pemberdayaan tersebut. Rasanya hal ini justru mendorong warga kota tidak perlu jauh-jauh ke Singapura untuk menonton suasana pedesaan secara teknologi karena memiliki desa-desa yang lebih orisinil.

Orang kota butuh hiburan dan orang desa perlu pekerjaan, orang kota punya uang dan orang desa punya sumber daya. Nenek Disa dan adik Tina akan berbahagia melihat kolaborasi seperti ini. Nenek Disa bisa mendapatkan wings, daia, gula dll di kota dengan murah, dan adik Tina akan lebih nyaman selama perjalanan karena jalan telah teraspal semua dan tidak macet. Intinya mereka tidak akan merasa asing mendatangi perkotaan, dan segera kembali ke desa karena tenaga pikirannya dibutuhkan.    

Sampai di sini saya cukup sepakat, tidak perlu kita mempertentangkan paguyuban dengan patembayan; setelah kita tahu dengan mengelaborasi kedua kepentingan bagi kemajemukan sebuah bangsa yang paling hakiki. Ujung-ujungnya pangejawantahan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” melingkupi seluruh sendi kehidupan desa kota semakin mendekati kenyataan.

Bagikan
Exit mobile version