Site icon Inspirasi Muslimah

Cinta Ifah untuk Ibu

ibu

Wurry-Srie-2

Senin pagi nan cerah dengan pancaran sinar mentari hangat menyegarkan, menerobos sela-sela dinding kayu kamar Ifah yang mulai mengkerut dimakan usia. Jendela kamar buru-buru dibuka demi menghirup udara segar sebelum terkontaminasi oleh asap knalpot kendaraan orang-orang yang lalu lalang menjemput rejeki dan atau melaksanakan tugas negara.

Sudah dua hari dua malam ibunya terjaga dan tidak mau tidur. Suhu badannya normal, bila ditanya apanya yang sakit, dia hanya tersenyum tipis sambil menggeleng. Entah yang ke berapa kali mengalami seperti ini. Tidak mau tidur tapi bibirnya selalu komat-kamit melantunkan ayat-ayat suci yang pernah dia hafal. Butir-butir biji tasbih tak pernah ia lepas dari tangannya yang kian keriput dan kurus.

Sebelum berangkat ke sekolah tempat Ifah bekerja sebagai tenaga TU di sebuah SMP swasta tak jauh dari rumah, ia harus membereskan segala urusan ibu dan urusan rumah lebih dahulu. Dari mulai bersih-bersih, menemani ibu mandi kalau pas tidak mogok mandi sampai menyediakan sarapan dan beres-beres pekerjaan rumah lainnya.

“Bu, aku berangkat dulu ya, jam istirahat nanti aku pulang sebentar.”

Ifah pamit sambil mencium tangan ibunya dengan lembut sedangkan yang dipamiti hanya mengangguk dengan tatapan kosong lurus ke depan. Setiap hari Ifah lakukan itu setelah yakin ibunya bisa ditinggal karena selama ini ibunya selalu di rumah belum pernah ngeluyur ke mana-mana.

Tumpukan map dan beberapa lembar kertas masih rapi di meja ketika ia tiba di ruang TU pagi itu. Ia ingat semua tugas sudah diselesaikan kemarin karena ia tak suka menunda-nunda pekerjaan. Meskipun rutinitas pagi Ifah seabreg dimulai dari bangun tidur, namun tak sedikitpun mampu membuatnya lupa atas kata-kata Fauzan, kekasihnya, beberapa hari lalu yang sangat mengiris hati. Sakit tak terperi.

*

“Hih, amit-amit, makanya kalau belajar di pondok pesantren itu jangan terlalu serius, sesuai kemampuan saja biar tak oleng otaknya,” nyinyir salah seorang  tetangga ketika melihat ibu Ifah mulutnya merapal hafalan ayat-ayat suci di teras rumah suatu sore.

“Semoga Ifah diberi kesabaran, sejak kecil dia sudah mendapat ujian seberat itu. Mungkin bila ditangani oleh ahlinya, ibu Ifah masih bisa sembuh normal seperti semula.” Tetangga lain yang lebih toleran mengomentari sekaligus mendoakan karena para tetangga sebenarnya tidak tahu apa penyebabnya, kalau toh seolah tahu, itu hanya dugaan saja.

Banyak tetangga sekitar yang mengatakan ibu Ifah terkena gangguan mental karena terlalu serius dalam mengkaji salah satu kitab tertentu ketika di pondok pesantren semasa gadis. Ada lagi yang bilang ibu Ifah tak kuat dengan ilmu yang tengah dipelajari di kitab tersebut dan dugaan-dugaan lain yang memojokkan sehingga makin membuat ibunya tertekan.

Para tetangga berpendapat demikian  karena hampir setiap “kambuh” ibunya mengaji terus menerus, kadang hafalan kadang sambil membawa mushaf. Tapi ada yang menarik dari ibu Ifah, meski sambil mengaji atau menghafal di teras depan rumahnya, bila kebetulan ada yang lewat tak luput dari sapaan ramah darinya. Mau kemana atau dari mana selalu diucapkannya sambil tersenyum.

*

Bila keadaan sedang baik-baik saja, ibu Ifah juga seperti ibu-ibu yang lain. Belanja di tukang sayur, menyapu halaman dan menjemur pakaian. Hanya saja bila kondisi kurang baik, dia seperti tak peduli dengan sekitar. Memakai mukena sepanjang hari atau sebaliknya kadang terlihat hanya memakai pakaian dalam alias bikini sambil duduk di samping rumah. Para tetangga sudah hafal dengan keadaan ini dan mereka sebagian diam sebagian prihatin.

Hampir semua warga seakan sepakat menyebut ibu Ifah sebagai orang yang sedang terganggu mentalnya. Ifah tahu itu dan dia tidak pernah malu bahkan semakin menyayangi ibunya yang menjanda saat Ifah usia TK. Tragisnya ayah Ifah justru menceraikan istrinya di saat mulai terlihat ada tanda-tanda ibu Ifah mengalami gangguan jiwa.

Usai melahirkan Ifah, ibunya masih sehat dan baik-baik saja hingga suatu hari dipergoki oleh suami, dia ngomong sendiri sambil tertawa-tawa. Meski tawanya lirih tapi sudah jelas hal itu terlihat ganjil di mata suami. Bukan dicari bagaimana solusinya, suami malah pulang ke orang tua sambil membawa Ifah yang masih merah.

Karena jarak rumah nenek dan rumah ibu Ifah yang cukup dekat membuat ibu Ifah menyusul bila kangen putrinya. Pengawasan ketat dari keluarga suami yang takut terjadi sesuatu terhadap bayi Ifah, membuat ibunya tak memiliki kebebasan meski dalam keadaan baik-baik saja. Ini cukup membuat batinnya menderita dipisahkan dengan putri satu-satunya.

*

Saat Ifah berusia sepuluh tahun, sang ayah berpulang karena gagal ginjal. Ifah kecil sedih tak terkira. Mau lepas dari nenek lalu menemani sang ibunda, dia masih terlalu kecil. Akhirnya dengan kesepakatan keluarga ayahnya, Ifah tetap menemani ibunya dengan catatan dalam pengawasan keluarga ayah.

Ikatan batin antara ibu dan anak tak mungkin bisa dihalangi dengan sekat apapun. Makin hari Ifah makin sayang terhadap ibunya. Apalagi ketika ia kembali bersama ibunya, ibu Ifah tampak baik-baik saja, normal seperti ibu-ibu yang lain. Banyak yang mengatakan ibunya sudah “sembuh”. Mengaji Al-Qur’an tetap setiap hari dan sudah komunikatif lagi hingga Ifah lulus SMK.

Atas kemurahan hati Bapak Kepsek SMP swasta di dekat rumah dan melihat potensi yang dimilikinya, Ifah bekerja sebagai TU di sekolah tersebut. Ifah merasa bahagia dan bersyukur karena tempat kerjanya dekat dengan rumah sehingga masih bisa memantau sang ibu. Sampai pada suatu hari ada seorang tetangga yang tampaknya tidak suka melihat Ifah bahagia.

“Dengar-dengar si Fauzan putra juragan sembako mau melamar Ifah? Apa tidak takut nanti anaknya punya gangguan mental?” Bu A yang biasa nyinyir bertanya kepada teman anggota kelompok rumpi seolah tak butuh jawaban dan tahu banyak apa yang akan terjadi.

*

“Apa bisa menurun to, Bu? Kan ibu Ifah sudah sembuh?” Salah satu ibu menjawab dengan muka serius karena yakin gangguan mental bisa disembuhkan.

Hampir setiap hari ada saja ibu-ibu yang membahas tentang kedekatan Ifah dan Fauzan. Mereka berdua sama-sama anak tunggal, yang membedakan adalah Fauzan bergelimang harta sedang Ifah tidak. Menjalin kasih selama dua tahun tak membuat Fauzan yang kolokan itu tambah dewasa. Dia tetap manja dan selalu bergantung pada orang lain.

Ifah sudah mencium gelagat hubungannya dengan Fauzan tak kan berlangsung lama. Bukan hanya karena bisik-bisik tetangga yang tidak suka tapi juga karena kata-kata Fauzan yang acap kali mencerminkan tidak gentle alias pengecut.

“Ifah, maafkan aku, ya. Hubungan ini terpaksa kita akhiri sampai di sini. Kau tahu kan, aku satu-satunya harapan orang tuaku?” Enteng sekali dia mengatakan itu tanpa ekspresi, datar dan dingin.

Ifah menerima keputusan yang sepihak itu dengan sabar dan legowo. Dia tahu diri dan tak ingin larut dalam kepedihan hati hanya karena berpisah dengan sang kekasih. Tetapi rasa perih di hatinya bertambah dan menjadi sempurna ketika Fauzan sempat berkata kelak tak ingin memiliki keturunan yang terganggu mentalnya seperti ibu Ifah. Hati Ifah mendidih hingga melebihi titik didih yang sesungguhnya.

*

Suasana hati yang tidak menentu membuat Ifah kurang fokus dengan pekerjaan. Berkali-kali ia melirik jarum jam karena hati dan pikirannya ada di rumah.

“Mbak, Mbak Ifah, pulang dulu! Ibumu tergeletak di teras rumah dan pingsan!” Azizah, tetangga Ifah menyusul ke sekolah sambil menarik paksa tangan Ifah untuk berdiri. Tanpa mengabaikan para tetangga yang berdatangan di rumah, dia peluk ibunya sambil terisak, dadanya serasa tercabik-cabik. Dia berjanji dalam hati sampai kapanpun akan tetap menjaga, menemani sang ibu dengan sepenuh cinta dan sepenuh kasih. Hanya itu yang mampu ia persembahkan untuk ibunda tercinta tanpa harus memikirkan diri sendiri, ada atau tidak yang kelak mau mendampingi.

Bagikan
Exit mobile version