f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
akademik

Ceruk Keahlian Akademik di Tengah Tangguhan Ekonomi

 Di tengah berlimpahnya informasi sekaligus berbagai persoalan yang terjadi dunia, nasional, dan lokal, kedisiplinan dalam ilmu sosial dan humaniora merupakan kategori ketat yang kini dipertanyakan batas-batasnya. Ini karena, sejumlah persoalan tersebut lagi bisa dijawab oleh satu persoalan dalam disiplin ilmu tertentu. Sebaliknya, interdisipliner dalam ilmu sosial dan humaniora merupakan pilihan yang harus diambil di tengah kebutuhan untuk melihat dalam ragam lensa dalam menjawab persoalan yang terjadi di masyarakat.

Namun, di tengah upaya melemahkan tembok-tembok kedisiplinan dalam ilmu sosial, upaya untuk menjaga kategori masing-masing disiplin itu, dalam beberapa hal tetap menjadi bagian penting untuk menguatkan otoritas pengetahuan. Memang, saat ini muncul Kajian Wilayah (Areas Studies), di mana interdisipliner dalam kajian ilmu sosial menjadi bagian penting apabila ingin meriset satu wilayah.

Namun, harus diakui, kebanyakan yang setuju terhadap Kajian Wilayah ini adalah para sarjana yang memiliki otoritas keilmuwannya di bidang disiplin ilmu sosial dan humaniora masing-masing. Lebih jauh, kategori disiplin dalam ilmu sosial membentuk semacam identitas kesarjanaan seseorang. Mengetahui ceruk keahlian melalui disiplin ini membuat saya terlambat untuk mendalaminya di tengah jalur formal pendidikan tinggi saya yang terasa gado-gado.

Saat Strata Satu (S1), saya mengambil jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI), Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga. Berbeda dengan S1, saat mengambil Pascasarjana (S2), saya mengambil Kajian Budaya di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Alih-alih mengambil jurusan yang sama, saya mengambil S2 dengan program dual master yang justru berbeda lagi, yaitu Ilmu Politik di kampus Ateneo De Manila dan Hubungan Internasional (HI) di University of Peace, Costa Rica. Karakteristik gado-gado ini kembali saya gunakan saat mengambil S3 di Kajian Melayu yang masuk dalam Kajian Wilayah.

Baca Juga  Jika Tuhan Mahakuasa Kenapa Manusia Menderita?

Memang, gado-gado pendidikan tinggi formal yang saya alami memiliki satu kelebihan, di mana saya kekayaan ragam lensa dalam melihat satu isu. Ragam lensa ini memungkinkan saya melihat satu isu menjadi lebih artikulatif dan menarik untuk publik. Namun, ragam lensa ini memiliki konsekuensi tersendiri, yaitu saya menjadi akademisi dengan karakter generalis; memiliki kemampuan menulis berbagai hal, tapi justru dengan pemahaman yang tidak mendalam. Dengan kata lain, generalis dalam semua bidang memungkinkan saya bisa menulis di pelbagai platform tentang tema yang sedang hangat. Lebih jauh, cara ini ternyata berbahaya, berdampak terhadap otoritas keilmuan ketika berhadapan dengan arena akademisi secara serius.

Ini karena, pengetahuan generalis memungkinkan tahu banyak, tetapi tahu sedikit mengenai hal lainnya. Akademisi lain kemudian akan sulit mengenali saya sebenarnya ahli di bidang apa sebenarnya? Tidak adanya keketatan dalam disiplin Ilmu Sosial dan Humaniora ini membuat saya bisa mencampuradukan persoalan dengan mudah, khususnya dalam pengambilan data. Alih-alih memiliki satu kumpulan data yang bisa dianalisis dan bisa dipertanggungjawabkan, saya bisa mengambil data secara acak dan random yang dianggap cocok untuk analisis atas makalah yang saya tulis. Memang, representasi tulisan jauh lebih penting dari persoalan tersebut, meskipun bagi saya, setelah belajar lebih jauh, hal tersebut menjadi persoalan yang mengganjal.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, perlahan-lahan saya mulai mendisiplinkan diri untuk berhati-hati terkait membatasi kajian yang saya pilih untuk saya riset dan tulis sekaligus sebisa mungkin membangun kumpulan data yang dapat dipertanggungjawabkan dalam menulis dengan melakukan semacam rasionalisasi kepada publik pembaca. Meskipun harus diakui, pembatasan ini berdampak pada sulitnya mencari ceruk ide atas kajian yang saya ingin dalami. Ini berakibat tidak produktifnya saya dalam berkarya, khususnya dalam menulis opini pendek.

Baca Juga  Peran Perempuan dalam Memberikan LDP Penyintas Bencana

Lambat laun pengkondisian pembatasan studi ini, yang pelan-pelan saya lakukan dalam menulis jurnal, mulai membuahkan hasil. Beberapa sarjana, misalnya, mengenal saya terkait dengan kajian seputar Digital Islam dan Otoritas Keagamaan, mengingat banyak tulisan saya berbentuk jurnal saya mengarah ke sana. Beberapa undangan menulis, baik itu artikel jurnal dan bagian buku juga mengarah menuju isu yang saya dalami.

Memang, terkait dengan ceruk isu ini sudah banyak yang melakukannya. Namun, jika ceruk ini saya tekuni, memungkinkan saya membangun batas otoritas pengetahuan dalam dunia akademik. Meskipun efeknya, di tengah miskinnya apresiasi akademik dalam menekuni riset ini secara serius, dapur ekonomi rumah tangga saya bisa engga ngebul.  Sekali lagi, itu sebuah pilihan dan bagian dari konsisten akademik untuk menjaga semacam teritorial pengetahuan melalui isu yang didalami di tengah kekhawatiran kemunculan kematian pakar, seiring dengan kemunculan pemberi pengaruh (influencer) di ragam media sosial. Di sisi lain, harus diakui, justru akademisi sendiri yang mematikan itu dengan banyak menulis beragam hal. Meskipun alasan melakukan itu elas; menopang ekonomi.

Di tengah generalisasi ilmu sosial dan humaniora ini, perlu ada orang yang mengambil jalan spesialisasi dalam kajian ilmu sosial dan humaniora.  Jika ada pembaca yang mengalami pendidikan formal gado-gado seperti saya, setidaknya bisa mendisiplinkan menulis bidang yang kita tekuni dengan membatasi diri pada hal yang kita riset dan ketahui saja. Karya-karya akademik yang dihasilkan ini setidaknya akan jadi bendera di publik bahwasanya kita ini menekuni isu secara lebih mendalam.

Meskipun sekali lagi, godaan itu akan selalu datang. Apalagi ada wartawan yang membutuhkan liputan untuk dimuat di media tempatnya bekerja dan kita adalah bagian dari pertemanan mereka. Di isi lain, taruhan ekonomi dengan sejumlah tagihan yang harus kita lunasi juga bagian dari yang tak bisa dihindari. Namun, setidaknya, harus ada yang memulai upaya untuk melakukan pendisiplinan, terutama bagi mereka yang studinya gado-gado seperti saya.

Bagikan
Post a Comment