f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
arti bapak

Cara Jitu Jalin Kedekatan Emosional dengan Anak (PART 2)

Oleh : Ratna Yunita Setiyani Subardjo*

Memberi Perhatian yang Tak Terbagi

Ketika bersama dengan anak, sungguh-sungguh berikan perhatian Anda sepenuhnya. Meski ini sangat sulit pada zaman sekarang di mana segala sesuatu berhubungan dengan teknologi. Gadget salah satu alat yang tidak dapat berpisah dari kita, dengan alasan penting, pekerjaan, dan ketugasan, seringkali kita merasa tidak mampu meletakkan sejenak handphone dari diri kita. Matikan handphone, tablet, laptop, televisi, dll. Berikan betul-betul adalah perhatian terfokus hanya untuk anak-anak.

Perhatian penuh itu berarti: tubuh Anda menghadap anak, bukan hanya wajah dan mata Anda. Dan turunlah ke level mereka jika masih kecil. Mata mesti menatap mereka. Nabi SAW saat bermain dengan cucu beliau, Hasan dan Husein, beliau selalu merendahkan badannya sejajar dengan mereka, dan berbicara sejajar serta memberikan simbol/komunikasi mengikuti gaya anak-anak. Ibarat kata saat kita ingin diterima dalam kelompok tertentu, maka perilaku kitapun juga diusahakan untuk sama/mirip, agar kita dapat diterima dengan penuh di dalam komunitas mereka. Demikian saat kita ada di dalam lingkungan anak-anak ini.

Perhatian adalah kebutuhan dasar. Yang terpenting, lepaskan hambatan diri kita. Saat mendampingi anak, kita mestinya bersikap spontan, maka diri Anda akan dipenuhi dengan senyum, tawa, kontak mata, dan afeksi spontan. Banyak perhatian tidak akan membuat anak-anak manja, tu adalah mitos. Mereka manja karena tidak mendapat cukup perhatian. Makin banyak perhatian yang mereka dapatkan, semakin bahagia dan mandiri diri mereka, karena merasa aman di dalam cinta kasih kita orang tua.

Memperhatikan anak bukan dengan mengabaikan diri kita sebagai orang tua. Kita tidak akan mampu memperhatikan orang lain bila tak memperhatikan dan mencintai diri sendiri. Anak-anak akan menemukan cara memenuhi kebutuhannya jika mereka tak mendapatkan secara cukup. Kadang-kadang dengan perilaku positif, tetapi bisa juga dengan perilaku negatif, termasuk mengeluh, mengganggu, dan menggagalkan atau merusak diri.

Mari belajar untuk sungguh-sungguh mendengarkan dan mengakui perasaan anak. Kita perlu mengetahui bahwa anak-anak perlu didengarkan dan diperlakukan persis seperti orang dewasa. Ketika lututnya terluka, atau mainannya rusak, mereka mengalami perasaan yang sama dengan ketika kita sakit kepala, migrain, saat kita melihat mobil kita rusak, atau saat kita sedang melihat dan merasakan dimarahi atasan kita saat ia sedang marah. Banyak yang kita ucapkan sebenarnya menghambat ikatan emosional dengan anak dan dapat membuatnya merasa tidak didengarkan. Misalnya, “Ah, tak apa-apa, itu cuma lecet saja,” atau “Jangan khawatir, mainanmu bisa diperbaiki.” Padahal itu sanat melukai hatinya sejatinya.

Baca Juga  Pentingnya Orang Tua dalam Kesehatan Mental Anak

Kedekatan Fisik

Sentuhan membuat anak-anak lebih mampu mengatur perasaannya. Selain senyuman dan menciumnya, kita dapat melakukan moment bercanda seperti menggelitikinya, menyoleknya, merangkulnya. Atau kita dapat bermain kuda-kudaan, bergulat, duduk berdekatan ketika membaca bersama, dll.

Anak-anak membutuhkan kehadiran sebagai ikatan penguat kedekatan. Ikatan emosional inilah yang akan membuat mereka merasa nyaman dekat dengan kita. Tanpa ancaman bahkan kemarahan bertubi-tubi hanya karena kita merasa bahwa anak tidak patuh atau membangkang. Anak-anak yang kurang atau bahkan tidak memiliki koneksi (ikatan emosional) dengan orangtuanya itu sangat kekurangan rasa aman. Karena merasa hidupnya tak aman itulah maka mereka tak henti-hentinya melakukan tindakan yang oleh orang tuanya dianggap sebagai “pembangkangan, dosa, buruk”, dan serentetan label orang tua kepada anak. Padahal, perbuatan itu hanya semacam pengumuman atau teriakan minta tolong anak kepada orangtuanya bahwa “aku membutuhkan kasih sayangmu, Ayah dan Bunda.”

Sayangnya, bukan kita memahami “teriakan minta tolong” dari anak-anak, kita justru sering malah menggunakan metode “psychology of fear” untuk mendisplinkan atau mengatur anak-anak. Sewaktu kecil, balita ditakut-takuti dengan awas ada kodok, awas disuntik dokter, awas nanti ada polisi, awas nanti dimarahin guru, bahkan awas hii ada setan. Dan saat anak-anak kita remaja, karena kekhawatiran kita sendiri, kita sering menakuti mereka dengan narkoba, kecanduan, pergaulan bebas, rokok, dan hamil di luar nikah. Setelah mereka dewasapun, masih ditakut-takuti dengan kegagalan (ketidaksuksesan), rasa bersalah atau berdosa terhadap kita, anak tak tahu diri, anak tak berbakti, dll.

Tidak berhenti disitu, jika tidak mempan juga, bahkan ada sebagian orang tua yang juga menggunakan kekuasaan. Kekuasaan itu bisa dalam bentuk untuk mengatur kehidupan anaknya, kekuasaan untuk memilihkan jurusan kuliah bagi anak, kekuasaan untuk memberi biaya hidup pada kita, dll. Padahal, tak peduli berapa pun umur anaknya, bahkan ketika anak-anak ini sudah berumur dewasa sekalipun, yang mereka butuhkan bukanlah rasa takut dan rasa tidak aman, tetapi rasa dicintai, diterima, nyaman, dan aman, bukan rasa menanggapi kekhawatiran orang tua. Karena dengan dicintai tulus mereka juga akan memberikan cinta yang tulus. Jika kita sebagai orang tua tak sanggup memulainya dari sekarang untuk berubah, untuk memberikan pengasuhan yang lebih baik dan terbaik bagi anak, kapan lagi?

Menunggu waktu untuk berubah tak akan membuat kedaan berubah sendiri. Bukankah Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu merubahnya sendiri? Sebab siklus ini akan menjadi sebuah perilaku yang menetap yang juga akan anak-anak kita lakukan untuk anaknya, jika tidak segera kita putuskan sekarang untuk berubah. Jadikan lebih baik dan putus rantainya dengan melakukan yang terbaik bagi anak-anak kita. Sudhkah kita menggenapkan ikhtiar kita sebagai orang tua wahai insan yang diamanahi? – agar mereka sanggup mencintai.

Baca Juga  Dia adalah Anugrah Bagi Kami



*)Ratna Yunita Setiyani Subardjo, M.Psi., Psikolog Dosen UNISA Yogyakarta, Koordinator LDP MCCC PP Muhammadiyah

Bagikan
Post a Comment