f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
budak

Budak di Zaman Modern

Nang, segera nikah biar ada yang ngurus.” Wejangan orang tua kepada anak laki-lakinya. Kalimat ini sering kali terdengar, setiap kali ada bujang yang belum menikah. Anggapan laki-laki sebagai orang yang terpenting dalam rumah tangga.

Betapa pilunya, seorang perempuan hanya dianggap sebagai pekerja rumah tangga dan patuh terhadap suami. Mungkin dari ungkapan tadi melahirkan pemikiran bahwa perempuan itu, ya, melayani. Maka tidak heran jika ada suami tidak peduli pekerjaan sementara istri sibuk beres-beres rumah.

Suatu kali, saya jumpai seorang istri sibuk mengurus rumah, sementara sang suami asyik main game sendiri. Ketawa ketiwi tampak tidak ada beban. Semestinya, suami juga turut serta dalam membantu pekerjaan rumah. Ironisnya, kejadian tersebut dialami oleh saudara sendiri. 

Peringatan tentang keluarga ke dalam Qur’an  Surat An-Nisaa ayat 19. Allah menyeru kepada orang-orang beriman untuk meninggalkan praktik jahiliyah yang merendahkan martabat perempuan.

Sebagai suami penting untuk memperlakukan istri dengan baik. Membantu sang istri melakukan pekerjaan rumah. Rasulullah saja membantu Aisyah melakukan pekerjaan rumah, sudah sepatutnya kita yang mengaku umat Rasulullah. Bisa meneladani perilaku yang mudah dari Rasulullah.

Persepsi patriarki laki-laki selalu dianggap sentral dalam rumah tangga dan perempuan hanya pelayan suami. Namun, Islam membantah pandangan tersebut. Dengan turunnya surah Al- Hujurat ayat 13, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kedudukan yang sama di hadapan Allah.

Pemikiran patriarki dapat tergerus seiring perkembangan zaman. Kemudahan mendapat informasi soal gender. Sudah bersliweran di media sosial. Harapannya dengan ada kemudahan akses tersebut, dapat membuka pikiran calon suami dan mertua.

Istri itu pembantu

Beberapa waktu lalu sempat viral video seorang Ibu, yang bertanya kepada Mamah Dede dalam acara televisi. Kurang lebih pertanyaannya “Suami dan Istri bekerja. Namun sayang Istri tidak mengerjakan tugas rumah”. Sontak hal tersebut dijawab oleh Mamah Dede “Ibu tau tidak Istri bekerja? Kalau tau ya risiko ditanggung penumpang.”

Baca Juga  Melawan Persepsi Negatif Publik terhadap Perempuan dengan Konsep Diri

Dari kondisi tersebut dapat kita ketahui bahwa menjadi perempuan tidaklah mudah. Manusia yang dituntut harus bisa melakukan semua hal. Sudah lelah dengan pekerjaan, setiba di rumah harus mengurusi rumah tangga. Seakan-akan status istri itu sebagai babu cuci, babu masak dan babu tetek. Duh, berat juga jadi perempuan.

Selain kondisi tersebut. Saya teringat dengan penyanyi inisial DC. Yang memecat Pekerja Rumah Tangga (PRT), karena merasa istri itu harus bisa pekerjaan domestik. Masih memiliki stigma kodrat wanita itu bukan hamil, menyusui haid. Namun macak, manak dan masak. Masih jadi pertanyaan kenapa ungkapan kuno masih saja digaung-gaungkan hingga saat ini.

Jadi jika istri disandingkan dengan PRT. Berarti sama saja antara istri dan PRT, yang membedakan jika istri itu gratis sementara PRT itu ada upah. Belum lagi istri harus bisa mengatur keuangan yang tak seberapa diharuskan untuk bisa menghidangkan masakan yang enak. Laki-laki model seperti ini sangat mudah kita temui, namun lumayan sulit jika kita ajak diskusi soal peran gender.

Esensi dari menikah sendiri untuk melaksanakan perintah sebagai bentuk ketaatan hamba kepada sang Khalik. Sebagaimana bunyi hadis, jika seseorang menikah maka sempurnalah sebagian dari agamanya.  Sehingga  ketika menikah timbul rasa bahagia. Bahagia dalam kebutuhan seks, memperoleh keturunan yang baik dan rasa asih kepada keluarga.

Untuk dapat mewujudkannya, hendaklah memiliki pasangan yang setara. Dalam sosial, pendidikan serta religiositas. Dalam surah An-Nur ayat 2, sebagaimana penjelasan tafsir Al- Misbah bahwa wanita pezina tidak diminati oleh pria yang taat beragama.

Karena kesalehan serta zina merupakan hal yang bertolak belakang. Tentu mencari pasangan itu yang sejalan dengan sifat. Agar terciptanya keluarga yang seimbang alias satu level. Supaya ide-ide yang diberikan salah satu pasangan tidak disepelekan.

Baca Juga  Perempuan Berpendidikan; Dilema Etis dan Psikologi
Istri sebagai Mitra

Suami dan istri bukan hanya sekadar gelar. Namun keduanya, sebagai mitra yang memiliki peran tersendiri. Istri dengan sifat keibuan dan terampil. Sehingga dapat mendidik dan membimbing anak hingga membentuk karakter keluarga.  Begitu juga dengan suami sebagai mitra keluarga. Harus memiliki keterlibatan aktif dalam keluarga. Sebagai seorang kepala rumah tangga perlu menghadirkan suasana yang hangat dan nyaman dalam keluarga. Sebagaimana, Hadis Tirmidzi bahwa wanita itu sebagai mitra bagi pria. Baik itu mitra untuk berkeluh kesah, diskusi hingga penyaluran kebutuhan biologis.

Memiliki istri atau suami bukan hanya pemenuhan stigma sosial. Namun, dapat membentuk rumah tangga yang bahagia dan baik. Sudah sepantasnya sebagai suami turut andil dalam membantu pekerjaan rumah. Bukan memperlakukan istri bak pembantu.

Sebagaimana yang Mustofa Hasan katakan dalam bukunya Pengantar Hukum Keluarga. Orang yang telah berkeluarga selalu berusaha untuk membahagiakan keluarganya. Hal ini mendorong untuk lebih kreatif dan produktif, tidak seperti waktu lajang. Jadi sudah sepatutnya suami menyadari peranannya sebagai kepala rumah tangga dengan penuh tanggung jawab. Tidak seperti masa lajang yang sering leha-leha.

Bagikan
Post a Comment