f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
diet

Bakso Tumpeng Lereng Merapi

Oleh: Ali Audah

Siang ini Kaliurang, Lareng Merapi tidak hujan. Jemuran menjadi cepat kering, dan saya meminta Ahsan, anak saya untuk membantu saya mengangkat cucian yang mengering di tali jemuran. Peluh segera memenuhi pori-pori dahi dan leher, dan lambung mengirim pesan pemberontakan ke otak, yang diteruskan menjadi serangkaian instruksi.

Keputusan segera diambil, memesan gofood adalah opsi terbaik. Lagi-lagi Ahsan, si bungsu berbadan besar dan tinggi, menerima perintah untuk memesan makanan dengan aplikasi gofood. Saya tertarik dengan satu nama, yaitu Bakso Tumpeng, yang bentuknya memang mirip tumpeng, tetapi segera saya melihat siluet Gunung Merapi.

Dalam khasanah Budaya Jawa, tumpeng adalah lambang ekosistem kehidupan. Bentuk kerucut yang menjulang tinggi menggambarkan hubungan vertikal antara manusia dengan Sang Penciptanya. Itu adalah Gunung Merapi yang setiap pagi saya dapat merasakan kesegaran udaranya.

Nasihat Kehidupan

Tadi siang sebelum mengangkat jemuran, saya mengangkat telepon. Suara khas Prof. Imam Robandi terdengar. Ini adalah suatu keberkahan tersendiri untuk saya. Jika seminggu lebih saya tidak membuat tulisan, biasanya, Ia akan terus memasok inspirasi dan motivasi. Karena bagi saya ini adalah kuliah-kuliah prestisius dan langka, maka biasanya saya rekam. Tadi topiknya, tentang isu menarik, juga kuliner.

Menurut Prof. Imam, dalam satu mangkok itu tidak boleh ada dua atau lebih menu yang saling ‘mematikan’, cukup satu saja menu utama yang enak untuk dinikmati. “Itu adalah alasannya, jika ada tulisan yang sangat bagus maka saya menunggu hingga enam jam untuk mengirim tulisan saya,” kata Prof. Imam. Jika ada dua atau lebih penulis yang sama gaya tulisannya dan sama-sama dominan maka keduanya akan ‘dipecah’ ke dalam kelompok berbeda. “Saya tidak mau ada penulis yang ‘dimatikan’ oleh penulis yang lain.

Baca Juga  Menyikapi Kepahitan Hidup dengan Rasa Iman

Dalam ilmu teater panggung, memang pembunuhan karakter ini sangat dilarang keras. Saya pernah menjadi juri Lomba Teater Anak TK ABA se-Kecamatan Ngemplak di Kabupaten Sleman, dan ada satu tim peserta yang kepala sekolahnya ikut bermain menjadi raksasa. Tarian sang kepala sekolah begitu mendominasi sehingga penampilan anak-anak muridnya tenggelam. Akibatnya saya dan para juri lain menempatkan tim ini pada posisi paling bawah. Menyedihkan memang, apalagi sang kepala sekolah sempat tidak terima dan memprotes keputusan juri.

Berbagi Peran

Di dalam ilmu panggung, sang sutradara wajib mengatur agar posisi satu pemeran tidak menutupi (blocking) pemain lain. Teknik pengambilan kamera juga harus memperhatikan sorotan yang kuat ke wajah sang pemain ketika sedang mengucapkan kalimat-kalimat yang beraksentuasi tinggi.

Dalam bahasa seni drama, pengaturan penempatan pemain ini disebut pemblokiran. Sutradara harus jeli untuk meletakkan posisi pemain di atas panggung, karena posisi ini dapat menentukan atau mengubah arti sebuah adegan. Di abad ke 19, ada satu teknik yang kerap digunakan yang disebut dengan ‘tablo’, di mana background panggung diisi dengan gambar yang memperkuat posisi pemeran utama.

Pernah ada beberapa grup WA yang berisikan orang-orang dengan karakter yang saling menenggelamkan. Alih-alih saling membesarkan atau mengapresiasi tulisan atau pendapat penulis lain, tetapi malah justru saling melemahkan bahkan “membunuh” pendapat orang lain. Situasi ini sempat parah saat menjelang Pilpres bahkan berbulan-bulan setelah itu.

Saya mulai berpikir bahwa mungkin yang dimaksud oleh para malaikat saat memprotes keputusan Allah untuk mengangkat manusia menjadi ‘khalifatullah fil ardh’ (Master of the World) yang tidak sekadar manusia yang  senang  saling berbunuhan secara fisik, tetapi juga saling membunuh karakter dan perbedaan berpendapat. Watak manusia yang saling berebut pengaruh biasa menghinggapi para aktor yang sangat dominan, dan ini berada di segala aspek kehidupan.

Baca Juga  Ummu Qais dan Hadis Nabi tentang Penolakannya atas Lamaran

Disiplin Diri

Saya selalu mengagumi tulisan dan obrolan ringan dari Prof. Imam. Kupasan tentang menu makanan utama ini ternyata mencerminkan kehidupan sosial kita selama berabad-abad. Bayangkan jika kita tidak berdisiplin untuk mengatur ‘blocking’, seperti saat masa pandemi ini adalah sangat banyak suara yang berusaha untuk  ‘mematikan’ suara lain, dan berakibat keriuhan di media sosial.

Semua seakan berebut panggung untuk tampil menjadi pemeran utama dan tanpa mengatur ritme dan frekuensi tampil. Penonton pasti akan semakin bingung dan kehilangan kegairahan menyaksikan pertunjukan.

Demikianlah, selesai mendengarkan kuliah istimewa dari Prof. Imam, saya segera ke ruang depan. Ahsan sudah meletakkan bakso tumpeng ke sebuah mangkok di atas meja. Saya mengambil gambar terlebih dahulu, lalu mempostingnya ke grup keluarga. Tiba-tiba ada suara teriakan dari dalam kamar. Itu adalah suara teriakan khas isteri saya. ” Njalookkkkk…..” begitu bunyi teriakannya.

Saya segera menyantap bakso tumpeng, sangat lezat dan cocok untuk udara panas di siang ini. Sayang, saya hanya boleh menikmati separuh saja, karena harus “menyetor” ke Tuan Puteri Jasmine saya. Benar kata Prof, suami isteri jika ada di suatu grup akan saling “mematikan” atau minimal dapat memporak-porandakan  dinamika group. Haa… (T)

*) Penulis adalah dosen Fakultas Sastra Inggris UAD, Kabiro Humas dan Admisi UCY

Bagikan
Post tags:
Post a Comment