f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
mamak

Antara Mamak dan Kota Istimewa (1)

“Ah…, rasanya aku tak menyangka bisa melangkahkan kaki jauh ke kota ini, semuanya terasa mimpi disiang bolong”, keherananku kala itu. Awan putih berdampingan dengan langit cerah membiru, mendukung lalu lalang turis-turis asing dan penikmat fotografi di Malioboro siang ini. Para pedagang batik di pinggiran pun tak mau kalah dengan teriakan khas masing-masing, semuanya menambah suasana semakin terasa istimewa. Ditambah lagi dengan jajanan lezat murah meriah yang menemani kami duduk dibangku-bangku kecil Malioboro menikmati udara YogyakartaIstimewa, yap! Yogyakarta, kota dengan ragam wisata yang tak pernah bosan untuk dikunjungi penduduk lokal hingga turis asing. Selain itu dengan banyaknya pelajar dari segala penjuru yang menuntut ilmu di kota ini, maka tak heran kalau kota ini mendapat julukan Kota Pelajar.

Eits…, namaku Izra Wijaya, kelahiran Lampung tapi keturunan Jawa, putri pertama dari Bapak Abdillah Wijaya dan Ibu Sulastri. Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara yang tak pernah berpikir sejauh ini untuk belajar di Kota Istimewa Yogyakarta. Bersama kawan sejawatku Hanan, kami mencoba mengikuti tes beasiswa hingga akhirnya merantau dari kampung halaman untuk menimba ilmu atas beasiswa yang kami terima di kota ini. You know?, dalam sejarah perjalanan hidupku, ini adalah pertama kalinya aku merantau jauh dari sanak keluarga, terutama mamak[1]. Sebetulnya mamak tak ingin aku jauh, tapi dengan beasiswa yang sudah ku perjuangkan, tentu aku harus memilih antara mamak atau beasiswa ini.

***

“Kamu ndak[2] mau pikir-pikir lagi nduk[3]?”,tanya mamak. “Izra pun tak ingin jauh dari mamak, tapi… bagaimanapun ini adalah mimpi Izra dari dulu mak…”, jawabku dengan lembut, “tenanglah mak…mamak cukup doakan Izra saja supaya Izra lancar belajarnya di sana”, lanjutku. “berat rasanya melepasmu nduk…, tapi bukankah tak ada yang diinginkan orang tua selain kebahagiaan anaknya?, mamak pun demikian, kamu baik-baik di sana ya nduk”, pesan mamak. Aku pun mengangguk.

Baca Juga  Berbeda Agama dalam Satu Keluarga

Malam yang beda, keheningan begitu terasa menyulut kalbu, hanya suara cengkrama keluarga kecilku saja yang terdengar bersahutan. Irama jangkrik dan dengkuran katak pun sayup-sayup tak terdengar. Namun langit malam tetap sama dengan cahaya bintang nan gemintangnya bersama rembulan, ah… mungkin ini perasaanku saja, efek debat kecil dengan mamak tadi. “bapak sudah belikan tiket bus nduk, biar ndak kehabisan”, suara bapak tiba-tiba mengagetkan. “besok bapak saja yang antar sampe Yogya nduk…, bapak masih takut kamu berangkat sendirian, bahaya perempuan tanpa mahram[4], lanjut bapak. “iya pak…ndak apa-apa, terserah bapak saja gimana baiknya, Izra menurut saja”, jawabku sembari memasukkan pakaian ke dalam koper.

Pengembaraan hidupku selama delapan belas tahun kulalui dengan balutan kasih sayang dalam buaian cinta bapak dan mamak yang selalu mendampingi. Aku tak menyangka secepat ini akan pergi jauh dari mereka, tentu ancaman rindu akan semakin menggelayut relung hati. Ditambah lagi kerinduan itu hanya akan terobati setahun sekali dalam momentum Hari Raya Idul Fitri. Namun dalam nurani kecilku_ Kota Istimewa Yogyakarta adalah salah satu bagian dalam denah perjalanan yang ingin sekali kukunjungi. Apalagi untuk menimba ilmu di sana yang bahkan tak pernah terpikirkan sebelumnya. Perasaan yang tak terdefinisi olehku, entah haru, bangga, sedih dan bahagia, semuanya melebur begitu saja bak larutan garam dalam air.

“Hah? Rupanya sudah jam dua belas?”, batinku. Malam semakin larut, hanya detik jam dinding yang terdengar, sesekali tangisan kecil adikku memecah kesunyian. Rupanya aku tak dapat tidur, usaha keras memejamkan mata berujung sia-sia belaka. Akhirnya aku beranjak, iseng aja buka dan scroll HP sembari mengecek barang, mungkin saja ada yang tertinggal. “Woamm…”, aku munguap menandakan sudah mengantuk, namun tetap saja tak dapat memejamkan mata. “yaa Rabb… ini kenapa sih?, besok aku harus berangkat ke Yogya dan aku harus mengumpulkan energi Ya Allah…”, batinku memohon.

Baca Juga  Rona Bahagia dan Raut Khawatir di Balik Sebuah Pesta
***

“Bismillaahirrahmaanirrahiimm, alhamdulillahirabbil’aalamiinn, arrahmaanirrahiimm…”, suara qari’ terdengar seperti biasanya dan ini menandakan sebentar lagi waktu subuh akan tiba. “astaghfirullahal’adzim… udah pagi? Aku beneran ngga tidur semaleman? Aduuh gimana dong nanti?”, batinku bertanya tanpa jawaban seolah ini adalah sebuah pergolakan tanpa ujung. “It’s okey, aku langsung wudhu aja deh… siap-siap salat subuh”, lanjutku.

Udara berkabut pagi ini betul-betul mengagetkan, ia menyapaku tak biasa melainkan dengan sentuhan yang begitu menusuk hingga ke tulang rusuk. Hmm… aku memeluk diriku sendiri dalam balutan sweater sekaligus mukena yang kukenakan. Kabut sengaja menyamarkan penglihatan kami, senada pula dengan basahnya rerumputan hijau karena embun yang tak sengaja terinjak dan wow… it’s so cold, dingin sekali. “habis subuh langsung siap-siap ya nduk… kita ke rumah mbah[5] dulu, pamitan dan minta doa sebelum kamu berangkat ke Yogya”, kata bapak saat perjalanan kami menuju masjid, “wahhh… langsung pagi ini to[6] pak berangkatnya? Cepat sekali pak…”, jawabku. “ndak nduk… masih nanti siang sekitaran jam sepuluh-an kita ke terminalnya, tapi apa kamu ngga mau bertandang sebentar saja ke rumah mbah? Jarang-jarang lo kamu pulang kampung nantinya…”, kata bapak sembari menasehati, “hmmm iya deh pak Izra ikut ke rumah mbah”, jawabku mengiyakan. “ya sudah ayo… salat dulu”, kata bapak sesampainya di masjid.

Suasana desa mbah memang menenangkan, pemandangan kebun berpohon rindang dan hamparan sawah menjadikan siapapun yang bertandang ke sini akan betah berlama-lama menikmatinya. Menambah suasana hati semakin berwarna ketika menyaksikan petani yang membajak sawah, pedagang keliling dengan teriakan khasnya serta sapaan penduduk yang sopan nan ramah, “monggo[7] nduk… pak…”, sapa salah satu warga kepada kami, “nggeh…[8] monggo pak…”, balas bapak sambil tersenyum. Lalu lalang bocah-bocah SD menemani perjalanan kami ke rumah mbah, “pelan-pelan le…[9] cah ngganteng[10], teriakan spontan bapak karena tingkah bocah-bocah di jalanan. Sesampainya di rumah mbah, bapak langsung menyampaikan maksud kami, “ah… senangnya aku berada di kampung halaman, dekat dengan bapak, mamak juga mbah…”, batinku sambil senyum-senyum sendiri. “sayangnya… sebentar lagi aku bakalan pergi dari sini”, lanjutku dengan senyum yang mulai memudar.

Bagikan
Post a Comment