Site icon Inspirasi Muslimah

Aku Sakit Leukemia, Aku Ingin Mati Saja

leukemia

Aku adalah seorang dokter umum, yang sedang melanjutkan sekolah lagi. Bulan ini aku bertugas di bangsal perawatan A1 bagian penyakit dalam di RSUP Dr. Sardjito, Sleman, Yogyakarta. Tugasku sebagai seorang dokter residen ilmu penyakit dalam (calon dokter spesialis) semester 2, adalah melakukan visite pasien yang sedang dirawat di bangsal ini. Ada 7 pasien yang harus kuvisite setiap hari, memfollow up kondisi kesehatan mereka, melakukan perawatan, pemeriksaan fisik, laboratorium, pencitraan radiologi, dll. Di sini aku bertugas bersama 5 orang dokter residen lainnya, di mana kami bersama-sama menangani 40 orang pasien yang dirawat di bangsal ini.

Pak Amin; Pasien Leukemia

 Pagi ini ada seorang pasien pria, umur 38 tahun, yang datang dengan kondisi lemas dan pucat. Dari hasil pemeriksaan sel darah ditemukan bahwa sel darah putihnya mencapai 150.000 sel/mcL. Angka ini jauh di atas nilai normal yaitu 4.000-11.000/mcL. Sel darah merahnya atau kadar hemoglobin hanya 5 g/dL, artinya jauh di bawah batas normal untuk seorang lelaki dewasa yakni 14-18 g/dL. Angka trombosit atau keping darahnya pun hanya 50.000/mcL, jauh di bawah nilai normal yakni antara 150.000-450.000/mcL. Akibatnya adalah kondisi badan yang lemah dan pucat.

Saat aku follow up, kusapa ramah dan menanyakan gimana keadaannya hari ini. Beliau menjawab bahwa kondisinya masih lemah sekali. Kemudian sesuai planning kerja hari ini adalah beliau mendapatkan transfusi sel darah merah sebanyak 4 kantung darah, yang dimasukkan sehari satu kantung darah untuk menaikkan kadar hemoglobin. Selain itu pasien juga dilakukan pemeriksaan ultrasonografi perut, ronsen dada dan pemeriksaan biopsi sumsum tulang.

Saat siang hari, setelah visite bersama dokter residen senior, aku kembali ke pasien dan menyampaikan penjelasan tentang penyakit yang dideritanya. Kutanyakan bagaimana awal mulanya dia menderita penyakit kanker sel darah putih ini atau leukemia akut (Acute Myeloblastic Leukemia). Pak Amin menceritakan bahwa awalnya beliau bekerja sebagai seorang driver di kota Jeddah, King Saudi Arabia.

Setelah selama 2 tahun bekerja, pak Amin sempat dirawat di rumah sakit di sana dan dikatakan bahwa penyakitnya adalah kanker sel darah putih atau leukemia. Beliau juga mendapatkan transfusi darah 4 kantong. Oleh majikannya, beliau dikirim pulang ke Indonesia untuk menjalani pengobatan di sini. Pak Amin memiliki seorang istri dan 2 orang anak yang masih kecil. Istri beliau tidak bekerja.

***

“Dok, boleh tanya soal penyakitku?” tanyanya.

“Boleh”, jawabku singkat.

Sambil menarik nafas dalam, beliau bertanya, ”Kira-kira kapan aku mati? Karena aku tahu bahwa penyakit ini ganas dan tidak bisa sembuh?”

Akupun menghela nafas panjang, lalu kutanya balik, “Bapak ingin aku menjawab jujur atau menjawab sesuatu yang melegakan?”

Beliau terhenyak seketika dan menjawab pelan; “Aku belum siap, jangan dijawab dulu dok”.

“OK, saya akan jawab setelah bapak siap”.

Keesokan harinya, saat aku visite dan menanyakan kabarnya, beliau menyampaikan sudah agak baikan, setelah mendapatkan transfusi 2 kantong darah dan bilang kalau dia sudah siap mendengar jawabanku.

“Aku akan jawab setelah laporan jaga dengan dokter seniorku dan visite pasien di seluruh bangsal perawatan ini.”

Pukul 11.00 WIB aku kembali menemui Pak Amin dan berbincang. Kutanyakan apakah ingin jawaban jujur dariku. Dijawabnya bahwa dia ingin aku menjawab jujur saja, walaupun itu mengerikan atau menyakitkan.

“Dari pengalaman kami dan dari literatur yang ada, kemungkinan hidup pasien leukemia akut adalah 3-6 bulan sejak terdiagnosis, bahkan bisa lebih cepat lagi dari itu.”

“Dokter Andin, aku ingin mati saja. Aku ingin bunuh diri,” matanya berkaca-kaca dan bulir air bening mengalir di pipinya.

“Apakah sudah siap menghuni neraka jika bapak bunuh diri? Apakah akan bahagia di akhirat nanti? Rugi dong, kalau sudah dikasih sakit dan menderita karena sakitnya, masih harus disiksa lagi di akhirat? Yang jelas, mati bunuh diri adalah akhir yang jelek atau su’ul khotimah. Jangan lakukan itu.” 

“Bapak adalah orang terpilih yang diberikan penyakit ini. Sakit adalah ujian, juga ampunan dan rahmat dari Allah, jika kita ikhlas menerimanya. Tidak semua orang tahu kapan dia akan mati. Tapi bapak tahu, bahwa saatnya sudah dekat. Dan bisa bersiap menghadapi kematian dengan cara sebaik-baiknya. Bapak bisa wafat dengan husnul khotimah.” Aku sampaikan kabar buruk ini dengan sebaik-baiknya.

“Apa yang harus aku lakukan untuk mempersiapkan saat itu dok?” tanyanya lagi, masih menangis.

“Bapak bisa berkumpul dengan keluarga, lakukan banyak hal yang akan dikenang oleh istri dan anak-anak dan keluarga. Perbanyak sholat sunat, baca alQuran,  kumpul keluarga, pengajian dengan anak yatim, mintakan doa kesembuhan dari mereka, apa saja kebaikan bisa dilakukan.”

“Ok terima kasih.“

***

Setelah dirawat selama 5 hari,  beliau diperbolehkan pulang. Selanjutnya, aku menjalankan tugas dan kewajiban seperti biasanya. Tiga pekan kemudian, aku kembali merawat Pak Amin yang datang dengan keluhan yang sama. Bahkan hemoglobinnya sudah turun lagi dan harus menjalani transfusi darah kembali.

Pada mondok kali kedua ini, beliau lebih relaks menghadapi penyakitnya dan sudah bisa tersenyum. Beliau bisa menceritakan tentang keluarganya yang sudah diberi tahu tentang penyakitnya, mereka ikut menghibur dan membesarkan hatinya. Beliau juga banyak berkumpul dengan keluarga dan membuat momen-momen indah untuk dikenang mereka semua. Setelah mendapatkan transfusi darah lagi sebanyak 5 kantong, beliau diperbolehkan pulang.

Tiga minggu berikutnya, beliau mondok lagi dengan kondisi lebih lemah lagi, sangat pucat. Kembali Pak Amin mendapatkan transfusi darah sebanyak 5 kantong. Karena lemahnya, untuk berbicarapun sangatlah pelan. Kembali aku yang ditugaskan untuk merawat beliau di opname kali ini. Pak Amin memanggilku pelan, “Dok..”

“Ya Pak Amin, ada yang bisa saya bantu?” jawabku sambil memeriksa kondisinya.

“Saya sangat berterima kasih sama dokter.” Katanya pelan.

“Hm, terima kasih untuk apa ya Pak. Memang sudah menjadi tugas saya untuk merawat Bapak dengan sebaik-baiknya.” Jawabku.

“Saya berterima kasih, karena dokter Andin sudah menyampaikan bahwa saya akan segera mati. Sehingga saya bisa mempersiapkan sebaik-baiknya untuk menghadap Ilahi. Doakan saya husnul khotimah ya dok” katanya sambil menatap lekat mataku dengan mata yang basah.

Akupun termangu dan hanya menjawab semoga beliau dikarunia akhir yang baik atau husnul khotimah. Selanjutnya beliau diperkenankan pulang dan itulah kali terakhir aku bertemu beliau. Sudah tidak ada kabar lagi beliau mondok, artinya kemungkinan Allah sudah memanggil  hambaNya Pak Amin.

Aku banyak mengambil pelajaran di sini. Bahwa ajal itu pasti adanya dan kita semua harus bersiap. Belum pernah aku diterimakasihi pasien, karena aku  menyampaikan kabar buruk tentang umur mereka yang akan pendek, prognosis penyakitnya yang jelek dan tidak mungkin sembuh. Surga untukmu pak Amin.

Bagikan
Exit mobile version