f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
perenungan

Cara Berdikari dengan Logika Ilahi

Penanganan masalah negeri ini nampaknya selalu dijadikan bola panas yang digelindingkan. Menubruk ke setiap sudut tikung, tak terarah meluncur tanpa ujung.

Alih-alih berbagai tangan ingin membendung, namun tak tertahan panasnya laju bola, yang ada mereka limbung.

Kedaulatan ide yang mencuar, harusnya menciptakan sadar. Bukan malah mengabrasi dihukum iman yang tak tertatar. Apakah ini kejahatan berbentuk pasifisme liar?

Dari Pasifisme, Anarkisme ke Gagal Nalar

Pasifisme adalah penyelesaian dengan kekerasan, konteksnya kekerasan lewat kebrutalan pikiran. Akhirnya, muncul dilema terombang-ambingkan, seolah kata mufakat “dieksekusi” mati. Kedamaian juga “ditembak” mati. Sementara, penjahat dunia bebas dengan tipuan senyumnya yang sakti.

Kekhawatiran ini memunculkan ilusi berbentuk anarki, klaim menyuarakan anjuran kitab suci sana-sini, bergerak seperti terilhami “bayangan ilahi”.

Kelompok anarki sekarang, berkamuflase menjadi “ajudan”, mereka dengan tampilan tak kalah galak. Cita-cita yang dikobarkan dengan garangnya, sayangnya hanya ditonton oleh elemen awam yang tak tahu apa-apa.

Alih-alih ingin mengangkat harkatnya sendiri, malah tak sedikit yang jatuh tersungkur, gagal memahami. Entah itu bahasan dari segi politik, hingga ke kasus kebiasaan lama, yaitu agama, seperti “pemerkosaan” ego terhadap tafsiran kitab suci.

Dalam istilah modern, hal populer ini disebut logical-fallacy (gagal nalar). Keadaan ini disebabkan ketidakmampuan dalam menangkap informasi secara spontan, akhirnya mereka dengan keterbatasannya menyuarakan bahasa lisan yang tak karuan. Hal ini menimbulkan istilah Ad hominem (ketidakmampuan mengkritik satu arah), seperti rakyat ingin mengkritik kebijakan pemimpin, tapi mereka justru menyerang pribadinya, bukan mengkritik argumen.

Bercermin pada filsafat Epicurean, pendiri madzhab materialis-atomis; dikenal penentang paham fatalistik (segala sesuatu merupakan atas kehendak tuhan). Beliau mengungkapkan, cara mendapatkan kebahagiaan secara menyeluruh pada kehidupan, adalah dengan memaksimalkan proses rasional individu pada masalah sosial. Agar bisa tercapai kebahagiaan atau kebaikan sempurna. Dalam istilah Islam disebut sebagai metode burhani (argumen).

Baca Juga  Masjid (Tanpa) Kubah dan Menara

Pertanyaannya, bagaimana jika rasionalisasi masalah secara ilmiah yang diajukan individu  sendiri mengklaim, pendapatnya itu paling ampuh dan layak tampil sebagai inisiator solusi? Tahap ini perlu radical-analytics (pembahasan hingga ke akar).  Ada hasil dari masing-masing kepala ingin berebut kemenangan, karena konsepnya sama-sama mengusung atas nama kebaikan “tertinggi” atau maksimal, hal ini sulit ditunjukkan secara analitis (sistematis).

Kritik Akal Budi Praktis

Menurut Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, konsep “tertinggi” kebaikan mengandung ambiguitas. Bila tidak perhatikan baik-baik, muncullah perselisihan yang tidak perlu. “Tertinggi” tentu sama dengan “terbaik”, ia tak dalam kondisi dibawah sekalipun. Maka diperlukan suatu “kebajikan” (amal baik tanpa pamrih), sebagai tambahan kebahagiaan serta konsekuensi yang diakui di alam analitika (penjelasan sistematis), tandas Kant.

Kebajikan itu sendiri, buah respon dari pikiran ke hati nurani yang menghasilkan kebaikan “tertinggi”, atau disebut “akal budi praktis” (tindakan apa yang harus diperbuat). Sebenarnya, akal budi praktis itu bersifat mandiri dalam berpikir.

Berhubung kadang dipengaruhi energi negatif karena faktor minimnya ilmu, terciptalah ritme akal budi praktis yang menurut Kant, tidak mengandung unsur kognitif (kemampuan memilah mana yang baik dan jahat).

Kebajikan dalam istilah agama disebut birrun, bukan berarti suatu kebaikan yang sempurna, walau ada godaan hawa nafsu dari pikiran rasional yang serba terbatas. Meskipun demikian, hal ini satu-satunya yang bisa mengantarkan kebahagiaan ke tahap proporsional, yaitu ridho Tuhan. Karena dalam Al-Qur’an, kebajikan meliputi tiga nilai: prinsip keimanan, prinsip amal sholeh, prinsip akhlakul karimah (keluhuran budi pekerti).

Akal budi praktis, kadang memaksakan tindakan ke realitas tanpa mengindahkan etika. Seperti problem yang sedang terjadi, yaitu kasus pembuatan Karikatur Nabi Muhammad Saw, yang menuai kecaman umat muslim dunia. Pelaku tentu menggunakan intuisinya, namun ia hanya bisa menghukumi intuisi pikirannya pada objek (keindahan karikatur semata), bukannya membangun postulat (dalil) sebagai pembelaan dari tindakannya.

Baca Juga  Puasa dan Kesehatan Mental

Karena menurut Kant, kebaikan sebatas intuisi yang tak memperhatikan konsep kausalitas (hukum sebab akibat), itu mengandung satu hubungan hukum yang menentukan eksistensi ketidaknyamanan banyak orang.

Persoalan pada pembuat karikatur ini, harus digali kepribadian moralnya terlebih dulu, guna mengetahui isi motif dan gerak geriknya, dengan cara kebajikan (birrun) untuk mencapai kebahagiaan bersama. Begitulah refleksi Kant.

Ikhtiar Menyetop Kegagapan Nalar

Kemudian permasalahan reaksi kecaman, kita harus hati-hati agar tidak terjebak ke logical-fallacy berjenis circular reasoning; pengambilan tindakan reaksi yang berputar-putar tanpa menyelesaikan masalah. Jika masyarakat mengabaikan aspek norma dan etika, sebagai nilai dasar adab bersosial, maka hal ini cuman akan melemparkan isu bola panas terus-menerus. Ini yang disebut akal budi praktis (tindakan) yang dibangun tanpa moral kebajikan.

Oleh karena itu, si pembuat kariktur adalah non-muslim, tentunya tak tahu cara kerja hukum Islam. Sehingga, janganlah terburu-buru mencela, ini disebabkan dalam ontologi Islam (hakikat), itu tak mengajarkan perkataan keji, sekalipun ranah perbuatan jahat. Dalam solusi Islam, selalu mengutamakan nalar fa’fu ‘anhum, wastaghfir lahum, wasyawirhum fil amri (memaafkan, memohon ampun untuknya, dan berdiskusi secara moral kebajikan).       

Menurut Kant, definsi moralitas itu bukan doktrin yang membuat kita bahagia, tapi bagaimana “layak” untuk bahagia. Kalau manusia menjalankan kewajiban-kewajiban moral, sebenarnya sudah layak bahagia. Jika dia belum bahagia, berarti ada yang salah dalam proses bermoral. Motifnya sejak awal sudah keliru, bukan imperative kategoris (perintah kebajikan), tetapi justru imperative hipotetis (berbuat respon apik tetapi bersyarat).

Imperative kategoris merupakan tindakan bermoral, yang mana di dalamnya terdapat aturan main dalam diri manusia. Karena manusia itu tidak sempurna, jadi aturan yang memandu manusia, agar berbicara atau bertindak baik.

Baca Juga  Perempuan Pintar Bukan untuk Ditakuti Tetapi Dicintai

Sedangkan imperative hipotetis, adalah bila manusia membicarakan kebaikan, maka manusia lain juga akan baik, tetapi apabila sebaliknya, ia akan melakukan balasan yang setimpal. Begitulah teori Kant dalam moralitas.

Sehingga, dalam menjawab isykal (keraguan) pada masalah, harus dengan kehati-hatian. Jangan sampai dicap oleh Al-Ghazali, bapak spiritualis muslim asal Persia, seperti “Laa Yadri wa Laa Yadri Annahu Laa Yadri”, (sudah tidak tahu (berilmu), dan tidak tahu kalau dia tidak tahu, tapi sok tahu), na’udzubillah. Inilah bangunan dasar dan himbauan muslim sejati, supaya lebih dewasa dalam mengontrol moral.

Bagikan
Post tags:
Post a Comment