f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
buya syafii

Poligami: Percik Pemikiran Buya Syafii Maarif

Ahmad Syafii Maarif atau akrab dipanggil Buya Syafii Maarif merupakan sosok yang tidak asing lagi di telinga publik. Banyak masyarakat menyebutnya sebagai “Bapak Bangsa atau Guru Bangsa”. Selaras dengan cendekiawan lainnya seperti Nurcholish Madjid (Cak Nur) dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Buya Syafii mulai banyak dikenal oleh publik ketika menduduki posisi pucuk Pimpinan Pusat Muhammadiyah; menggantikan Amien Rais yang memilih ke kancah perpolitikan nasional. Bersamaan dengan itu, Buya terus konsisten menyuarakan dan memperjuangkan hal-hal yang berkaitan dengan kemajemukan, kemanusiaan semesta, keadilan, dan keseteraan gender

Pada isu kesetaraan gender, dalam hal ini poligami, Buya memang kurang vokal menyuarakannya. Padahal, Buya paham tentang isu-isu humanities kontemporer, selain karena sudah merasa terwakili oleh ‘Aisyiah (Abdullah dalam Burhani, eds.: 2015).

Antara Monogami dan Poligami

Terlebih kondisi hari ini, perbincangan tentang sistem perkawinan monogami atau poligami terus menjadi perhatian publik. Suara yang pro terhadap poligami hampir sebanding dengan suara yang pro monogami. Dalam sistem hukum Indonesia, memang tidak ada larangan untuk melakukan poligami. Namun, asas perkawinan di Indonesia sendiri menganut asas monogami (pasal 3 ayat 1 UU 1/1974).

Selain itu, ketentuan-ketentuan untuk melakukan poligami diatur seketat mungkin. Bermaksud agar praktik tersebut dapat dihindari. Dengan kata lain, peraturan hukum di Indonesia tidak menafikan sistem perkawinan poligami, tetapi bersamaan dengan itu juga berusaha untuk menutup kran poligami sekecil mungkin.

Realitanya, apa yang sudah diatur dalam undang-undang tersebut masih belum membumi dan cenderung permisif. Praktik poligami masih marak, bahkan cenderung dilakukan oleh orang yang kondisi ekonominya di bawah menengah. Hal ini sebagaimana digambarkan oleh Buya Syafii Maarif yang menyaksikan praktik poligami di kampungnya:

Baca Juga  Nabila Abdul Rahim Bayan; Perempuan Hafiz Inspiratif

“Kebiasaan beristri lebih dari satu ini di Sumpur Kudus bukanlah monopoli ayahku sendiri. Sebagian teman-teman sebayanya jika kondisi ekonomi memungkinkan juga melakukan hal serupa. Yang tidak masuk akal adalah seorang lelaki yang tak mampu secara ekonomi juga ada yang berpoligami. Aku heran mengapa perempuan juga mau dimadu dengan kondisi semacam ini” (Maarif: 2013: 82-83).

Di samping minimnya pengimplementasian hukum, praktik poligami ini sering juga dibumbui dengan dalil-dalil nash. Yang paling populer yang acap kali dijadikan sandaran oleh sebagian pihak adalah surat an-Nisa ayat 3 yang terjemahannya:

“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawair tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”

Pandangan Buya Syafii tentang Poligami

Pemikiran Buya Syafii tentang poligami tidak bisa lepas dari pengaruh dan akar kesejarahan Muhammadiyah itu sendiri. Utamanya ‘Aisyiah. Adalah Neng Dara Affiah (Affiah dalam Burhani, eds.: 2015) yang dengan ciamik memetakan serta membumikan pemikiran Buya Syafii tentang isu kesetaraan gender.

Sebagai seorang yang lahir dan tumbuh di lingkungan Muhammadiyah, bahkan pernah memimpin gerakan pembaharuan ini, Buya dengan tegas mengatakan bahwa sistem perkawinan yang benar menurut Al-Qur’an adalah monogami. Selain Muhammadiyah, pendiriannya tersebut juga banyak di dominasi oleh pandangan dan pendapat Fazlur Rahman, “kiyainya” selama “nyantri” di Chicago.

Ketegasan Buya Syafii terhadap sistem monogami tersebut dapat dilihat dalam memoarnya. Buya menyatakan, “Pokoknya, sistem perkawinan yang benar menurut Al-Qur’an adalah monogami. Poligami dibuka pada saat-saat yang sangat terpaksa dengan syarat-syarat yang berat.”

Baca Juga  Imam Hambali: Ahli Hadis & Ahli Fiqih

Adapun terkait surat an-Nisa ayat 3 yang terkesan membolehkan beristri lebih dari satu, Buya Syafii menghubungkan ayat tersebut dengan surat yang sama, yakni an-Nisa ayat 129.

“Memang dalam surat an-Nisa: 3 terkesan selintas kebolehan beristri lebih dari satu. Tetapi, kesan itu akan berguguran dengan ayat 129 pada surat yang sama. Kalau ayat 3 mensyaratkan berlaku adil terhadap istri-istri, ayat 129 menegaskan bahwa keadilan itu tidak mungkin sekalipun sang suami ingin sekali berbuat adil. Dengan mengawinkan kedua ayat ini, aku menyimpulkan bahwa perkawinan dalam Islam adalah monogami, sedangkan pintu poligami tertutup rapat, kecuali dalam kasus-kasus yang sangat darurat.”

Kata dan Laku

Buya memang tak dikenal sebagai seorang pejuang atau aktivis gender. Akan tetapi, dalam berbagai publikasinya, Buya menunjukkan keberpihakannya pada isu ketidakadilan terhadap perempuan. Tak hanya itu, pembelaannya untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan bukan hanya terbatas pada kata belaka, tetapi juga ditunjukkan dalam praktik hidupnya.

Buya menyuarakan tentang sistem perkawinan adalah monogami dan hal itu ia buktikan dengan tidak mendua hingga meng-empatkan sang istri. Mungkin, salah satu jejak sang ayah yang tak ditapaki oleh Buya Syafii adalah memiliki istri lebih dari satu.

Di sisi lain, yang harus menjadi perhatian adalah jangan saling menghakimi dan merasa paling islami. Bagi yang memilih poligami, silakan mempraktikkannya dengan ketentuan yang berlaku. Sebaliknya, bagi yang memilih monogami pun juga demikian.

Sebab, menurut Syahrur, jika seseorang melarang poligami dan hanya membolehkan monogami, maka ia telah berhenti pada batas minimal yang ditentukan oleh-Nya dengan tidak melampauinya. Sebaliknya, jika seseorang membolehkan poligami hingga empat, maka ia telah bergerak dari batas minimal ke batas maksimal.

Bagikan
Post a Comment