f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
tega

Agar Anak yang Diantar Ke Pondok Tidak Merengek Minta Pulang

Sudah tiba musim pendaftaran sekolah baru nih. Orang tua di banyak daerah mulai puyeng memikirkan sekolah lanjutan untuk anak. Ya puyeng berpikir mana sekolah terbaik dan sekolah terbaik yang biayanya juga baik. Maksudnya yang biayanya tak mencekik.

Namun kali ini saya tidak mau membahas soal biaya. Saya mau cerita soal orang tua yang memilihkan pondok untuk putra putrinya.

Sebagian orang tua memilih pondok untuk buah hati karena pondok dinilai mampu mencetak anak yang mampu religius, mandiri, tanggung jawab, dan bisa gotong royong. Kira-kira pondok dipilih karena orang tua mau anak cerdas agama dan cerdas intelektual gitu lah!

Keponakan teman saya–tetangga–yang baru lulus SD delapan hari lalu diantar ke pondok–masih satu kabupaten lokasinya. Anak ganteng yang agak kurus itu memang punya tekad baja mau mondok sejak kelas 5.

Namun sejak diantarkan, keponakan teman saya itu menunjukkan gejala tidak kerasan di pondok. Tidak nyaman, tidak betah. Siang diantar sore muntah-muntah. Kata ustadznya masuk angin. Kata kami ya itu tidak kerasan.

Lalu entah dari mana dia punya ide atau konspirasi tingkat anak pondok, tahu-tahu esok harinya ponakan teman saya itu bisa menelepon Bundanya. Katanya sih menelepon lewat wartel. Isi teleponnya ia merengek minta pulang.

Hati ibu yang mana yang tidak gemetar mendengar anak kecintaannya merengek minta pulang dari seberang telepon. Namun si Bunda tentu berusaha membesarkan hati anaknya demi masa depan. Apalagi pondok dianggap tempat jitu mencetak anak agar ia menjadi “orang” kelak.

Esoknya begitu juga. Menelepon bundanya lewat wartel–padahal masa kini masa ada wartel. Hingga hari ke tujuh, bocah ganteng yang agak kurus itu masih merengek minta pulang.

Baca Juga  Ketika Buah Hati Menuju Masa Akil Balig

Maklum saja. Kata teman saya, dia sejak kecil terbiasa hidup nyaman. Sejak SD sampai lulus tak pernah sekali pun mencuci bajunya sendiri, menyetrika, atau bahkan mencuci piringnya sendiri. Mungkin juga mikir berat saja tidak. Misalnya PR atau tugas sekolah masih dibantu Bunda Ayahnya.

Dulu dia enak. Mau makan sudah ada, mau tidur tempatnya empuk. Mau mandi airnya bersih dan hangat. Intinya mau ini itu tersedia.

Lalu di pondok dia masuk zona “serem”. Temen baru tempat baru suasana serba baru yang agak kurang enak, ditambah kegiatan pondok yang tidak ada jeda. Shalat jamaah mengaji menghafal kitab ini itu, melakukan ini itu sendiri dan masih banyak lagi yang harus dilakukan sendiri. Lebih-lebih pekerjaan–kegiatan–itu dilakukan tanpa orang tua tercinta di sampingnya. Bagaimana tidak sedih tidak gundah gulana kalau anak benar-benar belum siap.

Mengenai pondok itu, saya bertanya pada Kakak saya yang berpengalaman memondokkan anak lakinya di Mualimin Jogja. Kini sudah kelas 8 MTs.

“Memondokkan anak berarti memasak anak. Orang tua harus menyiapkan sejak dini bahannya lalu sepenuh hati mendukung anak saat mondok. Yang terpenting jangan tangisi dan selalu doakan agar dalam menempuh pendidikan si anak diberi kemudahan dan hati lapang.” Jelas Kakak saya. Saya menganggung-angguk.

“Anak saya dipondokkn langsung betah. Ya dua hari masih bilang kangen dia sampaikan ke ustadznya lalu sang ustadz menghubungi kami. Intinya anakku betah lah sampai sekarang. Alhamdulillah. Karena dia sejak kelas 4 SD sudah saya latih mandiri dan tanggung jawab. Sudah dibiasakan mencuci seragamnya sendiri menyetrika, membantu mencuci piring bekas dia makan, menyapu mengepel mencuci sepedanya sendiri dan hal-hal lain yang kami bisa.

Baca Juga  Father Time, Cara Membangun Bonding Ayah dan Anak

“Kalau shalat dan ngaji memang tidak bisa saya penuh mendampingi. Karena saya kan kerja. Shalat magrib, isya dan subuh saya usahakan mengajak berjamaah di masjid perumahan. Mengaji sore hari Mamanya kadang yang mengantarkan. Semoga aspek religiusnya dia makin mantap di pondok. Aamiin.”

Saya mengaminkan juga. Tapi saya masih kepo. Saya tanya, Apa benar pondok adalah tempat pendidikan terbaik bagi anak.

“Semua orang tua punya pandangan masing-masing. Saya sangat takzim pendapat baik atau tidak. Karena semua punya penjelasan. Namun pengalaman kami pondok adalah terbaik. Kami yang terbatas kapasitas keilmuan dan paham keagamaan merasa pondok adalah terbaik untuk ‘memasak’ anak. Di pondok paket lengkap. Semoga anak bisa cerdas spiritual dan intelektualnya. Semoga mandiri, bertanggungjawab, peka hati, dan rendah hati.”

“Pondok adalah solusi mendidik anak yang baik. Apalagi orang tua sibuk bekerja dan merasa pendidikan pengasuhan anak terbengkalai. Ditambah wawasan orangtua yang pas-pasan. Maka pondok akan memberikan lebih. Pondok insyaAllah akan mencetak anak jadi tangguh, religius, mandiri, tanggung jawab, dan berempati. Kita dosa kalau meninggalkan anak yang lemah loh, Dek. Kalau kita mendidik anak ala kadarnya lalu nanti tumbuh jadi anak yang lemah tak berguna atau bahkan jadi bencana bagi orang lain. Naudzubillah. Dosa loh kita. Pondokkan kalau kau yakin. Ini ikhtiyiar demi masa depan anak yang lebih baik.”

Saya memberi Kakakku senyum getir. Lalu saya merenungkan hal-hal yang telah diucapkan.

Surabaya, 17/06/2020

Bagikan
Post a Comment