f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
media sosial

Eksistensialisme di Era Digital: Apakah Media Sosial Mengubah Makna Keberadaan Kita?

Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Belakangan ini semakin banyak orang yang berlomba-lomba menampilkan kehidupan sempurna dan luar biasa di platform ini. Namun, jarang sekali kita bertanya atau bahkan seringkali kita lupakan pertanyaan penting: “Apakah media sosial mengubah makna keberadaan kita?”. Tulisan pendek ini, kiranya akan menggabungkan konsep eksistensialisme dan pandangan Islam untuk memahami dampak daripada media sosial pada identitas manusia.

Media Sosial dan Identitas Diri

Eksistensialisme, sebuah pemikiran filsafat yang dipopulerkan oleh tokoh-tokoh seperti Jean-Paul Sartre, menekankan bahwa manusia adalah penentu identitas mereka sendiri melalui tindakan mereka. Dalam dunia digital, identitas sering kali dibangun dan ditampilkan melalui platform media sosial. Setiap unggahan, komentar, dan interaksi menjadi bagian dari narasi yang diciptakan tentang diri kita. Namun, identitas yang dikurasi ini sering kali tidak mencerminkan diri yang autentik.

Kita sering mendengar istilah pencitraan, pencitraan atau “image management” merujuk pada upaya individu atau kelompok untuk mengendalikan bagaimana mereka dilihat oleh orang lain. Di media sosial, ini sering kali melibatkan seleksi dan penyuntingan konten yang diposting untuk menampilkan kehidupan yang ideal dan memikat. Pencitraan bukan fenomena baru; praktik ini sudah ada sejak zaman kuno, di mana individu berusaha menampilkan status sosial mereka melalui pakaian, gaya hidup, dan bahkan arsitektur rumah.

Dengan munculnya media sosial, pencitraan telah menjadi lebih kompleks dan terstruktur. Platform seperti Instagram, Facebook, dan TikTok memungkinkan individu untuk mengedit, menyusun, dan membagikan aspek-aspek tertentu dari kehidupan mereka dengan audiens yang lebih luas. Media sosial memberikan platform bagi individu untuk membangun dan memanipulasi citra mereka. Individu sering menunjukkan kehidupan sempurna di media sosial, menciptakan tekanan bagi orang lain untuk memenuhi standar yang tidak realistis.

Baca Juga  Paradigma Pendidikan Anak di Era Digital

Tentu, media sosial juga memiliki manfaatnya. Platform ini dapat memperkaya kehidupan dan memberikan ruang bagi ekspresi diri yang autentik. Media sosial juga dapat digunakan untuk menyebarkan nilai-nilai positif dan berdakwah. Namun, manfaat ini tidak menghilangkan risiko dan dampak negatif terhadap pemahaman eksistensial.

 Pencarian Makna dan Validasi Eksternal

Likes dan komentar sering kali menjadi ukuran nilai diri di media sosial. Ketika unggahan kita mendapatkan banyak likes, kita merasa dihargai dan diakui. Namun, pencarian validasi eksternal ini dapat menggantikan pencarian makna yang lebih dalam. Studi menunjukkan bahwa ketergantungan pada validasi eksternal dapat meningkatkan tingkat kecemasan dan stres.

Fenomena “Fear of Missing Out” (FOMO) juga sering kali terkait dengan hal ini, di mana individu merasa cemas karena melihat orang lain menikmati pengalaman yang tampaknya lebih baik atau lebih menarik. Sebuah citra yang ditampilkan di media sosial dapat mempengaruhi persepsi individu tentang identitas diri dan hubungan sosial mereka. Pencitraan yang tidak otentik sering kali memisahkan kehidupan nyata dengan citra yang ditampilkan, yang bisa merugikan kesejahteraan psikologis

Dalam pandangan islam memandang bahwa validasi yang sejati datang bukan dari orang lain, bukan dari manusia. Al-Qur’an mengajarkan bahwa kemuliaan manusia terletak pada ketakwaan (taqwa) dan amal shalih, bukan pada pengakuan sosial. Sebagai muslim, kita diajarkan untuk mencari ridha Allah dalam setiap tindakan kita, bukan sekadar pengakuan dari manusia. Ini membantu kita fokus pada pencarian makna yang lebih dalam dan sejati.

Ketergantungan pada Pengakuan Eksternal

Ketergantungan pada pengakuan sosial memiliki dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan mental. Sherry Turkle, dalam bukunya “Alone Together,” menyebutkan bahwa meskipun teknologi menghubungkan kita, itu juga dapat membuat kita merasa lebih terisolasi. Ketika individu merasa tidak dapat memenuhi standar yang mereka lihat online, ini dapat menyebabkan perasaan tidak berharga dan stres.

Baca Juga  Fatherless : Ketiadaan Peran Ayah dalam Kehidupan Seorang Anak

Siklus ketergantungan pada validasi eksternal di media sosial dimulai ketika individu mencari pengakuan melalui “like,” komentar, dan respons positif lainnya untuk merasa puas dan senang. Validasi ini memicu pelepasan dopamin di otak, menciptakan efek adiktif.

Ketika individu tidak menerima pengakuan yang diharapkan, mereka bisa merasa gelisah, tidak puas, dan mengalami penurunan harga diri. Hal ini mendorong mereka untuk lebih sering memposting dan mengontrol citra diri secara online demi mendapatkan lebih banyak validasi. Namun, siklus ini sering menyebabkan stres, kecemasan, dan perasaan tidak berharga, karena mereka terus mengejar validasi eksternal yang sementara dan superfisial, bukannya menemukan kepuasan dari dalam diri dan hubungan yang autentik.

Perlombaan untuk Menjadi Luar Biasa

Di era digital, banyak orang berlomba-lomba untuk menjadi orang yang luar biasa dan memamerkannya di media sosial. Tekanan untuk menampilkan kehidupan sempurna ini dapat seakan akan tidak ada habisnya. Orang sering kali merasa perlu menunjukkan sisi terbaik mereka, bahkan jika itu bukan representasi otentik dari siapa mereka sebenarnya.

Perlombaan untuk menjadi luar biasa tidak hanya berdampak pada kesehatan mental, tetapi juga mengaburkan makna dari kebahagiaan sejati. Ketika individu terlalu fokus pada pencapaian eksternal dan penampilan sempurna, mereka mungkin mengabaikan hubungan yang bermakna dan pengalaman hidup yang sebenarnya penting.

Bahwa sebenarnya menjadi biasa, adalah hal yang sangat luar biasa.

Dalam dunia yang semakin terhubung dan penuh dengan ekspektasi sosial yang tinggi, menjadi biasa sering kali dipandang sebelah mata. Namun, sesungguhnya, kemampuan untuk menerima dan menghargai kehidupan yang sederhana dan otentik adalah hal yang sangat luar biasa. Banyak orang terjebak dalam siklus pencitraan di media sosial, merasa perlu menunjukkan versi diri yang terbaik dan paling menarik untuk mendapatkan validasi eksternal. Padahal, menjalani kehidupan yang biasa, tanpa tekanan untuk selalu tampil sempurna, dapat memberikan kedamaian dan kebahagiaan yang lebih tulus. Menjadi biasa berarti kita menerima diri kita apa adanya, dengan segala kekurangan dan kelebihan, dan menghargai momen-momen kecil yang membawa kebahagiaan sejati.

Baca Juga  Peran Female Influencer dalam Menjaga Kesejukan Bermedia Sosial

Mengakui dan menghargai keadaan biasa memungkinkan kita lebih fokus pada hubungan dan pengalaman nyata daripada citra yang ditampilkan. Hal ini meningkatkan kesejahteraan mental dan emosional karena kita tidak terbebani oleh kebutuhan untuk memenuhi standar yang tidak realistis. Selain itu, hidup autentik membuka ruang untuk mengejar passion dan tujuan hidup yang penting, tanpa terganggu oleh keinginan mendapatkan pengakuan dari orang lain. Dalam kenyataannya, kemampuan untuk menikmati dan merayakan kehidupan yang biasa adalah kunci untuk mencapai kebahagiaan dan kepuasan yang mendalam.

Bagikan
Post a Comment