f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
wanita setia

Buya; Kisah Asmaranya dan Sosok Wanita Setia di Balik Kesuksesannya

Barangkali sudah tak asing di telinga kita ungkapan “di balik laki-laki yang hebat ada wanita yang kuat.” Selain identik dengan kelembutan, wanita juga lekat dengan kasih sayang, itulah mengapa rahim dititipkan oleh Allah kepada seorang wanita. Karena wanitalah sosok yang berperasa, sosok yang selalu mengandalkan nurani dalam setiap tindakannya. Setidaknya ada tiga peran utama seorang wanita, yaitu menjadi anak bagi orang tuanya, menjadi istri bagi suaminya, dan menjadi ibu bagi anak-anaknya. Adapun ketiganya tersebut merupakan peran yang mulia.

Bagi sebagian orang, nama Nurkhalifah mungkin terdengar asing dan bahkan tak terkenal. Sebab ia bukanlah artis yang kehidupannya selalu disorot oleh media. Sekalinya muncul di media ia mendampingi suaminya, seorang ulama sekaligus cendekiawan Indonesia yang namanya dikenal oleh siapa saja dan dari kalangan mana saja yaitu Buya Syafi’i Ma’arif.  Syafii Ma’arif atau seorang yang mendapat julukan Buya adalah seorang kader yang lahir di Sumpur Kudus Sumatera Barat. Gelar Buya yang disematkan pada namanya menandakan bahwa ilmunya yang banyak nan berlimpah, pengetahuannya luas, dan juga berperangai baik nan mulia. Jika biasanya sosok buya diceritakan dari sisi keilmuan, kiprah atau bahkan sisi kesederhanaannya. Namun dalam tulisan ini saya ingin membahas Buya dari fitrah kemanusiaannya. Yaitu seputar cinta dan kisah asmaranya serta sosok setia yang mendampingi buya.

Sebagai manusia biasa, Buya juga dianugerahi perasaan dan emosi layaknya kita. Hal tersebut yang membawa buya menjadi sosok yang penyayang. Baik terhadap pasangannya, ibu Nurkhalifah maupun kepada orang-orang yang ada di sekitar beliau. Sebelumnya saya mengenal buya hanya melalui buku-bukunya, militansinya menjadi kader Muhammadiyah serta beberapa pendapatnya yang sering kontra atau bahkan berbeda dari sosok tokoh dan cendekiawan muslim lainnya.

Baca Juga  Potret Perempuan Aceh dari Masa ke Masa

Yogyakarta dan sejarah memang memiliki keterkaitan yang kuat terutama dengan tokoh besar seperti buya yang menempuh pendidikan, meniti karir, membangun rumah tangga bahkan menutup usia di kota pelajar ini. Tempo lalu, awalnya saya hanya mengisi kepenatan di tengah kepusingan menggarap tugas akhir kuliah dengan mencoba mendaftar dan mengikuti serangkaian persyaratan penerimaan peserta “Tour De Buya” yang digagas oleh Ma’arif Insitute dan Anak Panah. Saya rasa ini momentum yang tepat untuk mengenal sosok kader Muhammadiyah yang kiprahnya tak bisa dibilang biasa. Ditambah latar tempat yang mendukung sehingga sepanjang perjalanan “Tour De Buya” feelnya sangat dapat menembus sanubari dan ruang ingatan saya.

Bagi saya kegiatan ini bukan sekedar tour tapi juga merupakan Rihlah Ilmiah yang membuka wawasan dan pengetahuan kita. Menyambangi beberapa tempat yang disinggahi oleh Buya dan mendapatkan cerita menarik dari orang-orang yang dekat dengan buya. Sehingga menurut saya Buya bukanlah sosok cendekiawan muslim saja. Namun juga family man yang sangat sayang terhadap keluarganya dan sosok yang hangat terhadap orang-orang yang ada di sekitarnya.

Saya sempat terkejut mendengar cerita dari Mas Erik, salah satu orang terdekat Buya setelah keluarganya. Beliau mengatakan bahwa Buya adalah sosok yang sangat memuliakan istrinya. Hal tersebut bisa dilihat dari cara Buya memperlakukan istrinya yaitu dengan membantu mengerjakan pekerjaan rumah, seperti memasak, mencuci, menyiram tanaman, menjemur pakaian dan lain sebagainya. Bahkan saking tak mau merepotkan istrinya, sering kali beliau menerima tamu-tamunya dari berbagai kalangan di Masjid Nogotirto dekat rumahnya. Hal tersebut beliau lakukan agar istrinya tidak repot dan tak perlu sibuk di dapur untuk menyiapkan segala sesuatunya.

Baca Juga  Buya dan Ruang Hampa Pancasila

Hal lain yang menggambarkan bahwa buya sangat mencintai istrinya dibuktikan dengan sikap beliau yang tetap setia dengan istrinya hingga beliau tutup usia. Beliau memilih untuk tetap hidup dalam pernikahan monogami dengan satu istri yaitu Nurkhalifah. Buya juga beranggapan bahwa pernikahan yang benar menurut Al-Qur’an adalah pernikahan dengan satu istri atau yang sering disebut dengan monogami. Sebab menurut Buya, poligami diperbolehkan dalam waktu-waktu tertentu dan terpaksa saja dan itu pun disertai dengan syarat-syarat yang tak mudah.

Buya adalah representasi laki-laki yang setia dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap pasangannya. Selain itu, Buya juga beruntung memiliki istri seperti sosok Ibu Lip. Beliaulah perempuan hebat di balik seorang pemikir besar seperti Buya. Beliau jugalah orang yang rela membagi waktu suaminya dengan umat. Sebab Buya adalah seorang selalu mementingkan kepentingan umat di atas kepentingan pribadinya. Belum lagi kecintaan Buya terhadap ilmu yang membuatnya haus belajar, sibuk berfikir dan idealismenya sulit ditawar. Hanya perempuan yang hebat yang tak silau dengan harta maupun jabatan yang mau menemani Buya dengan segala kelebihan dan kekurangannya, serta terus mendukung dalam situasi dan bagaimanapun keadaannya.

Barangkali demikianlah sedikit gambaran kisah cinta Buya dan istrinya yang beliau bangun dalam sebuah mahligai suci bernama pernikahan. Keduanya saling mengupayakan, saling rela berkorban, dan mendukung keputusan satu sama lain. Dalam kehidupan pernikahannya pun Buya selalu mengedepankan prinsip-prinsip egaliter di mana suami, istri, dan anak memiliki suara yang sama pentingnya dan setara dalam memutuskan urusan keluarga. Lima puluh tiga tahun Buya dan Istrinya melewati suka cita bersama. Selama itu pula Buya memuliakan istrinya dan sepanjang itu pula Ibu Lip menjadi rumah ternyaman bagi Buya. Dengan kekuatan dan ketulusan cinta keduanya itulah Buya dan istrinya mampu melewati cobaan dalam pernikahannya. Serta dengan keimanan dan keridaan atas garis takdir yang Allah berikan, membuat keduanya mampu melewati masa sulit selama hidup bersama.

Bagikan
Post a Comment