f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
perempuan

Tadarus Emansipasi Wanita: Dalam Ranah Kampus, Apa yang Harus Perempuan Suarakan?

Jika berbicara mengenai hak asasi manusia, isu-isu perihal kesetaraan gender agaknya dewasa ini masih cukup hangat jika diangkat ke permukaan. Kaum hawa yang dalam konteks ini tersudutkan, teralienasi, termarjinalkan, ataupun tertindas biasanya akan cukup lantang menyuarakan kesetaraan gender. Sejauh ini sudah ada beberapa sosok-sosok terkenal sang penyuara emansipasi wanita. Sebut saja Mery Seacole, Betty Friedan, sampai sosok yang tak asing tentunya di telinga kita, RA. Kartini, Nyai Siti Walidah, dan masih banyak lagi.

Apa yang telah disuarakan oleh tokoh-tokoh di atas tentunya tak lepas dari latar belakang sosio kultural masing-masing individu. Berangkat dari keresahan tersebutlah dengan kesadaran serta kemauan, mereka bersuara dan bergerak menyuarakan keadilan.

Nah, jika pergerakan emansipasi sebagaimana yang telah dilakukan oleh beberapa tokoh di berbagai belahan dunia ini kita geser konteksnya dalam ruang lingkup pendidikan, khususnya kampus, apakah gema suara kesetaraan masih relevan dijumpai? Mengingat baik laki maupun perempuan sejauh ini dalam ruang pendidikan telah mendapatkan porsi yang sama dalam mengenyam pendidikan. Jika masih relevan, bahkan kesetaraan gender dalam ranah kampus masih perlu disuarakan, kira-kira apa yang menyebabkan hal tersebut harus disuarakan?

Masih Marak Kekerasan Seksual dalam Ranah Kampus?

Barangkali salah satu dari sekian latar belakang yang membuat masih digaungkannya isu soal kesetaraan dalam ruang lingkup kampus karena kasus-kasus kekerasan seksual yang masih kerap terjadi. Hal ini terbukti dengan catatan Woman Crisis Center (WCC) Nurani Perempuan yang menyebutkan ada 11 kasus pelecehan seksual (di Indonesia) terjadi di ranah kampus sepanjang 2022. Dan kasus tersebut terindikasi meningkat dibanding tahun sebelumnya yang berjumlah 6 kasus di tahun 2021. Data tersebut belum lagi termasuk kekerasan-kekerasan berbasis gender lainnya terhadap perempuan yang tak sampai terdengar ke luar kampus.

Baca Juga  Meriahkan Lebaran Tanpa Petasan

Ini tentunya menjadi alarm tersendiri bagi kaum perempuan bahwasanya kasus-kasus semacam ini kian tak kenal ruang. Instasi pendidikan pun turut ternodai tentunya dengan tindakan amoral semacam itu. Dalam hal ini bukan hanya oknum mahasiswa yang menjadi pelaku, namun mirisnya acapkali oknum unsur pendidiknya pun turut ambil bagian.

Terlepas dari bagaimana pendekatan, metode, ataupun trik-trik yang dilakukan pelaku terhadap korbannya, ketika berbicara mengenai kekerasan seksual pasti perempuan biasanya selalu pada posisi yang tersub-ordinasi. Selalu menjadi korban. Walaupun pada beberapa kasus perempuan ‘menggoda’ pelaku ataupun berawal dari hubungan suka sama suka. Sehingga pada gilirannya sangat membuka pintu terhadap hal-hal yang tak diinginkan.

Dengan demikian, hingga dewasa ini kita memang tidak bisa menafikan bahwa kasus kekerasan seksual yang melibatkan perempuan masih banyak terjadi. Tak terkecuali dalam dunia pendidikan. Walau mungkin hanya beberapa saja yang kasusnya terdeteksi oleh orang lain atau luar kampus. Yang entah dengan iming-iming sesuatu, atau diancam, takut bersuara, dan lain sebagainya membuat tindakan tersebut masih marak dan sulit terdeteksi.

Perempuan Masih Menjadi yang Tersubordinasi?

Mengutip dari Jurnal Martabat, Subordinasi diartikan sebagai penempatan seseorang pada urutan kedua, sehingga orang ini dianggap tidak pada tingkatan teratas. Dewasa ini label subordinasi seakan disematkan kepada pihak perempuan sebagai sosok yang lemah dan di bawah laki-laki. Yang mana kemudian ini berdampak pada kehadirannya di ruang publik atau dalam tatanan sosial sebagai sosok yang lemah.

Contoh kasus di atas, barangkali bisa menggambarkan bahwa kaum wanita meskipun sudah berada dalam ruang lingkup yang menjamin dirinya untuk memiliki kebebasan berperilaku, bertindak, dan bersuara, namun tetap saja wanita selalu menjadi pihak yang tersudutkan. Karena selain dari pada itu, kaum wanita acap kali berada pada posisi-posisi tertentu yang mana mereka dinilai tak layak menempatinya dan biasa menyerahkannya kepada laki-laki. Seolah-olah jika seorang wanita selangkah lebih maju di depan daripada laki-laki menjadi hal yang tabu dan aneh.

Baca Juga  Hari Perempuan Internasional dan Pembebasan Hati

Tentu kita tahu bahwa di dalam kampus tersedia wadah bagi para mahasiswa berupa organisasi kemahasiswaan dan unit kegiatan mahasiswa (UKM). Di mana dalam organisasi ataupun UKM tersebut pasti terdapat kegiatan-kegiatan yang di dalamnya memerlukan struktur kepanitiaan. Nah, jika kita lihat secara seksama, biasanya dalam hal seperti itu (kepanitiaan), perempuan tak jauh posisinya dari sekretaris ataupun bendahara. Tak banyak yang kemudian memilih ataupun dipilih menjadi ketua pelaksana.

Selain itu, saat ini pun kadang masih kita temui betapa timpangnya partisipasi perempuan dalam suatu organisasi atau UKM ketimbang laki-laki. Terutama yang berhubungan dengan pengambilan keputusan. Hal ini seolah semakin memperkuat statement bahwa wanita selalu di bawah laki-laki dan hanya akan tetap sebagai pekerja domestik.

Padahal, saat ini kita sudah berada pada zaman di mana emansipasi perempuan sudah bergema di mana-mana dan dari berbagai tokoh. Organisasi-organisasi yang telah dibentuk di setiap perguruan tinggi saat ini sudah seharusnya menjadi wadah bagi perempuan untuk berupaya menyuarakan ketertindasan mereka. Karena faktanya, walaupun telah mendapat porsi hak dan kewajiban yang sama dan juga telah diberi kebebasan bersuara, sampai saat ini masih saja perempuan seakan dilabeli sebagai sosok yang lemah.

Maka dari itu, jangan sampai mindset bahwa perempuan itu lemah atau di bawah laki-laki menjadi pola pikir setiap insan kampus. Justru dengan kebebasan yang ada dan juga persamaan atas hak dan kewajiban, baik laki-laki maupun perempuan, sudah seharusnya setiap perempuan berani bersuara dan diberi ruang untuk bersuara.     

Karena, jika terus dalam kondisi yang dinomor duakan tentu seorang perempuan akan sulit untuk menjadi perempuan yang berkemajuan sebagaimana yang disebutkan dalam buku Risalah Perempuan Berkemajuan. Dalam buku tersebut termaktub bahwa seorang perempuan yang berkemajuan itu ditandai juga dengan potensi dan kesempatan perempuan untuk meraih prestasi, bekerja, dan mengembangkan profesi setara dengan laki-laki, yang telah Allah isyaratkan melalui Surat An-Nisa ayat 32.

Bagikan
Post a Comment