f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
latto-latto

Latto-Latto sebagai Terdakwa

Isu kesehatan mental tak hanya penting bagi usia dewasa. Usia yang sarat beban pekerjaan, tuntutan ekonomi, dan kewajiban sosial keluarga dan peran di lingkungan sosial. Anak-anak dan remaja di zaman konten kini juga demikian gampang tergerus kebahagiaannya. Seakan anak-anak dilarang gembira.

Mereka adalah generasi yang lahir dari rahim internet. Generasi Z, labelnya. Sedangkan, bukankah ponsel yang mereka genggam adalah produk orang dewasa? Gadget yang di tangannya, juga dibelikan oleh orang tua. Namun, saat jari-jari kita tak lepas dari mengusap layar digital, pada saat sama telunjuk ini menuduhnya smartphone sebagai gara-gara.

Ya, media sosial dan media online-sepertinya tak ada yang berani membantah-adalah sumber utama kecemasan, ketakutan bahkan depresi. Anak-anak dapat menjadi objek cyberbullying dan kejahatan online. Ketidaksopanan, kenakalan, kriminalitas, serta kejahatan bersumber dari sana. Terbaru, muncul kasus remaja membunuh seorang anak dengan motif mengambil ginjal demi uang.

Jangankan hal-hal negatif, ketika media itu menyajikan teks, gambar, video, grafik, yang merepresentasikan kebahagiaan, kecantikan, kesuksesan juga berefek samping. Alhasil, manusia digital menjadi mangsa dari rasa dibanding-bandingkan. Takut dianggap kurang update dan ketinggalan trend. Senyum kita kendalikan oleh jumlah follower, view, like dan komentar. Remote kebahagiaan dikuasai oleh orang lain, yang bahkan tak dikenal.

Smartphone dikira adalah “kantong ajaib”. Bisa ini itu, semua dapat terkabul. Disangka di situlah kebahagiaan berasal. Faktanya, anak-anak menjadi “nobita-nobita” yang rentan dan mudah tidak bahagia. Generasi tak tahan banting dan mudah pecah. Gampang meniru yang buruk, dan sulit percaya yang baik dan rasional.

Tak heran, banyak ahli memberi rekomendasi untuk detoks digital. Menjaga jarak dari medsos. Sebaliknya memberi saran memperbanyak kontak mata, lebih sering bermain dengan kucing atau ikan, sesekali memeluk pohon dan berkecipak dengan air. Semula online adalah barang mahal. Kini, menjadi offline menjadi mewah dan eksklusif.

Tek Tek Tek vs Tik Tok

Di tengah kesadaran adanya hubungan bucin anak-anak dengan gawai digital, tetiba saja latto-latto menjadi viral. Seakan menjadi semburat harapan. Ternyata anak-anak masih bisa diajak untuk menjauh dari dunia online. “Tak apa berisik, daripada bermain game online seharian”, tak sedikit orang tua beropini demikian.

Baca Juga  Yang Tersisa dari Pilkada Serentak

Benturan ayunan dua bola, berbunyi “tek, tek, tek, tek” mengisi atmosfer suara di rumah, di halaman, di sekolah bahkan ada yang di tempat kerja. Terbit pula rasa komunitas, bersaing dengan teman-temannya.

Suara “tek, tek, tek, tek” sejenak menggantikan tiktok. Menyingkirkan suara notifikasi whatsapp dan ringtone panggilan. Biasanya banyak mata anak-anak tak lepas dari Mobile Legends.

Demam memang dapat membuat sementara pihak menjadi panik . Muncul reaksi yang berlebihan menganggap demam permainan ini sudah mengganggu. Mengancam masa depan. Di beberapa kabupaten/kota terbit edaran, sebuah kebijakan reaktif. Melarang anak-anak membawa latto-latto ke sekolah.

Lato-latto dianggap membuyarkan konsentrasi. Bisingnya didakwa sebagai polusi suara. Ia mendapat tuduhan membahayakan, sambil menunjukan kasus anak terluka serius. Sebuah judul pernah saya baca, latto-latto menyebabkan kebutaan. Bahayanya mirip dengan petasan.  

Munculnya kebijakan tertulis larangan membawa latto-latto ke sekolah di beberapa daerah, seakan menghadapkannya sebagai musuh pendidikan. Apakah ini akhir kisah permainan semula dianggap menjadi antitesis dari penggunaan gadget yang tak terkendali.

Homo Ludens

Sejatinya bermain adalah naluri makhluk. Seperti kijang yang kadang berlari tanpa arah. Manusia adalah makhluk yang gemar bermain-main. Bermain adalah asal mula aktivitas dan budaya. 

Bekerja yang membuat gembira adalah bekerja yang seolah bermain. Menghasilkan sesuatu tanpa merasa terpaksa. Belajar adalah bermain yang karenanya kita mendapatkan pengalaman dan keterampilan. Saking asyiknya, sehingga tak merasa tertekan. 

Bermain adalah muasal peradaban. Begitu disebutkan Huizinga dalam A Study of the Play Element in Culture  dengan memberi label manusia sebagai homo ludens. Manusia yang suka bermain. Kemudian, pada masyarakat pemburu dan agraris, seringkali tidak bisa dibedakan antara bermain dengan bekerja. Dua aktivitas yang beda tipis.

Dalam film Avatar The Way of Water, empat bersaudara yaitu Neteyam , Lo’ak , Kiri dan Tukirey, anak dari pasangan Jake Sully dan Neytiri belajar menyelam untuk mengarungi lautan Pandora, tempat klan Metkayina tinggal. Belajar menunggang ilu dan menavigasi dunia air dengan bermain-main.

Generasi Lupa Cara Bermain

Tergesa-gesa memutuskan kebijakan larangan latto-latto tanpa bisa jadi karena kurangnya pemahaman dalam memahami homo ludens. Terburu-buru mencari kambing hitam. Bermain dianggap sebagai lawan dan musuh dari pembelajaran. Padahal ahli psikologi mengatakan lawan bekerja adalah bukan bermain. Belajar tidak dilawankan dengan bermain. Lawan sesungguhnya dari bermain adalah depresi.

Baca Juga  Demam Latto-Latto : Permainan Tradisional sebagai Counter Permainan Global

Bermain bukan pula terbatas sebagai hak anak-anak usia dini. Sayangnya, pendidikan di segala jenjang terasa pendidikan yang memberatkan. Keluhan siswa tentang tumpukan PR, misalnya. Coba amati banyak siswa berangkat dengan tas punggung dan masih harus membawa tas jinjing. Apakah waktu yang tersedia cukup menampung tugasnya? Akankah memorinya cukup untuk menerima rumus atau hafalan? Apakah malam hari adalah waktu yang harus mereka habiskan untuk menjawab soal-soal pelajaran? Mampukah tubuhnya untuk menampung jadwal? Apakah mentalnya cukup untuk menanggung kewajiban?

Inilah pertanyaan yang kerap terlontar. Sembari cemas tentang masa depan Apakah bisa menembus perguruan tinggi favorit, apakah bisa menembus lapangan pekerjaaan atau PNS.  Sekolah tak jauh beda dengan pabrik. Penuh dengan jadwal, tugas dan tes.

Akibatnya generasi yang lupa cara bermain. Generasi yang ukuran suksesnya adalah peringkat. Prestasinya diukur dengan besar gaji. Sistem pembelajaran malah melemahkan pembelajaran.

Mulai dari Nol

Tanpa bermaksud memberi beban peran yang berat pada latto-latto, fenomena ini sebenarnya sebuah tanda bahwa memang kita kembali ke awal. Tepat kiranya Rutger Bregman dalam Humankind: A Hopeful History, yang menegaskan kembali konsep Pendidikan 0.0. yang Drummen gagas. Pendidikan dengan kembali menempatkan manusia sebagai homo ludens.

Upaya di dalam pendidikan seharusnya meminjam quotes petugas pom bensin “dimulai dari nol”. Pendidikan dengan pendekatan prosesnya serupa  karakteristik bermain. Karakteristik yang dimaksud adalah bermain itu tidak terlalu terikat. Belajar penuh gembira, berekspresi, tidak tertekan dan tidak terpaksa.

Saking asyiknya prosesnya tak terasa. Bukankah begitulah saat kita bermain?. Bukan pendidikan yang terlalu banyak aturan dan jadual ketat. Pendidikan dengan pendekatan homo ludens akan menimbulkan komunitas.

Pembelajaran tidak harus terlalu terstruktur. Tidak banyak perintah oleh orang lain.  Tetapi tetap mengajarkan tanggung jawab dan kerjasama. Ketika ada kalah menang akan berkolaborasi lagi. Bermain tidak mengandalkan otoritas. Atmosfer tersebut akan memicu kreativitas. Pembelajaran dengan berpatokan “homo ludens” akan membangkitkan bukan menumpulkan motivasi intrinsik.

Figital

Tetapi bukankah zaman ini adalah zaman konten? Apa boleh buat, anak-anak sekarang adalah anak yang berada dalam dunia fisik sekaligus digital (figital). Faktanya, latto –latto viral juga karena medsos. Bukankah permainan “tek, tek, tek, tek” viral karena tiktok?

Baca Juga  Menangkal Pemikiran Ekstrimis Lewat Taman Pendidikan Al-Qur'an

Mau tak mau, kita hrus sadar figital. Keseimbangan dua dunia yang kini memang bukan pilihan tetapi sebuah keniscayaan. Generasi sekarang mereka adalah generasi digital. Tetapi jangan meremehkan bahwa mereka tidak menginginkan tatap muka dan hubungan offline. Viral latto-lato adalah bukti naluri anak-anak untuk bermain. Pendekatan yang mestinya dilakukan adalah kontekstual.

Mengapa, misalnya kita tidak menyediakan waktu 5 – 10 menit membiarkan anak-anak bermain sebelum pelajaran. Jika membahayakan semestinya, diajari tips-tips untuk memainkan bandul tanpa membahayakan dirinya. Mengapa permainan tradisional tidak menjadi peluang sebagai media pembelajaran?

Pendidikan mestinya berawal dari kesadaran bahwa bermain adalah hak-hak anak. Belajar dengan kegembiraan adalah keharusan. Lupa tujuan akhir pembelajaran bukan kepintaran tetapi kebahagiaan. Memisahkan bermain dengan masa anak-anak adalah menjauhkan kegembiraan dari mereka.

Pentingnya bermain dalam proses pengasuhan dan pembelajaran dapat mengambil inspirasi “kebijakan” dari Nabi Muhammad SAW yang lentur, fleksibel dan kontekstual. Suatu kali ia mempercepat shalatnya karena mendengar ada anak menangis saat Nabi menjadi imam shalat.  

Di lain waktu, ia justru memperlama sujudnya. Gegara ada cucunya yang tengah asyik nemplok di atas punggungnya. “Siapa yang memiliki anak, hendaknya ia menjadi anak pula” demikian pesan Nabi dalam haditsnya.

Latto-latto memang bukan hero. Tetapi tidak bijaksana apabila secara tergesa-gesa menilainya penghalang pembelajaran. Kegemaran terhadap cara bermain offline semestinya menjadi inspirasi dan peluang. Bukan menjadi terdakwa baru dari sebuah kegagalan.

Tanpa diancam atau dilarang, nasib latto-latto yang viral, sebentar juga ambyar. Yang perlu kita cemaskan adalah sulitnya menghilangkan kebiasaan mencari kesalahan dan kebijakan dengan pendekatan mencari kambing hitam.

Kalau selalu demikian, setelah “masa kejayaan” latto-latto kembali tenggelam, siapa terdakwa berikutnya?

Bagikan
Comments
  • Wurry Srie

    MasyaAllah, trima kasih atas pencerahannya, Pak.
    Ulasan yg wah dan sangat keren.

    Januari 18, 2023
  • Salam untuk bu Wurry Srie, saya belajar juga dari tulisan-tulisan penjenengan.

    Januari 19, 2023
Post a Comment